Sunday, 8 February 2015

Behind the Blue Eyes




T
emaram cahaya laptop menyilaukan mata seorang gadis yang mengaku sebagai seniman dan penulis. Ia menyelam jauh ke dalam lautan imajinasinya yang seluas samudera pasifik. Jemari senimannya menari dan menggila di atas keyboard laptop yang nyaris tak pernah luput dari tasnya. Gemeritik nada jemarinya yang bersentuhan dengan keyboard, seolah menciptakan sebuah lagu yang mencerminkan kemampuannya dalam berimajinasi. Ia terlalu terhanyut. Kata demi kata berbumbu sastra menghiasi halaman dalam layar. Waktu tak lagi dipikirkannya. Tapi, jusru waktulah yang mengejarnya. Deadline yang jamnya tinggal menghitung jari, memacu jemarinya bergerak lebih cepat. Ia terus mengetik. Tak peduli seberapa lama ia berada di restoran itu. Tak peduli, pada pelanggan lainnya yang semakin sedikit karena termakan waktu. Ya, ia tak peduli.
Jam di sudut kanan atas laptopnya menunjukkan kalau malam telah berada pada puncaknya. 11.41 PM. Senyap mengguyur imajinasinya yang semakin menggila. Kini ia sedang berada di titik klimaks tulisannya. Butuh konsenterasi besar untuk menghasilkan karya yang besar. Tak adanya makanan di apartemen kecilnya, menjadikan ia terpaksa memilih restoran sederhana  menjadi tempat kata-katanya berlabuh. Namun, sesuatu yang sangat mengganggu menghancurkan untaian imajinasinya.
Ia berusaha untuk tetap konsenterasi, tapi rasanya sulit. Hasrat untuk kembali mendapatkan ketenangan ditambah dengan rasa penasaran yang semakin menggunung, membuat ia membulatkan tekad untuk menghampiri dan mengakhiri keributan tersebut. Ia pergi, ke sumber suara. Suara dari bagian belakang restoran. Mungkin dapur.

Sebuah pintu putih besar nan berat, terbuka oleh tangan gadis itu. Tulisan Besides Chef, Forbidden to Enter yang terpampang gamblang di depan pintu, tak diindahkannya sama sekali. Ia melihat gerangan yang terjadi dibalik pintu. Sadis. Yap, begitulah komentar bagi siapapun yang melihat dengan mata hati mengenai kejadian ini. Beberapa peralatan dapur bertebaran seolah telah terjadi gempa. Seseorang yang mengenakan topi koki paling besar dari yang lainya, merabai meja dapur jajahannya. Ia berusaha menemukan sesuatu yang besar dan mengilap. Sedang seekor kucing hitam berbulu pendek meringkuk ketakutan di sudut ruangan.
Pisau daging dalam genggaman seorang kepala koki, nyaris saja dilayangkan ke arah kucing hitam itu. Gadis itu dengan berani, menghalangi sang kepala chef, yang hendak menyembelih si kucing hitam. Dengan sigap, ia mengambil dan memindahkan kucing itu ke dalam dekapannya. Kejadian itu begitu singkat. Nyaris seperkedipan mata. Gadis itu pun tak sadar akan apa yang ia lakukan. Dalam dekapannya, kucing itu tak lagi terlihat ketakutan. Matanya yang biru, lantas memantulkan pendar cahaya ketenangan. Sedang mata coklat gadis itu, menatap tajam ke arah kepala chef.
Chef lainnya ikut turun tangan. Mereka berusaha menahan koki kepala yang sedang menggila. “Bagaimana bisa ada orang asing yang berani masuk kesini?! Kau, jangan kau menghalangiku menghajar kucing itu!” sang kepala chef menggertak dalam cengkeraman anak buahnya yang menahan dari sisi kanan-kirinya.
“Lantas, apa dosanya?” sedang gadis itu tetap merangkul si kucing. Tangannya semakin erat, menghangatkan kucing berbulu pendek di kota dingin.
“Dia datang tiba-tiba dan langsung menghancurkan dapurku. Bulu-bulu dan kuman di dalamnya kelak akan mencemari makanan yang hendak disajikan, sedangkan kami para chef tak mungkin memeriksa makanan yang ada di sini satu-persatu.”
“Biar aku yang tanggung jawab.”
“Baiklah, dan bawa kucing itu jauh-jauh dari sini!”
Setelah semuanya tenang, gadis itu melepas dekapannya.
***
“Hey, kau merusak malamku. Deadline cerpenku kini tinggal delapan jam lagi. Dan kau membawa kerugian besar padaku. Kucing menyebalkan.” Gadis berambut coklat panjang itu berjalan menjauhi restoran dengan kucing hitam mengikuti bak pengawal di belakangnya. Ransel besar berisi buku-buku tebal disanggahnya di bahu yang miring dengan derajat kemiringan yang sangat kecil. Tas laptop jinjing tak lupa dibawanya di kepalan tangan kanan. Ia berjalan dengan cepat, berharap kucing itu pergi jauh meninggalkannya. Tapi ia harus menerima kenyataan pahit ketika berbalik. Dugaannya salah.
“Hey, kau mengikutiku! Dan kau menatapku dengan pandangan seolah tanpa dosa. Dasar kucing!” ia kembali melangkah. Namun, tak sampai lima langkah, ia kembali berbalik.
“Sudah kubilang, jangan mengikutiku! Tidakkah kau mengerti?!—hhh, baiklah, kau kupelihara.” Gadis itu berjongkok, berusaha agar kepalanya sejajar dengan sang kucing walau memang tak mungkin. Kini sepasang mata coklat bertatapan langsung dengan sepasang mata biru.
Kucing itu mengeong. Entah apa yang ia katakan dalam bahasa kucing. Apapun yang ia katakan, mata birunya yang bercahaya mampu menggetarkan hati siapapun yang melihat.
“Namaku Karen Kent. Mm, namamu?—Ah, bagaimana dengan Noah Kent? Kau suka? Mulai malam ini kau tinggal denganku.” Karen memasukkan Noah ke dalam tasnya dan membuka sedikit risleting yang mendadak beralih fungsi menjadi fentilasi.
Sepanjang perjalanan, Noah hanya bungkam. Diam tanpa suara. Ia sama sekali tak nampak seperti kucing hiperaktif yang hobi meracau. Entah memang seperti itu tabiatnya, atau hanya siasatnya sebagai pencari perhatian. Tapi kucing itu tidak terlihat lucu seperti kucing kebanyakan. Ia lebih terlihat keren dan gagah.
Karen mengambil kunci apartemen dalam dompetnya. Apartemen milik seorang wanita tua itu, terdiri dari tiga lantai. Karen, menempati apartemen lantai dasar. Di lantai dua, ditempati oleh seorang model yang jarang pulang, sedangkan lantai tiga, ditempati oleh wartawan yang juga jarang pulang.

Apartemen kecil yang sebenarnya tak layak untuk disebut apartemen tersebut, menyambut kedatangan penghuni barunya dengan pintu bobrok yang terpampang di bagian depan. Beberapa kali Karen mengukuhkan niat untuk memperbaiki pintu itu, namun kesibukannya mengalihkan semua rencana dan niat. Kuliah, organisasi, menulis, semua ia lakukan dalam hari yang sama. Dan kini, kesibukannya bertambah dengan datangnya Noah ke dalam hidupnya.
Berusaha menjadi tuan yang baik, Karen berniat memberi Noah makan malam. Lantaran tak tahu harus memberi apa, ia mengambil ikan sisa tadi pagi. Daging ikan yang telah mengeras, disuir hingga bertaburan di penjuru piring. Semua dilakukannya dengan sabar dan cekatan.
“Makanlah. Maaf aku tak punya makanan enak. Tak ada yang bisa kau harapkan dari mahasiswi biasa sepertiku. Kau mau minum apa? Air, atau susu?—Baiklah, air saja ya. Aku tak tahu susu apa yang baik untuk diminum kucing.” Noah hanya diam. Ia menatap suiran ikan itu dengan tatapan aneh. Ia terlihat seolah sudah kenyang, atau mungkin ia tahu ikan itu adalah ikan yang nyaris basi, hingga ia enggan untuk memakannya. Tapi, setelah ditunggu, atau lebih tepatnya dipaksa beberapa lama oleh Karen, akhirnya ia menyisakan piring kosong.
Kakak beradik jarum jam, terus meneror Karen tiap mereka bergerak. Mereka bercerita kalau sekarang telah dini hari, tepatnya 02.05 AM. Kini deadline cerpen Karen tinggal enam jam lagi. Dan, ia tak lagi mengerjakannya sendirian, karena ada Noah yang menemani sambil meringkuk di atas karpet, tepat di sebelahnya.
***
Saraf optik Karen telah istirahat selama dua setengah jam, namun itu semua tak mampu mengubah guratan merah yang terasa perih di matanya. Rasanya ia masih mengantuk. Tapi ia harus menyerahkan naskahnya, menerima honor, dan lanjut kuliah.
Pagi itu, terbesit sebuah tanda tanya besar di pikirannya. Tanda tanya yang mungkin kini telah terukir sangat besar di keningnya. Tanda tanya yang masih belum terjawab. Tanda tanya yang mempertanyakan, akan dibawa kemana Noah ketika ia pergi seharian? Apa yang akan Noah makan selama ia pergi? Apakah Noah bisa ditinggal? Atau malah harus terpaksa dibawa kemana-mana?
Okay, tanda tanya itu memang tak hanya sebuah. Tapi semua itu masih belum mendapat jawaban yang berarti.
Dengan keputusan yang dirasa bijak, Karen akhirnya membawa Noah. Tas ransel yang menjadi bawaan wajib, kini mau tak mau semakin berat dengan adanya Noah yang sedikit dipaksa masuk. Rasa sayangnya pada kucing sedari ia kecil, mengalahkan rasa keberatannya akan apa yang ia pikul.

Cahaya pagi kota Ontario, menerobos pintu kaca gedung redaksi majalah dewasa. Di dalam, Karen langsung berhadapan dengan seorang wanita berambut ikal yang digulung ke belakang. Wanita itu duduk di sebuah meja bertuliskan Reseptionist.
“Hai, Claire.” Sapaan Karen dibalas dengan selengkung senyuman oleh wanita berkulit hitam itu.
Ia lantas melangkah. Sepasang kaki Karen yang dibalut jeans warna biru menggiring ia ke sebuah ruangan dimana banyak orang lalu-lalang.
Jemari kecilnya mengetuk pintu tiga kali. Di dalam, ia disambut seorang pria berusia empat puluhan yang sedang kedapatan tamu. Karen menunggu di sofa, sembari menyiapkan berlembar-lembar kertas dalam tasnya, sampai tiba gilirannya menghadap. Sampai ketika, ia melihat seorang wanita berjalan meninggalkan ruangan tersebut. Ia sadar, inilah gilirannya.
“Pagi, Mr. Curvey.”
“Silakan duduk. Maaf membuatmu menunggu lama.”
“Tak apa, saya mengerti.”
Karen meletakkan ransel hitam dan tas jinjingnya di lantai. “Pak, sebelumnya, saya boleh minta izin melepas kucing saya sebentar? Kasihan, sepertinya dia kekurangan oksigen di dalam tas.”
“Silakan.—Kucing baru?”
“Begitulah. Namanya Noah.” Karen mengangkat dan mengeluarkan kucing hitam dari dalam tasnya. Tapi Noah tak berlari sesuka hati. Ia justru menunggu Karen selesai dengan urusannya tepat di sebelah kursi tempat ia duduk.
“Ia kucing pintar. Kau pastilah bertambah sibuk.”
“Tak apalah. Ini masih bisa saya atasi. Oh, ini artikel dan cerpen yang anda minta.”
“Klap” “Permisi, Pak.” Karen memutar kepalanya, memandang lurus ke arah seorang wanita yang baru membuka pintu. Sekilas pandang saja, Karen langsung tahu kalau itu Samantha, sekertaris Mr. Curvey. Mr. Curvey menggerakkan tangan kanannya, mempersilakan Samantha untuk duduk di sofa, seperti yang sebulumnya Karen lakukan. Dan mata tajam Mr. Curvey, kembali menatap Karen.
“Ini honormu. Tema majalah kita berikutnya adalah Rock vs K-Pop. Di majalah itu, artikel utamanya tentang Avril Lavigne yang sedang membuat album baru. Dimohon kerjasamanya.”
“Mm, Pak, sebenarnya, saya termasuk salah satu fans berat Avril Lavigne. Suatu kesenangan tersendiri membuat artikel tentangnya. Terimakasih, Pak.”
“Tidak, saya yang berterimakasih. Perusahaan kami sampai sekarang masih menanti kelulusanmu untuk menjadikanmu pekerja tetap. Sayang itu masih lama sekali.”
“Saya akan senang bekerja disini. Terimakasih atas pengertiannya, Pak. Saya pamit.” Karen kembali memasukkan Noah ke dalam ranselnya dan kembali mengenakannya pada bahu yang tak simetris. “Permisi.” Lanjut Karen.
Karen meninggalkan ruangan Mr. Curvey dengan senyum yang tak meluntur. Ia merasa diberi anugerah yang tak terperi. Sedangkan bos penerbit tersebut, kembali dalam gelutan kesibukan.

Sepasang roda dari motor biru, terus berputar dengan kencangnya hingga tiba di sebuah kampus yang sangat dicintai dan dibanggakan oleh siapapun yang bergabung di dalamnya. Gedung besar yang lebih pantas disebut hotel dibanding kampus itu, telah menghasilkan ratusan sumber daya manusia yang berpotensi tinggi dalam bakatnya masing-masing. Mahasiswa yang bergabung di dalamnya, ada yang datang dengan kacamata tebal, ada juga yang membawa tas kamera, bahkan ada pula yang membawa beberapa buku kedokteran yang sangat tebal dengan berat hampir dua kilogram tiap bukunya.
Tapi lain dengan Karen. Sebuah tabung kertas yang ia selempangkan, memberi ia dan beberapa anak sesamanya, sebuah ciri tersendiri sebagai anak jurusan arsitektur. Ia berkuliah selama berjam-jam dan yang ia lakukan hanya menggambar, menggambar dan menggambar. Ia senang dengan itu. Sedari ia masih menjadi murid Senior High School, ia sering membayangkan bagaimana rasanya bersekolah di sekolah yang kegiatannya sedari awal sampai selesai hanya menggambar dan menggambar. Ia ingin menghabiskan hidupnya dalam goresan pensil dan lembaran kertas putih. Ia ingin mengabdi pada dunia seni. Baik seni lukis, maupun seni tulis.
Jam-jam berlalu begitu lambat. Noah yang masih bersarang di dalam tas, melongokkan kepala dan membiarkan mata birunya melihat sekitar. Ia melihat seorang dosen sedang duduk menanti para muridnya yang kelabakan dengan tugas. Mereka ditugasi menggambar keadaan kota seratus tahun kemudian dalam waktu enam puluh menit. Walaupun ia kucing, tapi cara ia menatap, menceritakan lebih tentang apa yang ia rasakan. Ia merasa miris, mungkin dalam pikirannya, ia merasa ingin membantu. Sayang, ia hanya seekor kucing.

Noah kembali memasukkan kepalanya ke dalam tas, sedang kepala para mahasiswa penuh dengan kepulan asap seolah mereka pabrik industri yang biasa mencemari langit. Tangan mereka dengan gesit dan cepat menorehkan guratan-guratan pensil dari beragam ketebalan, dan mengakhirinya dengan sentuhan drawing pen. Mereka menggambar hingga titik darah penghabisan, hanya demi mendapat nilai A.
Enam puluh menit berlalu. Satu persatu murid kedepan untuk penilaian. Karen menyelesaikan gambarnya dengan sepenuh hati. Entah apa penilaian yang ia dapat. Yang jelas, bagi siapapun yang melihat, gambar yang dihasilkan dari tangannya itu, sangatlah menakjubkan.
Lima belas menit istirahat, dirasa cukup menjadi penyegar otak yang lunglai. Ketika waktu lima belas menit itu berakhir, itu menjadi pertanda buruk bagi sebagian besar mahasiswa arsitektur. Nasib mereka dipertaruhkan oleh goresan tinta Mr. Cadwick. Yap, dan nasib sial nampaknya menghujani Karen. Ia hanya mendapat D, dan harus mengulang di tugas berikutnya.

Puluhan pasang mata menatap ke arah yang sama. Mr. Cadwick, membalas tatapan itu dengan mengeluarkan kata-kata mengerikan tak terduga.
“Kalian lihat di depan? Di sini terdapat sebuah bandara yang hangus terbakar. Perhatikan baik-baik. Tugas kalian adalah membayangkan bagaimana bandara ini sebelum kebakaran terjadi, dan menuangkannya ke dalam kertas. Waktu kalian untuk melihat foto ini sepuluh menit, dan waktu kalian menggambar adalah 50 menit. Dimulai dari sekarang!” Perlakuan sang dosen yang semena-mena membuat para murid seperti ikan yang dibawa ke daratan dan tinggal menanti ajalnya.
Beginilah resiko belajar menjadi calon arsitek. Otak benar-benar dibuat bekerja keras. Semua bagian otak dari kanan sampai kiri, tak ada yang menganggur. Tapi faktanya, Karen dan yang lainnya masih harus berjuang dalam keadaan seperti ini beberapa tahun lagi. Mungkin ketika mereka lulus nanti, gugusan sel-sel otaknya sangatlah rumit. Lebih rumit dari gugusan akar beringin yang menggelantung.
Dan usaha Karen tidaklah sia-sia. Pada akhirnya, ia mendapatkan apa yang ia inginkan. Torehan tinta spidol biru Mr. Cadwick yang membentuk huruf A, akhirnya ia dapat.
3.15 PM. Ia lelah. Kepala yang berat dan perut kelaparan membuatnya berjalan ke tempat favorit semua mahasiwa. Café.

Di sebuah meja persegi, satu dari keempat kursi yang mengitarinya, diduduki oleh seseorang yang telah menunggu Karen dengan segelas jus jambu di depannya. Di meja itu juga tersedia daftar menu dan secarik kertas putih dengan beberapa tabel, yang menanti untuk diisi dengan daftar pesanan.
“Hai, sudah lama?”
“Lumayan.”
“Hey, aku ingin memperkenalkan teman baruku.” Karen mengambil seonggok kucing hitam bermata biru dalam ranselnya yang juga hitam. “Namanya Noah. Noah, ini Iris Bronner, jurusan sastra inggris. Iris, ini Noah. Aku mulai memeliharanya sejak semalam. Ia keren, kan?”
“Jadi ini kucing yang kau ceritakan?”
“Yap, kau harus bayangkan tentang betapa langkanya kucing seperti ini, dan aku mendapatkannya dengan cuma-cuma.”
“Mm, kurasa tidak, berapa ganti rugi yang harus kau bayar?”
“200 dollar.”
”Berarti kau  tak mendapatkannya dengan gratis. Dan dia harus jaga jarak denganku.”
“Oh, aku lupa kau benci kucing.—Mm, aku pesan sushi unagi, salmon rebus, lemon tea dan air mineral.” Tulisan Karen yang tegak dan ramping membentuk huruf bertuliskan semua pesanannya.
“Terimakasih. Aku sebenarnya tak memintamu untuk menteraktirku.”
“Hey, siapa yang menteraktir? Itu untuk Noah. Jadi kau mau ditraktir? – Okay, kalau begitu, sushinya satu lagi.”
“Kau memberi makan kucing dengan salmon?”
“Memang kenapa? Semalam ia kuberi makanan basi. Kau mau sushi apa?”
“Sushi spicy tuna. Terimakasih, kawan.”
Karen menuliskan pesanan dengan santai, seraya memberikannya pada pelayan berseragam hitam-merah yang sejak beberapa detik lalu menanti kepastian di sisi kirinya.

“Hhh, kuliah semakin membosankan saja.”
“Bagimu bosan? Kepalaku mau pecah karenanya. Kau tahu? Mr. Cadwick semakin lama semakin gila. Barusan, dia menyuruh muridnya melihat foto bandara yang hangus terbakar dan menggambarkan desainnya sebelum bandara itu kebakaran. Gila! Sedikitpun tak terbayang dikepalaku bagaimana wujud bandara itu sebelum kebakaran.”
Pesanan mereka tiba. Dua buah piring panjang dan satu piring bulat berisi salmon rebus, mendarat dengan mulus di atas meja. Kali ini Karen tidak menyuir-nyuir ikan untuk Noah. Ia pikir Noah tidak suka ikan dalam wujud kecil.

Noah sepertinya mulai terbiasa dengan ikan. Piring putih berisi daging merah salmon filett, nampak bersih seperti tak pernah diisi apapun sebelumnya. “Kali ini kau menghabiskan makanmu, ya? Kucing pintar.“ Karen mengelus dagu kucing pertama yang menjadi peliharaannya itu. “Pulang kuliah nanti, kau mau kan menemaniku membeli barang-barang untuk Noah?”
“Boleh. Aku juga ingin mencari buku baru.—Kau mengeluarkan banyak uang. Baru mendapat honor?”
“Memang. Apakah tertulis jelas di keningku?”
Mereka tertawa bersama.
***
Taksi kuning yang membawa barang bawaan telah berlalu. Motor biru yang biasa Karen gunakan pun diparkir di tempat ia biasa memarkir. Di apartemen, Karen dengan bangga dan senang memberikan belanjaannya pada Noah. Kalung biru bertuliskan Noah Kent berwarna hitam, kini terikat di leher gagah kucing hitam itu. Dan kini, ia tak lagi bisa berkeliaran semaunya, karena kandang besi putih selalu menantinya. Di dalam kandang putih itu terdapat nampan biru, berisi pasir kelabu yang membumbul dan nyaris lumer keluar. Selain itu, juga ada tempat makan berwarna hijau gelap khas army, bertuliskan nama Noah yang juga berwarna hitam. Sedangkan mainan berupa bola-bola dan cat anak-anak, Karen simpan di tempat aman.

“Hey, ayo selfie.” Diletakkannya Noah disebelahnya. Satu, dua, tiga. Yap, tiga kali jepret, dan Karen tak bosan-bosannya berfoto dengan Noah. Baginya, Noah terlalu indah.
Hadirnya Noah memang memberi warna tersendiri dalam hidup Karen. Karen tak lagi merasa sendiri. Masalah pun tak lagi terasa berat dengan adanya Noah yang pintar membuatnya tersenyum. Entahlah, tapi Noah telah Karen anggap seperti kembarannya sendiri.
***

Dua bulan kemudian.
27 Juni 2013, 00.00
Handphone android putih Karen, yang biasa diletakkan di bawah bantal, berdering dengan riang. Single Maroon 5 dengan judul Payphone, menggema di kamar apartemen yang tak begitu besar. Alam mimpi yang dibangunnya kini musnah. Kebingungan pun mulai menjalar dalam otak Karen setelah melihat siapa yang menelponnya. Nomor yang menelponnya disembunyikan. Entah karena apa.
Dihantui rasa penasaran, Karen mengangkat teleponnya.
“Halo. Ini siapa?”
Tak ada suara di seberang sana. Telpon pun terputus. Tak sampai sepuluh detik kemudian, handphone Karen kembali berdering. Masih dengan nomor yang disembunyikan. Tanpa pikir panjang, Karen mengangkat handphone-nya.
“Halo? Siapa disana? Dasar kurang kerjaan! Apa maumu menelpon di tengah malam begini?”
Tapi kali ini di seberang sana tak lagi hening. Sebuah suara yang agak pelan, terdengar samar-samar. Suara itu terdengar seperti seseorang yang sedang bernapas dengan berat. Perlahan, suara itu semakin kencang dan semakin dekat. Karen yang mulai ketakutan, mematikan handphone-nya, dan melemparnya perlahan ke kasur. Napasnya terengah-engah ketakutan. Ia mengambil Noah yang tidur dalam kandang untuk menjadi alat penenang.
Tak lama, suara berkelontangan memekakan telinga Karen. Awalnya, Karen sempat memiliki niat walau sebesar biji zarah, untuk kembali ke pulau kapuk, tapi suara kelontangan itu nyaris berhasil menjebol membrane timpani Karen, dan niscaya membuat ia mengurungkan niatnya.
Dalam pelukan Karen, Noah mengeong beberapa kali seolah merasa terancam. Suara itu sangat berisik. Seperti tong sampah seng yang di banting sembarangan.
Ia lantas beranjak keluar kamar. Berniat memeriksa apa yang terjadi di luar. Ia berpikir kalau ini semua ulah tetangga yang iseng mengganggu malamnya. Noah yang sebelumnya dalam dekapan, kini berjalan beriringan di dekatnya.
“Tok tok tok, tok tok tok…” Seseorang dari luar, mengetuk beberapa kali pintu apartemen. Ia penasaran, siapa gerangan yang bertamu disaat para nokturnal berpesta ria. Ia lantas menyalakan lampu putih yang mempermudah sel kerucutnya. Tapi lampu tak kunjung menyala.
Ia tetap penasaran. Perlahan, ia kuatkan niat untuk membuka pintu. Tapi, belum sampai ia mengambil satu langkah, kini giliran suara lonceng yang mengganggu. Suara lonceng yang nyaring, berdering dengan nada yang teratur, namun menyeramkan. Samar-samar, suara parau mulai terdengar.
“Kareeeeen. Aku tahu kau ada di dalam. Buka pintunya, Kareeen..”
“Siapa itu?” pada detik yang sama, Karen mulai merasakan sesuatu yang mengganjal di hatinya. Ia merasa penasaran, sekaligus takut, yang membuat kerongkongannya terasa kelu walau hanya menelan ludah.
Karen sejauh ini masih berdiri kaku, kebingungan. Kebingungan akan keputusan apa yang ia ambil. Sepanjang mata memandang, ia melihat daun pintu apartemen yang bergerak tanpa henti. Siapapun yang berada di luar, jelas memaksa masuk ke dalam. Karen yang panik, mengambil shinai kendo yang tersimpan rapi di dekat sofa. Noah dengan tampang lebih berani, mendampingi tuannya di sampingnya. Karen berjalan perlahan mendekati pintu. Dan alangkah terkejutnya ia melihat cairan berwarna hitam keluar dari sela-sela bawah pintu. Air hitam itu cukup kental. Perlahan namun pasti, air hitam itu mengalir menuju kaki Karen.
Angin yang cukup besar berhembus, mengibarkan tirai-tirai hijau tua yang bergelantungan menutupi jendela di samping pintu. Kaca jendela yang mendadak terbuka, beberapa kali menatap ke bingkainya. Air hitam yang keluar dari sela-sela bawah pintu semakin banyak mengalir dan meluas, nyaris mengenai kaki Karen. Seseorang di luar sana, semakin memaksa masuk. Daun pintu berwarna tembaga itu, kian tak bersahabat. Karen semakin panik. Ia belum pernah mengalami ini sebelumnya.
“Kareeeeeeeeeenn… Kareeeeeenn..” suara parau itu semakin menggema. Ia seaakan berhasrat tinggi untuk masuk ke apartemen Karen. Walaupun hanya sekedar suara, tapi nada yang dikeluarkannya, menjelaskan kalau ia sangat ingin berhasil menembus lini pertahanan Karen.
Karen tak lagi memiliki niat membuka pintu. Kali ini, ia lebih memilih untuk berbalik dan meringkuk di sofa coklat muda temannya menonton televisi. Shinai kendo yang sebelumnya hendak dipergunakan sebagai senjata, malah dilemparnya ke lantai, entah kemana. Karen menggapai salah satu bantal di atas sofa. Bantal tersebut, menjadi alat yang empuk dan nyaman untuk dipeluk di saat genting seperti ini.
Perlahan, pintu terbuka. Gerenyit suara pintu yang membuat Karen semakin merinding, turut melengkapi suasana. Pintu yang seharusnya dikunci, kini semakin gamblang terbuka. Noah yang sedari tadi mengeram, berdiri dengan berani di depan pintu, berusaha menghadang siapapun yang muncul. Berlainan dengan Noah, Karen menutup kepalanya dengan bantal sofa. Ia sangat shok. Dan seperti biasa, bila ia sedang shok, kakinya lemas dan gemetar. Ia tak lagi peduli pada nasibnya setelah makhluk yang memaksa masuk itu datang.
Pintu terbuka seutuhnya. Tapi keheningan menjalar. Udara malam yang dingin, berhembus, membuat Karen semakin merinding. Noah yang semula mengeram dengan kencangnya, kini diam. Karen penasaran. Perlahan, ia membuka bantal coklat tua yang menutupi wajahnya. Dan betapa terkejutnya Karen ketika mendapati lampu yang sebelumnya mati, kini terang benderang menyinari apartemennya. Jendela yang sebelumnya bertatapan dengan nada yang abstrak, kini tak lagi berbunyi. Semua yang ada di situ, senyap tanpa suara. Lebih terkejut lagi, ketika Karen melihat tamu yang mengganggunya malam ini, dan rupanya tamu itu tak sendirian, tapi lebih dari lima orang. Mereka bergumul dan menyerbu untuk masuk.

“Happy Birthday Karen, happy birthday Karen, happy birthday, happy birthday, hapy birthday Karen…”
Riuh suara dari para tamu, menggema menyerukan hari ulang tahun Karen. Iris memegang ice cream cake besar berbentuk persegi panjang yang Karen yakin, Iris sendiri yang membuatnya. Ice cream cake coklat itu memiliki lilin di atasnya membentuk angka 20. Karen menangis terharu. Semua ketakutan dan rasa terharunya menguap dalam bulir air yang menitih, membentuk sungai di pipinya. Terlebih, karena di sekeliling Iris berdiri beberapa anggota club Kendo yang akrab dengannya. Satu persatu makhluk yang datang, kebagian pelukan hangat dari Karen.
Keik itu diletakan oleh sang pembuat di atas meja kaca ruang tamu. Karen kembali duduk di sofa seraya meniup lilin dengan harapan yang tanpa disebutkan, sangatlah mudah dibaca oleh semua sahabatnya. Noah berlari menghampiri majikannya untuk bergabung. Karen sangat senang. Sebelumnya, ia belum pernah dikerjai di hari ulang tahunnya. Mata dan raut wajahnya menjelaskan segala suka dalam hatinya.
“Katakan, siapa yang merencanakan ide gila ini?”
“Kami semua. Kami membuat hari khusus untuk rapat mengenai ini.” Danny menjawab Karen seraya memberikan pisau kue.
“Siapa yang tadi menelponku?” setelah menerima pisau kue dari Danny, Karen beranjak ke dapur untuk mengambil sirup leci dan air dingin dalam kulkasnya. Ia kembali dengan segera untuk menanti jawaban dari siapapun.
“Danny, ia juga yang membanting tong sampah. Yang mengguyur lantaimu dengan air hitam, Pinkan, dia juga yang meraciknya. Yang membuka pintu dengan kunci cadangan yang didapat susah payah dari penjaga apartemen, adalah Blaire. Yang memainkan jendela dan membunyikan lonceng, adalah Cole. Yang mengipasi tirai, Rachel. Yang membuat suara-suara serak, Dave. Yang mematikan dan menyalakan listrik, Susan. Yang membeli bahan pembuatan kue adalah mereka semua, dan aku yang membuat dan membawakannya untukmu. Happy birthday Karen.” Iris menjelaskan panjang lebar.
“Karen, dimana kain pelnya? Kurasa, aku harus membersihkan lantaimu.” Pinkan menawarkan jasa atas hasil karyanya.
“Ooowh, terimakasih kawan. Tak perlu, Pink. Biar aku saja nanti. Potongan pertama, untuk Iris. Karena telah setia menemaniku dari aku masih berada di High School.”
“Terimakasih” Iris menerima potongan keik buatannya. Susan yang bertugas sebagai seksi dokumentasi, mengambil gambar dari segala momen yang dirasa indah.
“Noah, kau tak boleh makan ini. Kalau tidak, kau bisa mati.” Noah mendapatkan nasihat secara langsung oleh pakarnya kucing yang punya segudang kucing di rumahnya. Danny pun langsung mengelus dagu Noah.
“Sebagai gantinya, kau akan kutraktir salmon.” Kucing hitam pintar yang satu ini, sangatlah penurut. Ia bisa diam hanya karena kata-kata Karen.
“Kau tahu, ia terlalu pintar untuk seekor kucing.” Komentar Rachel.
“Ia juga pintar melukis, kau tahu? Lihatlah, lukisan abstrak di ruangan ini, semua hasil karya Noah.” Iris menambahkan.
“Jangan berlebihan. Mungkin karena ia sering kuberi salmon, mungkin juga karena ia sering melihatku melukis.”
“Entahlah, yang jelas, kita akan menemanimu sampai pagi. Ayo makan!” Cole kali ini sedang sangat bersemangat. Tapi semua orang suka itu. Ia selalu membawa keceriaan dimanapun dan kapanpun ia berada. Tapi ia terlihat lebih asyik dengan Blaire, pacarnya. Tapi itu wajar. Bisa dibilang, Blaire adalah cewek paling seksi dan cantik di kota ini. Melihat cara Cole mencium Blaire, Karen heran, ‘harusnya mereka telah memiliki selusin anak’.
“Oh, aku lupa. Ini kado dariku.” Sebuah kotak kecil dan berat telah berpindah dari tangan Blaire yang kecil ke tangan Karen yang lebih kecil lagi. Pergantian tangan itu diikuti oleh pasangan tangan yang lain.
Beberapa kotak dari berbagai ukuran memenuhi karpet. Semua suara menyerukan permintaan buat Karen untuk segera membuka kotak-kotak itu. Karen sangat senang. Selama dua puluh tahun dia hidup, ini adalah kali pertama ia mendapatkan surprise party seindah ini. Setelah satu demi satu kotak dibukanya dengan tangan gemetar, ia melihat. Dua kotak dari Iris, berisi sneakers abu-abu yang sangat keren dan sebuah sarung laptop yang selama ini ia idamkan. Kotak Danny yang paling kecil dari yang lain, rupanya berisi jam tangan keren berwarna putih. Kotak yang sangat ringan dari Pinkan, berisi bantal Manchester United. Karen sangat suka club itu sejak ia masih berada di Junior High School. Saat ini, pemain yang paling disukainya adalah Javier Hernandez Chicharito. Kebetulan, nama orang yang sangat ia sayangi, sama dengan nama idolanya, Javier. Dan tanggal lahir Javier, sama dengan Daniel Radcliffe, idola yang telah ia anggap sebagai kakak sendiri. Semua itu benar-benar kebetulan yang indah.

Kotak dari Blaire yang pertama kali jatuh ke tangannya, berisi parfume mahal dengan wangi yang segar dan sporty. Cole, memberikan dua kotak berisi topi hitam keren dan sketch book berukuran A3 yang sangat tebal. Rachel yang dulunya tak begitu akrab dengan Karen, memberikan jaket abu-abu yang sangat keren dan rumit. Dave, memberikan headphone biru muda keren dengan tanda tangan Avril Lavigne yang ia dapat dari google. Kotak dari Susan yang paling besar, berisi boneka beruang berwarna coklat muda yang sangat besar dengan bulu tebal dan lembut.
“Semua hadiah ini begitu hebat. Aku tak tahu harus membalas apa pada kalian. Bagaimana kalian tahu aku menginginkan semua ini?” Karen tak henti-hentinya menebar senyuman. Ia terus tersenyum dan mengucapkan terimakasih hingga bibirnya berbusa dan tenggorokannya kering.
“Hey, kami temanmu, dan kau sangat mudah dibaca. Jadi bukan hal sulit bagi kami menentukan benda apa yang harus diberikan.” Jawab Rachel.
“Karen, ini sudah jam 1:26 AM. Javier belum mengucapkan happy birthday?” Iris sebenarnya merasa agak menyesal menanyakan itu. Tapi rasa penasarannya mengalahkan rasa tak enak dalam hatinya. Teman-teman yang lain nampaknya tahu kadar keseriusan pembicaraan ini. Mereka mengobrol dengan wajar, tanpa memperhatikan atau menghiraukan Iris dan Karen.
“Yah, mungkin ia sedang sibuk. Mungkin juga ia lupa. Ia kan seorang taruna. Calon tentara.”
“Kau masih menantinya?”
“Entahlah. Aku tak mengerti pada diriku sendiri.”
“Ayolah Karen, kau harus move on. Ia hanyalah bayangan semu yang tak mungkin kau tangkap.”
“Aku tahu itu. Tapi aku masih belum bisa lepas dari bayangannya.”
“Kau sudah lima tahun memendam perasaanmu. Tanpa dia tahu. Menurutku, jalan keluarmu adalah membuat ia tahu, atau kau harus melupakannya.”
“Aku sudah berusaha memberitahunya. Berkali-kali. Dan niatku selalu hancur karena Ivy. Aku juga berusaha melupakannya. Tapi tak pernah bisa. Ia selalu datang dan pergi dalam hidupku sesuka hatinya.”
“Sabar, aku yakin, di usiamu kini, kau akan mendapatkan pasangan yang tepat dan jauh lebih baik dari Javier.”
“Kuharap begitu. Hey, semuanya, siapa yang setuju kalau kita nonton DVD thriller dan horror? Kita nonton sampai pagi..”
“Yeeeeaay.” Dan semua menikmati pesta ulang tahun dadakan ini. Noah yang nampak berusaha menahan kantuk, menyandarkan kepalanya di samping Karen yang lantas merangkulnya. Bulu-bulu lembut yang menyelimuti Noah, dielus jemari kecil nan panjang khas milik Karen. Mata birunya, perlahan mulai terpejam. Karen memindahkannya ke dalam pangkuannya, dan kembali mengelus Noah dengan manja.
***
“Terimakasih atas pestanya. Kami harus kuliah. Salam buat Noah.” Susan berpamitan didampingi Dave, sang pacar. Anggota kendo yang paling pendiam ini, khusus kali ini mengeluarkan suara.
Para anggota kendo yang lain satu-persatu mengucapkan kata sampai jumpa, kecuali Iris yang masih tinggal untuk berangkat kuliah di kampus yang sama dengan Karen. Mereka berdua berpayah-payah membereskan ruang tamu, memberi makan Noah, mandi, dan bersiap kuliah. Ia tak lupa membawa laptop kesayangannya. Kali ini laptopnya dibungkus oleh sarung baru berwarna hitam dengan motif bunga-bunga pink muda yang cantik.
Untuk ke kampus, ia langsung mengenakan jaket dan sneakers barunya, tanpa memasukkan jaket itu ke mesin cuci. Begitulah, ia sangat senang.
***
“Gimana kuliahnya? Si Cadwick masih semena-mena?” Iris bertanya pada Karen yang sedari tadi menundukkan kepala di depannya. Hoodie yang melekat di jaketnya, menutupi sebagian besar kepala tirusnya.
“Begitulah.” Karen hanya mengaduk-aduk cappuccino vanilla di depannya.
“Javier belum bilang apa-apa?” Yap, bukanlah hal sulit bagi Iris untuk membaca pikiran Karen yang suram.
“Belum.”
“Bagaimana kalau kita stalking dia?”
“Boleh. Kemari, pindah ke sebelahku." Karen menjawab dengan datar.
“Tweets-nya bertambah. Terakhir dia nge-tweets, dua hari yang lalu. Dan dia mention-an sama Ivy.” Mata Karen menjelaskan kalau ia merasakan adanya ketidak adilan disini. Hanya saja, ia berusaha membesarkan hatinya untuk ikhlas, karena itu adalah hal yang wajar bagi pasangan yang telah berpisah.
“Liat aja percakapannya.”
Karen menganggap kata-kata Iris barusan sebagai tantangan. Ia berusaha menguatkan hatinya untuk melihat lebih jauh.

“Hhh, sialan. Mereka kangen-kangenan di twitter, sedangkan sms-ku selama lebih dari dua minggu ini tak ada satupun yang dibalas. Dan dia belum ngucapin happy birthday padaku? Keparat! Dia pikir hanya Ivy yang kangen? Aku disini nyaris mati karenanya. Cowok kurang ajar!”
“Sabar aja ya. Bagaimanapun juga kan Ivy mantannya.” Ups. Dan lagi-lagi Iris merasa bersalah atas kata-kata yang keluar dari mulutnya.
“Tapi kita temenan selama lebih dari lima tahun. Apa salahnya kalau dia membalas sms-ku? Selama ini aku pikir dia sibuk. Tapi…”
“Udahlah, mending kita nonton aja. Abis itu kita makan-makan.”
“Noah bagaimana?” Karen melirik Noah yang sedang minum disampingnya.
“Ya ditinggal.”
“Kalau begitu, kita ke apartemenku dulu memulangkan Noah. Dan aku yang akan menentukan filmnya.”
“Okay. Film?”
“The Lone Rangers. Disana ada Johnny Depp dan Helena Bonham Carter.”
“Okay. Untuk saat ini, kau-lah boss-nya.”
Pada detik itu, Karen berusaha memaksakan otot wajahnya untuk membentuk selengkungan senyum barang setipis bulan baru, untuk menghargai Iris yang setia mendampinginya.
Mereka berdua mengendarai motor kesayangan mereka dengan kencang. Seolah tak lagi sayang pada nyawa. Mereka merasa seperti kucing yang konon katanya punya sembilan nyawa. Aksi kebut-kebutan itu didalangi oleh Karen yang membutuhkan sesuatu untuk menghibur dirinya.
Noah ditinggal sendirian di sebuah apartemen kecil dengan mainan dan beberapa makanan untuk menemani. Karen sebenarnya merasa sangat tidak enak meninggalkan Noah sendirian. Ia takut Noah dicuri orang, atau hilang karena kabur. Tapi, hati kecilnya membuat ia berpikir kalau waktu yang hanya sesaat, tak akan membuat kucing itu mendapat nasib lebih buruk darinya.

Johnny Depp dan kawan-kawan dengan aktingnya, mampu membuat dua sahabat ini terhanyut dalam dunia fantasy yang terasa nyata. Waktu dua jam pun tak terasa bagi mereka. Mereka merasa dunia hanya milik mereka berdua. Kesedihan yang memberikan warna kelabu dalam hari Karen, tak lagi membuat mataya sembab.
Setelah mengadakan kunjungan singkat di suatu tempat yang disebut toilet, mereka makan di restoran Perancis. Di Canada, agak sulit untuk mencari restoran Perancis dalam sebuah mall. Biasanya, restoran Jepang-lah yang mendominasi restoran di penjuru mall.

Sebuah menu yang sangat sering dilihat di televisi, tapi baru kali ini dilihatnya di daftar menu, membuat Karen ingin menantang lidahnya untuk berpetualang dalam semangkuk sup escargot. Ia pun meminta Iris mengikutinya. Dua sahabat itu tertawa bersama. Awan kelabu yang menutupi kepala Karen, kini telah berganti dengan awan cerah dengan pelangi membingkai di tepiannya. Mereka senang dan menggila bersama.
“Sudah jam 10 PM, ayo kita pulang. Kasihan Noah sendirian.”
“Okay. Tapi kali ini kau kutraktir.”
“Tak usah. Harusnya aku yang mentraktirmu. Ini kan hari ulang tahunku.”
“Baiklah kalau kau memaksa.”
***
Motor kedua gadis itu diparkir di depan apartemen Karen. Dan ketika mereka sampai di depan pintu, betapa terkejutnya Karen melihat sebuah kotak hitam yang cukup besar, tergeletak di depan pintu, menanti untuk dibuka.
“Dari siapa?”
“Entahlah. Ayo masuk!—Noah, aku pulang!” Karen menaikkan nada suaranya pada kalimat terakhir. Matanya mencari dimana gerangan si kucing hitam bermata biru itu berada. Sepasang kakinya menjelajah penjuru rumah untuk mencarinya, setelah meletakkan kotak itu di atas meja kaca ruang tamu.
“Kau sudah tidur, ya? Kucing pintar. Maaf ya, kau pasti kesepian.” Karen mengelus lembut kepala kucingnya. Noah seharian itu mengurus dirinya dengan cerdas. Ia makan dan masuk kandang sendiri, hingga ia terlelap.
“Ayo kita buka kotaknya.” Iris yang duduk di sofa coklat muda, mengambil kotak itu dan memberikannya pada Karen.
“Bagaimana kalau isinya bom, atau sebuah surat kaleng? Oh, atau mungkin isinya benda ancaman?” Karen baru saja bergabung duduk di sebelah kiri Iris. Kotak itu kini dalam pangkuannya. Hanya saja, Ia ragu untuk sesuatu yang mencurigakan.
“Hey, ini kan hari ulang tahunmu. Sudah jelas, kan, kalau ini hadiah ulang tahun untukmu. Yang memberikannya pasti meninggalkan ini di depan pintu karena kau sedang pergi denganku.”
“Okay, mari kita lihat.”
“Eh, ada kartu ucapannya.” Iris dengan segera mengambil kartu itu agar tidak menghalangi Karen mengambil apa isinya.
“Waaah, ini jersey MU ori.” Karen lantas membuka plastik bening yang membungkusnya. “Waaah, ini jersey nomor 14, Chicharito! Kereeeeen! Kotak apa ini?” Karen mengambil dua kotak kecil yang ada di dekat jersey itu. kotak pertama berbentuk ramping dan panjang, sedangkan kotak kedua lebih lebar dan tak sepanjang kotak pertama. Setelah membuka kedua kotak itu, Karen terkejut luar biasa.
“Konte! Sudah lama aku ingin membeli ini, tapi aku tak sempat. Dan kotak ini, sepaket drawing pen! Baru kali ini aku punya sepaket komplit. Rotring pula. Siapa yang memberikan ini?”
“Ini, baca yang keras!” Iris memberikan kartu itu dan lantas merapat ke dekat Karen.
Happy Birthday, Karen. Alex Venardickson—Hey, aku tak kenal dengan Alex Venardickson. Bagaimana ia bisa tahu kalau aku sedang berulang tahun?”
“Mungkin ia teman kecilmu? Atau ia temanmu yang menggunakan nama samaran?”
“Setahuku, aku tak punya teman kecil bernama Alex. Dan kalaupun temanku, buat apa ia menggunakan nama samaran? Orang aneh.”
“Okay, aku tak jadi berkemas. Aku akan menginap disini. Aku takut kalau orang misterius ini mengganggumu lagi atau bahkan menerormu di tengah malam.”
“Terima kasih. Tapi sebenarnya itu tak perlu. Sudah ada Noah yang mengawalku. Aku hanya akan merepotkanmu.”
“Tak apa, kawan. Lalu, barang-barang ini akan kau apakan?”
“Tentu kugunakan. Aku harus menghargai siapapun pemberinya, kan? Lagipula, aku memang butuh ini semua.”
***
Cahaya pagi menerobos jendela kamar Karen. Tirai hijau tua, tersingkap oleh tangan kecil Noah. Dua pasang kakinya, melompat ke atas ranjang. Ia berusaha membangunkan tuannya.
Kelopak mata Karen masih enggan untuk terbuka. Ia mengelus Noah dan menggesernya.
Dalam posisi masih tiduran, ia memasukkan tangannya ke bawah bantal. Kebiasaannya meletakkan handphone di bawah bantal, membuat jemari lentiknya merabai bawah bantalnya untuk mendapatkan apa yang ia cari. Ia terkejut, mendapati sebuah sms menantinya sejak dini hari tadi.
“Iris! Bangun Iris! Javie mengirimiku SMS.”
“Benarkah? Apa isinya?”
“Happy birthday, Karen. Maaf aku terlambat untuk mengucapkannya. Akhir-akhir ini aku sibuk. Semoga kau semakin bertambah cantik, baik, pintar, dan menjadi orang yang lebih baik. *big hug for you*”
“Aaaaaaaarrgh.” kedua sahabat itu berteriak bersama. Kegirangan.
“So sweet banget. Ayo, buruan balas!”
Karen menggenggam handphone dengan tangan gemetar. Javier memang paling pintar membuat ia melayang hingga menembus langit ketujuh. Jemari lentiknya menyentuh layar android hingga membentuk kalimat “Terimakasih. Amin, semoga begitu. Tak apa kok, aku mengerti kesibukanmu. Maaf baru sempat membalas. Kau sedang apa?”
Karen tak henti-hentinya tersenyum. Aura cantiknya terpancar dan bergelora saat itu. Tak lama, balasan pun datang.
“Karen, bolehkah aku menelpon?”
“Aaaaaaarrgh, dia mau menelpon!” Karen berusaha menahan diri dan berusaha untuk tenang, walaupun itu agak sulit baginya. Iris yang ada disampingnya turut senang. Ia bersusah payah menenangkan Karen dengan menyuruhnya mengambil dan membuang napas banyak-banyak. Handphone berdering. Single Maroon 5 kembali menggaung di kamar itu.
“Halo, hai Javie.”
“Hai. Kau tak sedang sibuk, kan?”
“Tidak, memangnya kenapa?”
“Aku mau bertanya sesuatu padamu. Tapi kau harus janji, hanya kau yang tahu.”
“Iya, katakan saja.” Jantung Karen serasa mau pecah pada saat itu. Mungkinkah Javier hendak menyatakan perasaannya? Kalaupun tidak, Karen merasa inilah waktu yang tepat untuknya menyatakan terlebih dulu.
“Aku mau bertanya, kau kan dulu bersahabat dengan Ivy. Lalu, apa kau tahu, bagaimana kabar ayahnya sekarang? Soalnya, semalam aku mengobrol dengannya, dan ia tiba-tiba merasa teringat akan ayahnya. Aku jadi tak enak padanya. Apa ayahnya baik-baik saja?”
“Entahlah. Ia tak pernah mengabariku apa-apa.” Hati Karen terasa mencelos. Ia merasa hancur. Tubuhnya dihempaskan ke Bumi dengan keras setelah ia terbang sangat tinggi. Ia merasa terhempas hingga ke perut bumi, dan kemudian meledak bersama gunung berapi. Matanya berkaca-kaca saat itu. Ia berusaha keras membuat kelopak matanya kuat untuk membendung banjir yang dalam hitungan detik akan mengguyur pipinya.
“Mungkin kau tahu, siapa kira-kira yang tahu jawabannya?”
“Mungkin Michelle.” Yap, mungkin Michelle tahu. Dulu Karen, Ivy dan Michelle selalu bertiga. Mereka berteman akrab. Dan entah karena apa, Karen dan Ivy mencintai orang yang sama. Dan Ivy beruntung, karena sempat menjalin hubungan selama tiga bulan dengan Javier.
“Oh, iya, mungkin Michelle tahu. Terimakasih, ya.”
Karen menutup telponnya. Semua angan di dalam kepalanya runtuh seketika. Ia tertunduk. Ia merasa dirinya telah tewas tak bernyawa. Harinya hancur. Semuanya hancur. Kali ini bukan hanya awan kelabu yang menghantui kepalanya, tapi badai dan tornado bergantian menyerang otak dan hatinya.
“Dia menanyakan tentang Ivy. Dia tak bermaksud ingin berbincang denganku. Padahal aku sangat rindu padanya. Dan ia menghancurkan semua itu.” mendengar itu, Iris turut iba. Terutama ketika Karen membanting tubuhnya ke kasur dan menutup kepalanya dengan bantal. Iris tak bisa berkata apa-apa. Ia hanya mengelus bahu Karen, berharap ia bisa tenang karenanya.
“Dia terlalu brengsek. Dia harus tahu apa yang kau rasakan. Kau harus memberitahunya!”
“Ini bukan waktunya, Iris. Hari ini aku tak mau kuliah.”
“Tapi menurutku kau harus kuliah dan menyibukkan dirimu, agar kau bisa melupakan masalahmu.”
“Nanti saja. Biarkan aku terlambat ke kampus.”
“Terserah kau. Aku akan meninggalkanmu sendiri dan membuatkan sarapan, okay?”
“Terserah!” Karen tersedu dibalik bantal. Noah yang kembali menghampirinya pun tak mampu menenangkannya.
Hari-hari berjalan lambat. Karen menjalani kuliah dengan suram. Ia ke kampus dengan jaket hitam. Hoodie yang ada di jaket itu, tak pernah lepas dari kepalanya. Iris yang tak lagi menginap, menjadikan harinya semakin sepi. Hari ini ia sengaja langsung pulang dan tak menemuinya. Ia hanya ingin pulang dan bertemu Noah. Noah yang kali ini ia tinggal, mungkin sedang bosan di rumah. Rupanya, banyaknya kesibukan, tak mampu mengusir tornado dalam kepalanya.
Setibanya di apartemen kecil tempatnya bernaung, ia mendapati sebuah tas jinjing berukuran sedang.
Karen duduk di sofa, disusul oleh Noah yang telah menunggu. Tas itu berisi botol nitrogen padat yang berfungsi untuk mendinginkan benda yang turut serta dengannya. Dan benda yang turut serta dengan botol nitrogen itu adalah dua bungkus coklat besar dan satu cup besar ice cream.
Coklat itu adalah coklat mahal dengan susu yang disertai almond. Coklat yang menjadi pilihan Karen setiap ia membeli coklat. Ice cream itu juga bukan ice cream biasa. Itu adalah ice cream rasa vanilla dengan taburan choco chip dan berisi saus coklat, yang menjadi faforit Karen sejak dulu. Di tas itu, terselip surat yang dibungkus plastik bening. Mungkin dengan tujuan agar tak basah dikarenakan embun dingin disekitarnya.
Karen menyingkapkan hoodie yang sedaritadi menutupi sebagian kepalanya. Plastik bening itu pun ia buka. Dibacanya perlahan dalam hati isi kertas itu secermat ia bisa.
Karen, aku harap ini mampu menenangkanmu. –Alex Venardickson
“Orang ini gila. Aku sama sekali tak kenal dengan orang yang bernama Alex. Noah, bagaimana menurutmu? Haruskah aku memakan pemberiannya?”
Tapi Noah hanya diam. Ia hanya menatap Karen dengan tatapan tajam yang gagah.
“Okay, aku akan memakan ice cream ini. Coklatnya akan aku simpan di kulkas.” Karen rupanya ingin memakan coklat itu bersama Iris besok.

Sampai malam, kepalanya dihantui bayang-bayang Alex. Ia penasaran. Seperti apa rupanya Alex, juga siapa ia sebenarnya. Kenapa ia bisa mengenalnya dengan baik? Bagaimana pula ia bisa tahu apa yang ia butuhkan, apa yang ia inginkan, dan apa yang ia alami? Ia tak mengerti. Imajinasi mengenai siapa Alex bergantian memenuhi otaknya. Ia membayangkan Alex seorang psycho yang sering memata-matainya. Bayangan lain pun datang. Ia membayangkan Alex adalah temannya yang sering memata-matainya dan menggunakan nama samaran karena malu mendekatinya. Ia juga membayangkan kalau Alex adalah Iris atau orang yang disuruh Iris, untuk menghibur atau membuatnya senang.
Semua bayang-bayang itu berputar tanpa henti di kepala Karen. Ia tak mengerti. Ia juga tak menyangka kalau ada orang yang mungkin secara tulus mencintainya, mengingat ia adalah cewek yang tomboy, kasar, ceroboh dan pelupa, tampangnya pun agak sulit untuk dibilang cantik, ia juga bukan seorang cewek yang tinggi dan pintar. Lantas, apa yang diharapkan seorang Alex dari cewek semacam dia?
Karen juga berpikir, bisa saja ia adalah pria 50 tahunan yang sedang mencari isteri kedua. Ia tak bisa menghentikan pikiran-pikiran tentang siapa Alex sebenarnya. Hingga akhirnya ia terlelap dalam balutan imajinasi.
***
Noah berada di dalam kandang. Ia belum tidur. Mata birunya bercahaya di tengah kegelapan. Ia lantas memejamkan mata. Tak sampai satu detik, saat matanya terbuka, ia telah berada diluar kandang.
Ia melompat ke tempat tidur Karen, berusaha memandang tuannya yang terpejam. Beberapa menit lamanya ia terhanyut. Hingga suara-suara pelan yang mencurigakan, menggelitik telinga Noah. Tanpa pikir panjang, ia sadar, kalau ia terancam. Kaki hitamnya melangkah mengitari apartemen, mencari dimana gerangan sumber suara itu. Matanya mengelilingi ruang kerja Karen yang bersebelahan dengan kamarnya. Ia berusaha agar tak membangunkan Karen yang susah payah untuk terlelap.
Beberapa detik kemudian, ia melepas kalungnya dan berputar dengan cepat. Sangat cepat. Siapapun tak boleh berkedip agar tak melewatkan apa yang terjadi, saking cepatnya. Ketika putaran itu berhenti, ia berubah menjadi wujud aslinya. Demon yang serupa manusia. Wujudnya tampan, dengan rambut coklat muda pendek yang agak berantakan. Ia mengenakan jas hitam. Semua pakaiannya hitam, dari atas hingga bawah. Kalung biru bertuliskan ‘Noah Kent’ dimasukkannya ke saku kanan jas hitam yang ia kenakan.
Mata birunya memantulkan cahaya bulan yang menerobos melalui jendela fentilasi. Ia berpikir, dengan wujud aslinya itu, ia pasti lebih mudah melindungi dirinya.
Rupanya, firasatnya benar. Seseorang dibelakangnya, mengejutkannya.
“Kami sangat kesulitan mencari jejakmu, Tuan Venardickson. Seluruh negeri Aloise telah kami teliti tiap inchi-nya, tapi kau tak ditemukan. Rupanya kau masuk ke dunia manusia. Nampaknya, kau jatuh cinta pada manusia ini kan? Dengan begitu, pelanggaranmu semakin banyak. Tangkap dia! Pembunuh seperti dia tak pantas dibiarkan berkeliaran.” Seseorang yang nampak seperti inspektur, memojokkan Noah versi manusia secara tiba-tiba. Noah dalam wujud manusia, terus membawa sepasang kakinya berjalan mundur. Ia berusaha menghindar dari inspektur gila yang menganggapnya bersalah atas segala tuduhan.
Dan, yap, Noah Kent adalah Alex Venardickson.
Tiga orang lainnya yang  terlihat seperti polisi, tiba-tiba datang dan menangkap Alex dari belakang. “Aku tidak bersalah atas apapun. Kau salah besar. Lepaskan aku! Aku tak bersalah!”
“Bagaimana bisa kau tak bersalah? Kau jelas telah membunuh kedua orang tuamu, dan Sipir penjara tempatmu ditahan. Kau lalu kabur ke dunia manusia, dan jatuh cinta pada manusia. Kesalahanmu jelas tak termaafkan. Bawa ia ke kantor polisi Aloise!”
Kelimanya menghilang bagai ditelan bumi dalam putaran kegelapan.
***
Pukualan keras mendarat di pipi Alex. “Aku tak bersalah. Tolong dengarkan aku!” Ia menggelantung. Kedua tangannya diikat dengan rantai di kedua sisi. Dan kakinya pun diikat dengan tambang besar nan kasar. Semua itu membuat ia tak bisa melawan sedikitpun.
“Mengakulah! Atau kau akan mendapat hukuman mati!” kali ini cambukan keras menyerang punggungnya yang tanpa baju. Cambukan itu meninggalkan luka mendalam yang mengeluarkan cairan berwarna merah. Perih menusuk tubuhnya yang hanya berbalut celana panjang hitam. Teriakan-teriakan yang ditujukan untuk melepas rasa sakit, tak mampu membuat rasa sakit itu berkurang.
Cambuk milik polisi Aloise, sangatlah besar, berat, panjang, tajam, dan menyakitkan. Dan yang membedakannya dengan cambuk biasa, cambuk ini dilengkapi sebuah sensor. Kalau dalam sekali cambuk, sang korban tak mengeluarkan darah, maka cambuk ini akan bergerak dengan sendirinya untuk mengulang kembali cambukan hingga sang korban memiliki luka mendalam dengan darah mengalir dengan derasnya.

“Untuk apa aku mengaku atas sesuatu yang tidak kulakukan?” kali ini pukulan dan tendangan bertubi-tubi mengenainya. Tulang hidungnya patah, begitu pula dengan beberapa tulang rusuknya. Dua orang polisi itu nampak senang melihat tahanannya menderita.
“Sipir sendirilah yang membunuh kedua orang tuaku. Baron-lah pelakunya! Ia membunuh orang tuaku karena ayahku menolak dan melanggar sebuah perjanjian dengannya. Ayahku juga mengetahui kalau Baron seorang koruptor. Ia takut ayahku mengadukannya pada Perdana Menteri, itulah mengapa ia membunuh kedua orang tuaku.” Alex melanjutkan.
Cambukan kesekian kalinya, membuat goresan-goresan merah di punggung Alex semakin menganga. Darahnya mengalir dengan deras. Menambah rasa pedih yang menyayat. “Jelas-jelas pisau itu ada di tanganmu. Tubuhmu pun penuh dengan darah. Kau tak punya alasan! Nikmatilah hukuman matimu beberapa jam lagi.”
“Itu semua akal-akalan Baron! Ia berusaha dengan keras menjatuhkan martabat keluargaku, itulah mengapa ia memfitnahku dan menjebloskanku ke penjaranya, agar ia bisa menyiksaku setiap saat.”
Kali ini beberapa cambukan mendarat di kakinya. Kakinya lemas. Tak mampu lagi membantu menopang tubuhnya. Tangannya yang diikat pada rantai, menjadi satu-satunya titik tumpu ia bergantung. Urat-urat tangannya serasa mau putus menahan beban tubuhnya. Ia tak bisa menggunakan kekuatan sihirnya di ruang introgasi itu. Sistem para polisi Aloise mengharuskan ruang introgasi, penjara dan ruang sidang terbebas dari sihir, agar para tersangka tak bisa melakukan perlawanan.
“Darimana kau tahu semua itu? Oh, aku tahu, kau berusaha keras mengarangnya semalaman, ya kan?”
“Aku menyelidikinya sendiri diam-diam selama aku di tahan di penjara milik Baron. Dan aku pun tak membunuhnya.”
“Sidik jarimu ada di senjata pembunuhan. Hentikan semua omong kosong ini. Terimalah kenyataan kalau kau adalah pembunuh keji berdarah dingin!”
Pukulan-pukulan di kepalanya, membuat ia sulit untuk melihat. Matanya dipenuhi oleh tetesan darah yang mengalir dari penjuru kepalanya. Beberapa tendangan di dadanya, membuat ia sulit untuk bernapas. Bahkan untuk berteriak pun, ia sudah tak mampu. Tenaganya habis. Ia lemas. Sisa tenaganya ia gunakan untuk membela diri. Ia berusaha dengan keras, agar terlepas dari semua kedzaliman ini.
“Aku tak membunuh Baron. Ia terkena senjatanya sendiri setelah berusaha membunuhku. Aku memang sempat menyentuhnya karena ia ingin membunuhku dengan motif seolah aku bunuh diri. Tapi, nasibnya malang kala itu. Ia terkena racunnya sendiri.”
Polisi itu menggenggam rambut Alex yang berwarna coklat muda yang dihiasi bercak merah. Ditariknya ke arah bawah segenggam rambut itu, hingga membuat tulang leher Alex patah. Rasa sakit yang nyaris membunuhnya itu terus menyiksanya tanpa henti. Alex terus berteriak, berusaha menghilangkan rasa sakit yang ada dengan kesadaran yang kian menipis. Tapi ia memaksa otaknya, untuk membuat ia tetap terjaga.
“Kupikir kau bukan hanya terkena pasal pembunuhan, tapi juga pencemaran nama baik.”
“Itu semua benar. Aku tak bersalah. Kenapa kalian terus-terusan menjalani hukum yang tidak adil ini? Tidakkah kalian mendengarku, walau sedikit saja? Aku tidak mencemari nama baik siapapun. Lepaskan aku!” nada bicara Alex semakin lemah. Dan semakin banyak kata yang ia keluarkan, semakin terasa pula rasa sakit yang menyiksanya.
“Kau bahkan kabur dari penjara dan pergi ke dunia manusia, lalu kau seperti tanpa dosa, mencintai seorang manusia. Kau tahu itu kan? Itu salah satu pelanggaran berat dalam hukum Aloise.”
“Kalian benar kalau tentang itu. Tapi apa salahnya? Manusia tak seperti yang kalian pikirkan.”
“Lalu, kau pikir, ia akan tetap menerimamu, setelah ia tahu kau seorang Demon? Apakah ia mau, mempunyai keturunan dari seorang Demon? Kau harus sadar akan itu!” Kali ini, sebuah selang panjang khas milik kepolisian, menyemprotkan airnya yang sangat deras. Derasnya air itu menambah rasa perih yang tak terperi dalam tubuh Alex. Dinginnya hembusan udara dini hari pun, turut membuat lukanya yang menganga semakin mencekit.
“Lepaskan aku!” kali ini Alex benar-benar diambang batas kesadaran. Ia hanya ingin semua ini segera berakhir, agar ia dapat kembali ke Canada. Agar ia kembali pada Karen. Satu-satunya orang yang ia sayang yang masih hidup.
“Karena kemurahan hatiku, kau mendapatkan kesempatan kedua. Kau akan menjalani sebuah sidang lagi. Belalah dirimu dalam sidang itu. Sampai jumpa dalam persidangan sore nanti.” Kedua polisi yang bergantian menyiksa Alex, kini pergi meniggalkan Alex seorang diri dalam keadaan mengenaskan. Alex yang sedaritadi berusaha menahan rasa sakit, kini memejamkan matanya untuk sesaat dalam pingsan. Tangannya kini telah mati rasa karena menjadi penopang tubuh besar nan gagahnya.
***
“Halo, Iris, ini situasi gawat darurat. Noah hilang.”
“Bagaimana bisa?”
“Aku juga tak tahu. Kandangnya masih dalam keadaan terkunci. Tapi Noah tak ada di dalam.”
“Tunggu saja beberapa jam, mungkin ia sedang berkeliaran di sekitar gedung apartemen karena bosan. Nanti juga ia kembali.”
“Semoga benar. Nanti kau kukabari lagi.”
“Kalau benar ia hilang, akan kutemani kau mencarinya hingga ketemu.”
“Terimakasih. Maaf mengganggumu pagi-pagi.”
Cuaca sabtu yang cerah, sangatlah berlawanan bagi Karen, terutama Alex. Karen mengelilingi apartemen dan bertanya pada tiap orang yang dilewatinya. Tapi tak satu pun diantara mereka melihat atau mengetahui keberadaan Noah. Sedangkan Alex, masih bergelantungan di rantai, menanti sidangnya sore nanti.

“Hey, bangun! Kau akan dibersihkan. Hey, kubilang, bangun!” Inspektur dan tiga orang polisi yang semalam membawanya, telah bersiap di hadapannya dengan sebuah selang besar yang panjang di tangan kanannya. Walaupun Alex berusaha membuka matanya, tapi apa yang ia lihat sama sekali tak jelas.
Air deras, kembali mengguyur tubuhnya. Seluruh tubuhnya basah. Debit air yang sangat kencang, membuat luka-luka disekujur tubuhnya kembali terasa berdenyut. Ia merasa seperti mendapatkan siksaan yang sama dalam babak kedua. Perih. Ia memejamkan mata birunya, berusaha menahan rasa sakit.
“Lepaskan dia! Pindahkan ia ke sel!” Tiga polisi itu dengan sigap melepaskan rantai dan tambang yang membelenggu Alex. Mereka bertiga lantas mengikat Alex dengan tali sihir transparan berwarna hitam. Alex yang masih lemah, kali ini tak berusaha melawan sedikitpun. Sang inspektur memimpin orang-orang di belakangnya berjalan menuju sebuah sel yang paling sulit untuk dibobol.
Sang Inspektur mengayunkan tangannya. Dalam sekejap, tubuh Alex yang hanya berbalut celana panjang hitam, lekas berganti menjadi pakaian khusus tahanan.
Sekonyong-konyong, dilemparnya Alex yang masih terikat temali sihir.
Setelah penderitaan ini mendapat kesempatan untuk istirahat, Alex memanfaatkan waktunya untuk mengistirahatkan tubuhnya yang hancur.

“Hey, kucing! Bangunlah! Ini saat-saat dimana kau harus mengirimkan seribu doa pada Tuhan agar kau tak mendapat hukuman mati.”
Alex hanya diam. Ia hanya ingin menggunakan sisa tenaganya untuk membela diri dalam sidang pentingnya. Perut yang meronta-ronta karena belum diberi makan sejak semalam, membuat tenaganya semakin habis. Kakinya yang pincang, berjalan perlahan mengikuti sang inspektur di depan.
Ruang sidang sangat ramai oleh hakim, para petinggi Aloise, dan Perdana Menteri yang menatap dengan tajam ke arah Alex. Persidangan memang belum dimulai. Tapi tatapan mereka telah lebih dulu menghakimi Alex dengan hujanan tuduhan dan hukuman dari pasal-pasal yang terdapat dalam buku Undang-Undang Aloise.
Alex duduk di kursi hitam yang empuk, namun terasa menusuk. Kursi itu bergerak sendiri, mempersilakan Alex untuk duduk di atasnya.
“Saudara Alex Gerhard Venardickson, perkenalkan, aku Hakim Court. Aku berniat untuk mempersingkat acara sidang ini, karena kasusmu sangatlah panjang dan tak kunjung mendapat titik terang. Melalui kamera pengawas dalam ruang penyiksaan, kau sangat bersikeras kalau kau tidak bersalah. Aku sendiri tidak percaya. Tapi untuk membuktikan semuanya, atas nama kebenaran, aku memutuskan untuk melakukan pengawasan ingatan padamu. Kami akan melihat ingatanmu pada waktu itu. Tapi, ini teknologi terbaru. Kau adalah pengguna pertama dari alat ini. Apabila ada kesalahan, kami tidak mau bertanggung jawab. Bagaimana, kau bersedia?”
“Dengan senang hati, Pak. Demi kebanaran, kenapa tidak?”
“Semua setuju?” Court mempertanyakan putusannya pada peserta sidang yang lain. Sebagian besar peserta sidang mengangkat tangan tanda setuju. Palu besar yang bisa bergerak sendiri, mengetukkan dirinya tiga kali. Sidang berjalan singkat. Kini babak baru, segera dimulai. Alex kembali berjalan bagai tahanan besar, menuju ruang penglihat memori.
Alex berbaring di atas sebuah alat mengerikan yang akan mengobrak abrik ingatannya demi sebuah arti kebenaran. Alat-alat aneh memenuhi kepala Alex.
Setelah dibius dan memejamkan mata, para ilmuwan kepolisian, mulai meneliti tiap detil memori Alex.
Disana terlihat jelas segala ingatan Alex, selama 24 tahun ia hidup, hingga ingatan tentang Baron yang mengenakan topeng, yang sedang beraksi di rumah keluarga Venardickson. Lalu ada juga ingatan Baron yang juga melancarkan aksinya di penjara pada Alex hingga menewaskan dirinya sendiri. Lalu terlihat pula bagaimana Alex bertemu Karen. Keakraban mereka berdua diperlihatkan dengan jelas. Kini semuanya jelas.
Namun, tiba-tiba semua gambar ingatan Alex menjadi kusut. Para ilmuwan berusaha menghentikan kerja alat tersebut, tapi usahanya tak membuahkan hasil yang memadai. Segala macam tombol telah diusahakan untuk berfungsi. Tiap detil alat diusahakan kembali sepert semula. Tapi pada kenyataannya, semua sirkuit yang ada putus. Hancur. Alex berguncang dalam kejang. Tak sampai dua menit kemudian, Alat-alat yang menempel di kepala Alex, terlepas dengan sendirinya. Dan semua berakhir. Kepanikan yang menguasai ruangan itu, kini mulai mereda. Tak lama berselang, Alex membuka kelopak matanya.

Dokter kepolisian memeriksa kesehatannya. Kini ia terbukti tidak bersalah. Tapi, kesehatannya terancam.
Pemeriksaan berjalan cukup lama. Dokter harus memastikan kebenaran analisisnya. Berkali-kali pemeriksaan diulang. Tapi kali ini dokter sangat yakin dengan hasil analisis, yang sama untuk keempat kalinya.
“Saudara Alex Venardickson, hasil semuanya, akan di umumkan oleh hakim saat ini. Anda ditunggu kembali di ruang sidang.”
“Terimakasih, dokter.”
Alex kembali berhadapan dengan hakim berkumis tebal itu. Ia pasrah akan apapun yang terjadi padanya. Tapi suasana ruang sidang kali ini, sangatlah berbeda dengan sebelumnya. Para Perdana Menteri, sama sekali tak terlihat. Yang ada, hanya sang hakim, puluhan polisi, para dokter kepolisian, dan para ilmuwan kepolisian.
“Alex Venardickson, setelah pemeriksaan berlangsung, anda dinyatakan tidak bersalah.  Namun, seperti yang saya bilang, dampak maupun efek samping dari alat penglihat memori, bukanlah tanggung jawab kami. Dan efek sampingnya adalah, adanya kerusakan pada jaringan otak anda. Dalam waktu singkat, entah dalam hitungan menit, atau dalam hitungan jam, anda akan bertemu dengan kematian.”
“Hey, bagaimana pun ini menyangkut nyawaku. Kalian harus bertanggung jawab. Apapun yang terjadi, kalian harus mengobatiku hingga aku sembuh. Kalian tak boleh menghindar!”
“Tenang, Saudara Alex…”
“Bagaimana aku bisa tenang?! Kalian yang menjemputku, kalian pula yang menyiksaku sampai tubuhku remuk, dan kelian dengan sewenang-wenang tak mau bertanggung jawab menyembuhkanku setelah membunuhku secara perlahan?!! Apa sebenarnya mau kalian?”
“Maka dari itu, kami dari penguasa hukum Aloise, meminta maaf. Sebagai permintaan maaf, kami akan mengabulkan permintaan terakhirmu. Silakan dipikirkan baik-baik.”
Alex tak percaya dengan semua omong kosong ini. Tapi ia telah menduga tentang kematiannya. Hanya saja, ia belum siap. Ia belum siap untuk kehilangan Karen. Ia sudah kehilangan kedua orang tuanya secara tragis, ia tak mau kehilangan satu lagi orang yang ia cinta.
Saat itu, ia diam untuk beberapa menit. Ia berusaha menikmati bagaimana rasanya bernapas. Bagaimana rasanya merasakan jantungnya berdetak. Bagaimana rasanya menyentuh sesuatu, rasanya menghirup sebuah aroma, mendengarkan apapun, juga bagaimana rasanya melihat. Ia berusaha mensyukuri apa yang selama ini ia dapat. Dan semua itu jadi terasa lebih indah di saat-saat terakhir dalam hidupnya.
Ia mulai berpikir. Ia memikirkan akan keinginan terakhir dalam hidupnya. Ia lalu membayangkan Karen. Ia ingin menemuinya dan melihatnya sebelum matanya terpejam selamanya.
“Baiklah, aku mau aku dikembalikan ke rumah manusia yang mengurusku selama ini.”
“Baiklah, Inspektur, bawa ia kembali!”
“Siap, Pak!”
“Terimakasih Mr. Court.”
Alex lantas menggenggam lengan sang inspektur. Lingkaran waktu yang sangat gelap, membawanya pergi ke tempat jauh. Tempat dimana beragam macam makhluk saling bersimbiosis. Tempat yang biru. Ya, tempat dimana manusia, hewan, dan tumbuhan hidup. Tempat dimana Karen tinggal. Canada. Dan mereka berdua sampai di sebuah apartemen. Disaat sang inspektur telah pergi, Alex nyaris menangis haru ketika ia berdiri di depan pintu apartemen Karen. Ia melihat langit malam Canada. Lagit gelap tanpa bintang yang suram, sama dengan nasibnya.
Tidak, ia tidak merasa memiliki nasib yang suram. Ia senang, bisa menjadi seorang Demon yang mengenal makhluk semacam Karen. Ia lantas menekan bel dan berdiri dengan kekuatan yang dipaksakan ada, seraya bersandar di depan pintu dengan kepala yang dijadikan tumpuan dan tangan kiri menjadi alas sang kepala.
***
Karen pusing. Ia kebingungan. Stress. Seharian mencari Noah tanpa hasil membuatnya putus asa pada malam itu. Sampai ketika bel apartemennya berbunyi.
Ia membuka pintu.
Ketika pintu terbuka, Alex yang sangat lemah tak berdaya, terhuyung ke hadapan Karen. Tubuhnya yang tinggi tegap dan gagah, membuat Karen kesulitan membuatnya bangun. Karen membawanya dengan hati-hati. Disandarkannya Alex di sofa coklat muda miliknya. Pada detik itu, Alex tersenyum.
“Siapa namamu? Apa yang terjadi padamu?
“Hai. Karen. Ini aku, Alex Venardickson.”
Belum sampai Karen mengucapkan sepatah kata, Alex memotongnya dengan cepat. “Mungkin kau tak akan percaya, tapi, aku sebenarnya adalah Noah. Aku seorang Demon, yang dapat berubah menjadi hewan.”
“Jadi kau Alex Venardickson? Aku tak mengerti. Bagaimana mungkin ada orang yang bisa berubah menjadi hewan? Apa itu demon? Dan darimana kau mengenal aku dan Noah?”
“Demon adalah makhluk semacam iblis yang serupa manusia dengan kemampuannya menyihir. Aku tahu kau tak akan percaya. Tapi aku memang Noah.”
“Noah sedaritadi menghilang, dan di tengah malam, aku didatangi orang gila yang sekarat. Aku tak mengerti. Kalau tujuanmu kesini untuk meminta bantuan agar kau sembuh, aku akan bantu. Tapi kalau tujuanmu kesini untuk membuat malamku semakin rusak, lebih baik kau pergi ke rumah sakit, lalu setelah kau sembuh, silakan ke rumah sakit jiwa.”
Alex hanya diam. Mata birunya mencerminkan kalau ia sedang berusaha menahan sakit. Sakit di kepalanya, sakit di tubuhnya, juga sakit dalam hatinya. Ia lalu bekata, “Aku mohon, tatap mataku di saat terakhirku.”
Karen sempat ragu. Sangat ragu bahkan. Ia lantas membuang pandangannya jauh-jauh dari Alex. Sedang Alex terus menatap Karen, berharap Karen balas menatapnya. Tapi Karen tetap tak mengerti.
“Aku mohon, lihatlah mataku.”
Karen tak tega dengan orang disampingnya itu. Dengan berat hati, ia coba melihat mata biru orang di sebelahnya. Pertemuan sepasang mata coklat muda dengan mata biru, membawa Karen terhanyut pada bayangan yang dilihatnya. Ia melihat semua yang dialami Alex selama dua puluh empat tahun dia hidup. Ia melihat Alex sejak ia kecil dan masih memiliki orang tua, ia melihat saat-saat Alex kehilangan kedua orang tuanya, kehidupan Alex yang dipenjara selama dua tahun, juga semua yang dialaminya bersamanya sebagai Noah, juga saat-saat dimana Alex memberinya hadiah di depan pintu, dan bagaimana perjuangannya agar tetap hidup dan berhadapan dengannya saat ini.
“Jadi Kau benar Noah?”
Alex hanya diam. Ia menatap Karen dengan mata berusaha menahan tangis. Lama-kelamaan, bukan hanya tangis yang ia tahan, tapi denyut kesakitan pada kepalanya. Rasa sakit pada kepalanya semakin menjadi. Hingga ia tak lagi mampu menahannya.
Ia lalu berdiri dan bergerak secara abstrak sambil mencengkram kepalanya dan berteriak.
“Aaaaaaaarrrgghh.. Aaaaaarrgh..” Alex terus mengerang. Kepalanya terasa akan meledak. Sakit. Sangat sakit. Ia terus memegangi kepalanya yang sakitnya tak terperi.
Karen panik. Ia hanya bisa berdiri dan berusaha menenangkan Alex sambil terus menanyakan apa yang terjadi.
Teriakan Alex kian memecah malam. Karen yang ada di dekatnya, tak bisa berbuat apa-apa.
Alex kini meringkuk kesakitan di lantai. Dalam keadaan setengah sadar, ia melihat Karen menghampirinya dan berusaha menenangkannya dengan berlutut dan memindahkan kepalanya ke pangkuannya. Dengan maksud menghargai usaha Karen, ia menahan pedihnya sekarat, agar Karen melihatnya dalam keadaan tenang.
Sambil mencengkeram kepalanya, ia berkata pada Karen, “Hei, kau tahu, aku sangat, aku sangat mencintaimu, Karen.”
Hingga akhirnya, ia memejamkan mata birunya untuk selamanya. Ia berubah, menjadi sesosok kucing hitam penuh luka, yang terbaring tak berdaya.
Karen tak percaya akan apa yang ia lihat. Ia melihat seseorang yang selalu ada untuknya telah pergi. Seseorang yang selalu menemaninya kapanpun, dimanapun ia membutuhkan. Seseorang yang sangat tulus dan mengorbankan nyawanya hanya agar dapat bertemu dengannya pada saat terakhir dalam hidupnya. Pada akhirnya, Karen menjadi orang terakhir yang ia lihat.
Ia meninggalkan Karen sendirian. Sendirian dengan perasaan penuh kebingungan dan kehilangan yang mendalam. Ia meninggalkan cintanya pada gadis seniman yang bahkan belum membalas cintanya sebagai seorang Alex.
Karen menangis tanpa henti. Air matanya tak mampu dibendung oleh kedua matanya. Ia memeluk erat tubuh kucing hitam yang selama ini menemaninya. Kucing yang menjadi sahabat baiknya.
“Kenapa kau baru bilang sekarang? Kenapa tidak kau ceritakan sejak kita pertama kali bertemu? Kenapa kau meniggalkanku dengan semua tanda tanya ini? Kenapa kau secepat ini meninggalkanku? Jangan pergi, Alex! Tolong jangan pergi! Biarkan aku mengenalmu sebagai seorang Alex walau sehari saja. Aku mohon. Aku mohon.”
Sayangnya, semua perkataannya tak berguna saat itu. Takdir tak lagi bisa berubah seperti negeri dongeng.
Sejak saat itu, Karen menjaga rahasia kisah Alex baik-baik. Begitu pula cintanya. Akan ia jaga agar hanya milik Alex seorang walaupun ia berkeluarga kelak. Alex terlalu membekas dalam hatinya.
~Finn~