|
T
|
Jam
di sudut kanan atas laptopnya menunjukkan kalau malam telah berada pada
puncaknya. 11.41 PM. Senyap mengguyur imajinasinya yang semakin menggila. Kini
ia sedang berada di titik klimaks tulisannya. Butuh konsenterasi besar untuk
menghasilkan karya yang besar. Tak adanya makanan di apartemen kecilnya,
menjadikan ia terpaksa memilih restoran sederhana menjadi tempat kata-katanya berlabuh. Namun,
sesuatu yang sangat mengganggu menghancurkan untaian imajinasinya.
Ia
berusaha untuk tetap konsenterasi, tapi rasanya sulit. Hasrat untuk kembali
mendapatkan ketenangan ditambah dengan rasa penasaran yang semakin menggunung,
membuat ia membulatkan tekad untuk menghampiri dan mengakhiri keributan
tersebut. Ia pergi, ke sumber suara. Suara dari bagian belakang restoran.
Mungkin dapur.
Sebuah
pintu putih besar nan berat, terbuka oleh tangan gadis itu. Tulisan Besides Chef, Forbidden to Enter yang
terpampang gamblang di depan pintu, tak diindahkannya sama sekali. Ia melihat
gerangan yang terjadi dibalik pintu. Sadis. Yap, begitulah komentar bagi
siapapun yang melihat dengan mata hati mengenai kejadian ini. Beberapa
peralatan dapur bertebaran seolah telah terjadi gempa. Seseorang yang
mengenakan topi koki paling besar dari yang lainya, merabai meja dapur
jajahannya. Ia berusaha menemukan sesuatu yang besar dan mengilap. Sedang
seekor kucing hitam berbulu pendek meringkuk ketakutan di sudut ruangan.
Pisau
daging dalam genggaman seorang kepala koki, nyaris saja dilayangkan ke arah
kucing hitam itu. Gadis itu dengan berani, menghalangi sang kepala chef, yang
hendak menyembelih si kucing hitam. Dengan sigap, ia mengambil dan memindahkan
kucing itu ke dalam dekapannya. Kejadian itu begitu singkat. Nyaris
seperkedipan mata. Gadis itu pun tak sadar akan apa yang ia lakukan. Dalam
dekapannya, kucing itu tak lagi terlihat ketakutan. Matanya yang biru, lantas
memantulkan pendar cahaya ketenangan. Sedang mata coklat gadis itu, menatap
tajam ke arah kepala chef.
Chef
lainnya ikut turun tangan. Mereka berusaha menahan koki kepala yang sedang
menggila. “Bagaimana bisa ada orang asing yang berani masuk kesini?! Kau,
jangan kau menghalangiku menghajar kucing itu!” sang kepala chef menggertak
dalam cengkeraman anak buahnya yang menahan dari sisi kanan-kirinya.
“Lantas,
apa dosanya?” sedang gadis itu tetap merangkul si kucing. Tangannya semakin
erat, menghangatkan kucing berbulu pendek di kota dingin.
“Dia
datang tiba-tiba dan langsung menghancurkan dapurku. Bulu-bulu dan kuman di
dalamnya kelak akan mencemari makanan yang hendak disajikan, sedangkan kami
para chef tak mungkin memeriksa makanan yang ada di sini satu-persatu.”
“Biar
aku yang tanggung jawab.”
“Baiklah,
dan bawa kucing itu jauh-jauh dari sini!”
Setelah
semuanya tenang, gadis itu melepas dekapannya.
***
“Hey,
kau merusak malamku. Deadline cerpenku kini tinggal delapan jam lagi. Dan kau
membawa kerugian besar padaku. Kucing menyebalkan.” Gadis berambut coklat
panjang itu berjalan menjauhi restoran dengan kucing hitam mengikuti bak
pengawal di belakangnya. Ransel besar berisi buku-buku tebal disanggahnya di
bahu yang miring dengan derajat kemiringan yang sangat kecil. Tas laptop
jinjing tak lupa dibawanya di kepalan tangan kanan. Ia berjalan dengan cepat,
berharap kucing itu pergi jauh meninggalkannya. Tapi ia harus menerima
kenyataan pahit ketika berbalik. Dugaannya salah.
“Hey,
kau mengikutiku! Dan kau menatapku dengan pandangan seolah tanpa dosa. Dasar
kucing!” ia kembali melangkah. Namun, tak sampai lima langkah, ia kembali
berbalik.
“Sudah
kubilang, jangan mengikutiku! Tidakkah kau mengerti?!—hhh, baiklah, kau
kupelihara.” Gadis itu berjongkok, berusaha agar kepalanya sejajar dengan sang
kucing walau memang tak mungkin. Kini sepasang mata coklat bertatapan langsung
dengan sepasang mata biru.
Kucing
itu mengeong. Entah apa yang ia katakan dalam bahasa kucing. Apapun yang ia
katakan, mata birunya yang bercahaya mampu menggetarkan hati siapapun yang
melihat.
“Namaku
Karen Kent. Mm, namamu?—Ah, bagaimana dengan Noah Kent? Kau suka? Mulai malam
ini kau tinggal denganku.” Karen memasukkan Noah ke dalam tasnya dan membuka
sedikit risleting yang mendadak beralih fungsi menjadi fentilasi.
Sepanjang
perjalanan, Noah hanya bungkam. Diam tanpa suara. Ia sama sekali tak nampak
seperti kucing hiperaktif yang hobi meracau. Entah memang seperti itu
tabiatnya, atau hanya siasatnya sebagai pencari perhatian. Tapi kucing itu
tidak terlihat lucu seperti kucing kebanyakan. Ia lebih terlihat keren dan
gagah.
Karen
mengambil kunci apartemen dalam dompetnya. Apartemen milik seorang wanita tua
itu, terdiri dari tiga lantai. Karen, menempati apartemen lantai dasar. Di
lantai dua, ditempati oleh seorang model yang jarang pulang, sedangkan lantai
tiga, ditempati oleh wartawan yang juga jarang pulang.
Apartemen
kecil yang sebenarnya tak layak untuk disebut apartemen tersebut, menyambut
kedatangan penghuni barunya dengan pintu bobrok yang terpampang di bagian
depan. Beberapa kali Karen mengukuhkan niat untuk memperbaiki pintu itu, namun
kesibukannya mengalihkan semua rencana dan niat. Kuliah, organisasi, menulis,
semua ia lakukan dalam hari yang sama. Dan kini, kesibukannya bertambah dengan
datangnya Noah ke dalam hidupnya.
Berusaha
menjadi tuan yang baik, Karen berniat memberi Noah makan malam. Lantaran tak
tahu harus memberi apa, ia mengambil ikan sisa tadi pagi. Daging ikan yang
telah mengeras, disuir hingga bertaburan di penjuru piring. Semua dilakukannya
dengan sabar dan cekatan.
“Makanlah.
Maaf aku tak punya makanan enak. Tak ada yang bisa kau harapkan dari mahasiswi
biasa sepertiku. Kau mau minum apa? Air, atau susu?—Baiklah, air saja ya. Aku
tak tahu susu apa yang baik untuk diminum kucing.” Noah hanya diam. Ia menatap
suiran ikan itu dengan tatapan aneh. Ia terlihat seolah sudah kenyang, atau
mungkin ia tahu ikan itu adalah ikan yang nyaris basi, hingga ia enggan untuk
memakannya. Tapi, setelah ditunggu, atau lebih tepatnya dipaksa beberapa lama
oleh Karen, akhirnya ia menyisakan piring kosong.
Kakak
beradik jarum jam, terus meneror Karen tiap mereka bergerak. Mereka bercerita
kalau sekarang telah dini hari, tepatnya 02.05 AM. Kini deadline cerpen Karen
tinggal enam jam lagi. Dan, ia tak lagi mengerjakannya sendirian, karena ada
Noah yang menemani sambil meringkuk di atas karpet, tepat di sebelahnya.
***
Saraf
optik Karen telah istirahat selama dua setengah jam, namun itu semua tak mampu
mengubah guratan merah yang terasa perih di matanya. Rasanya ia masih
mengantuk. Tapi ia harus menyerahkan naskahnya, menerima honor, dan lanjut
kuliah.
Pagi
itu, terbesit sebuah tanda tanya besar di pikirannya. Tanda tanya yang mungkin
kini telah terukir sangat besar di keningnya. Tanda tanya yang masih belum
terjawab. Tanda tanya yang mempertanyakan, akan dibawa kemana Noah ketika ia
pergi seharian? Apa yang akan Noah makan selama ia pergi? Apakah Noah bisa
ditinggal? Atau malah harus terpaksa dibawa kemana-mana?
Okay,
tanda tanya itu memang tak hanya sebuah. Tapi semua itu masih belum mendapat
jawaban yang berarti.
Dengan
keputusan yang dirasa bijak, Karen akhirnya membawa Noah. Tas ransel yang
menjadi bawaan wajib, kini mau tak mau semakin berat dengan adanya Noah yang
sedikit dipaksa masuk. Rasa sayangnya pada kucing sedari ia kecil, mengalahkan
rasa keberatannya akan apa yang ia pikul.
Cahaya
pagi kota Ontario, menerobos pintu kaca gedung redaksi majalah dewasa. Di
dalam, Karen langsung berhadapan dengan seorang wanita berambut ikal yang
digulung ke belakang. Wanita itu duduk di sebuah meja bertuliskan Reseptionist.
“Hai,
Claire.” Sapaan Karen dibalas dengan selengkung senyuman oleh wanita berkulit
hitam itu.
Ia
lantas melangkah. Sepasang kaki Karen yang dibalut jeans warna biru menggiring
ia ke sebuah ruangan dimana banyak orang lalu-lalang.
Jemari
kecilnya mengetuk pintu tiga kali. Di dalam, ia disambut seorang pria berusia
empat puluhan yang sedang kedapatan tamu. Karen menunggu di sofa, sembari
menyiapkan berlembar-lembar kertas dalam tasnya, sampai tiba gilirannya
menghadap. Sampai ketika, ia melihat seorang wanita berjalan meninggalkan
ruangan tersebut. Ia sadar, inilah gilirannya.
“Pagi,
Mr. Curvey.”
“Silakan
duduk. Maaf membuatmu menunggu lama.”
“Tak
apa, saya mengerti.”
Karen
meletakkan ransel hitam dan tas jinjingnya di lantai. “Pak, sebelumnya, saya
boleh minta izin melepas kucing saya sebentar? Kasihan, sepertinya dia
kekurangan oksigen di dalam tas.”
“Silakan.—Kucing
baru?”
“Begitulah.
Namanya Noah.” Karen mengangkat dan mengeluarkan kucing hitam dari dalam
tasnya. Tapi Noah tak berlari sesuka hati. Ia justru menunggu Karen selesai
dengan urusannya tepat di sebelah kursi tempat ia duduk.
“Ia
kucing pintar. Kau pastilah bertambah sibuk.”
“Tak
apalah. Ini masih bisa saya atasi. Oh, ini artikel dan cerpen yang anda minta.”
“Klap”
“Permisi, Pak.” Karen memutar kepalanya, memandang lurus ke arah seorang wanita
yang baru membuka pintu. Sekilas pandang saja, Karen langsung tahu kalau itu
Samantha, sekertaris Mr. Curvey. Mr. Curvey menggerakkan tangan kanannya, mempersilakan
Samantha untuk duduk di sofa, seperti yang sebulumnya Karen lakukan. Dan mata
tajam Mr. Curvey, kembali menatap Karen.
“Ini
honormu. Tema majalah kita berikutnya adalah Rock vs K-Pop. Di majalah itu,
artikel utamanya tentang Avril Lavigne yang sedang membuat album baru. Dimohon
kerjasamanya.”
“Mm,
Pak, sebenarnya, saya termasuk salah satu fans berat Avril Lavigne. Suatu
kesenangan tersendiri membuat artikel tentangnya. Terimakasih, Pak.”
“Tidak,
saya yang berterimakasih. Perusahaan kami sampai sekarang masih menanti
kelulusanmu untuk menjadikanmu pekerja tetap. Sayang itu masih lama sekali.”
“Saya
akan senang bekerja disini. Terimakasih atas pengertiannya, Pak. Saya pamit.”
Karen kembali memasukkan Noah ke dalam ranselnya dan kembali mengenakannya pada
bahu yang tak simetris. “Permisi.” Lanjut Karen.
Karen
meninggalkan ruangan Mr. Curvey dengan senyum yang tak meluntur. Ia merasa
diberi anugerah yang tak terperi. Sedangkan bos penerbit tersebut, kembali
dalam gelutan kesibukan.
Sepasang
roda dari motor biru, terus berputar dengan kencangnya hingga tiba di sebuah
kampus yang sangat dicintai dan dibanggakan oleh siapapun yang bergabung di
dalamnya. Gedung besar yang lebih pantas disebut hotel dibanding kampus itu,
telah menghasilkan ratusan sumber daya manusia yang berpotensi tinggi dalam
bakatnya masing-masing. Mahasiswa yang bergabung di dalamnya, ada yang datang
dengan kacamata tebal, ada juga yang membawa tas kamera, bahkan ada pula yang
membawa beberapa buku kedokteran yang sangat tebal dengan berat hampir dua
kilogram tiap bukunya.
Tapi
lain dengan Karen. Sebuah tabung kertas yang ia selempangkan, memberi ia dan
beberapa anak sesamanya, sebuah ciri tersendiri sebagai anak jurusan
arsitektur. Ia berkuliah selama berjam-jam dan yang ia lakukan hanya
menggambar, menggambar dan menggambar. Ia senang dengan itu. Sedari ia masih
menjadi murid Senior High School, ia sering membayangkan bagaimana rasanya
bersekolah di sekolah yang kegiatannya sedari awal sampai selesai hanya
menggambar dan menggambar. Ia ingin menghabiskan hidupnya dalam goresan pensil
dan lembaran kertas putih. Ia ingin mengabdi pada dunia seni. Baik seni lukis,
maupun seni tulis.
Jam-jam
berlalu begitu lambat. Noah yang masih bersarang di dalam tas, melongokkan
kepala dan membiarkan mata birunya melihat sekitar. Ia melihat seorang dosen
sedang duduk menanti para muridnya yang kelabakan dengan tugas. Mereka ditugasi
menggambar keadaan kota seratus tahun kemudian dalam waktu enam puluh menit.
Walaupun ia kucing, tapi cara ia menatap, menceritakan lebih tentang apa yang
ia rasakan. Ia merasa miris, mungkin dalam pikirannya, ia merasa ingin
membantu. Sayang, ia hanya seekor kucing.
Noah
kembali memasukkan kepalanya ke dalam tas, sedang kepala para mahasiswa penuh
dengan kepulan asap seolah mereka pabrik industri yang biasa mencemari langit.
Tangan mereka dengan gesit dan cepat menorehkan guratan-guratan pensil dari
beragam ketebalan, dan mengakhirinya dengan sentuhan drawing pen. Mereka
menggambar hingga titik darah penghabisan, hanya demi mendapat nilai A.
Enam
puluh menit berlalu. Satu persatu murid kedepan untuk penilaian. Karen
menyelesaikan gambarnya dengan sepenuh hati. Entah apa penilaian yang ia dapat.
Yang jelas, bagi siapapun yang melihat, gambar yang dihasilkan dari tangannya
itu, sangatlah menakjubkan.
Lima
belas menit istirahat, dirasa cukup menjadi penyegar otak yang lunglai. Ketika
waktu lima belas menit itu berakhir, itu menjadi pertanda buruk bagi sebagian
besar mahasiswa arsitektur. Nasib mereka dipertaruhkan oleh goresan tinta Mr.
Cadwick. Yap, dan nasib sial nampaknya menghujani Karen. Ia hanya mendapat D,
dan harus mengulang di tugas berikutnya.
Puluhan
pasang mata menatap ke arah yang sama. Mr. Cadwick, membalas tatapan itu dengan
mengeluarkan kata-kata mengerikan tak terduga.
“Kalian
lihat di depan? Di sini terdapat sebuah bandara yang hangus terbakar.
Perhatikan baik-baik. Tugas kalian adalah membayangkan bagaimana bandara ini
sebelum kebakaran terjadi, dan menuangkannya ke dalam kertas. Waktu kalian
untuk melihat foto ini sepuluh menit, dan waktu kalian menggambar adalah 50
menit. Dimulai dari sekarang!” Perlakuan sang dosen yang semena-mena membuat
para murid seperti ikan yang dibawa ke daratan dan tinggal menanti ajalnya.
Beginilah
resiko belajar menjadi calon arsitek. Otak benar-benar dibuat bekerja keras.
Semua bagian otak dari kanan sampai kiri, tak ada yang menganggur. Tapi
faktanya, Karen dan yang lainnya masih harus berjuang dalam keadaan seperti ini
beberapa tahun lagi. Mungkin ketika mereka lulus nanti, gugusan sel-sel otaknya
sangatlah rumit. Lebih rumit dari gugusan akar beringin yang menggelantung.
Dan
usaha Karen tidaklah sia-sia. Pada akhirnya, ia mendapatkan apa yang ia
inginkan. Torehan tinta spidol biru Mr. Cadwick yang membentuk huruf A,
akhirnya ia dapat.
3.15
PM. Ia lelah. Kepala yang berat dan perut kelaparan membuatnya berjalan ke
tempat favorit semua mahasiwa. Café.
Di
sebuah meja persegi, satu dari keempat kursi yang mengitarinya, diduduki oleh
seseorang yang telah menunggu Karen dengan segelas jus jambu di depannya. Di
meja itu juga tersedia daftar menu dan secarik kertas putih dengan beberapa
tabel, yang menanti untuk diisi dengan daftar pesanan.
“Hai,
sudah lama?”
“Lumayan.”
“Hey,
aku ingin memperkenalkan teman baruku.” Karen mengambil seonggok kucing hitam
bermata biru dalam ranselnya yang juga hitam. “Namanya Noah. Noah, ini Iris
Bronner, jurusan sastra inggris. Iris, ini Noah. Aku mulai memeliharanya sejak
semalam. Ia keren, kan?”
“Jadi
ini kucing yang kau ceritakan?”
“Yap,
kau harus bayangkan tentang betapa langkanya kucing seperti ini, dan aku
mendapatkannya dengan cuma-cuma.”
“Mm,
kurasa tidak, berapa ganti rugi yang harus kau bayar?”
“200
dollar.”
”Berarti
kau tak mendapatkannya dengan gratis.
Dan dia harus jaga jarak denganku.”
“Oh,
aku lupa kau benci kucing.—Mm, aku pesan sushi unagi, salmon rebus, lemon tea
dan air mineral.” Tulisan Karen yang tegak dan ramping membentuk huruf
bertuliskan semua pesanannya.
“Terimakasih.
Aku sebenarnya tak memintamu untuk menteraktirku.”
“Hey,
siapa yang menteraktir? Itu untuk Noah. Jadi kau mau ditraktir? – Okay, kalau
begitu, sushinya satu lagi.”
“Kau
memberi makan kucing dengan salmon?”
“Memang
kenapa? Semalam ia kuberi makanan basi. Kau mau sushi apa?”
“Sushi
spicy tuna. Terimakasih, kawan.”
Karen
menuliskan pesanan dengan santai, seraya memberikannya pada pelayan berseragam
hitam-merah yang sejak beberapa detik lalu menanti kepastian di sisi kirinya.
“Hhh,
kuliah semakin membosankan saja.”
“Bagimu
bosan? Kepalaku mau pecah karenanya. Kau tahu? Mr. Cadwick semakin lama semakin
gila. Barusan, dia menyuruh muridnya melihat foto bandara yang hangus terbakar
dan menggambarkan desainnya sebelum bandara itu kebakaran. Gila! Sedikitpun tak
terbayang dikepalaku bagaimana wujud bandara itu sebelum kebakaran.”
Pesanan
mereka tiba. Dua buah piring panjang dan satu piring bulat berisi salmon rebus,
mendarat dengan mulus di atas meja. Kali ini Karen tidak menyuir-nyuir ikan
untuk Noah. Ia pikir Noah tidak suka ikan dalam wujud kecil.
Noah
sepertinya mulai terbiasa dengan ikan. Piring putih berisi daging merah salmon
filett, nampak bersih seperti tak pernah diisi apapun sebelumnya. “Kali ini kau
menghabiskan makanmu, ya? Kucing pintar.“ Karen mengelus dagu kucing pertama
yang menjadi peliharaannya itu. “Pulang kuliah nanti, kau mau kan menemaniku
membeli barang-barang untuk Noah?”
“Boleh.
Aku juga ingin mencari buku baru.—Kau mengeluarkan banyak uang. Baru mendapat
honor?”
“Memang.
Apakah tertulis jelas di keningku?”
Mereka
tertawa bersama.
***
Taksi
kuning yang membawa barang bawaan telah berlalu. Motor biru yang biasa Karen
gunakan pun diparkir di tempat ia biasa memarkir. Di apartemen, Karen dengan
bangga dan senang memberikan belanjaannya pada Noah. Kalung biru bertuliskan
Noah Kent berwarna hitam, kini terikat di leher gagah kucing hitam itu. Dan
kini, ia tak lagi bisa berkeliaran semaunya, karena kandang besi putih selalu
menantinya. Di dalam kandang putih itu terdapat nampan biru, berisi pasir
kelabu yang membumbul dan nyaris lumer keluar. Selain itu, juga ada tempat
makan berwarna hijau gelap khas army, bertuliskan nama Noah yang juga berwarna
hitam. Sedangkan mainan berupa bola-bola dan cat anak-anak, Karen simpan di
tempat aman.
“Hey,
ayo selfie.” Diletakkannya Noah disebelahnya. Satu, dua, tiga. Yap, tiga kali
jepret, dan Karen tak bosan-bosannya berfoto dengan Noah. Baginya, Noah terlalu
indah.
Hadirnya
Noah memang memberi warna tersendiri dalam hidup Karen. Karen tak lagi merasa
sendiri. Masalah pun tak lagi terasa berat dengan adanya Noah yang pintar membuatnya
tersenyum. Entahlah, tapi Noah telah Karen anggap seperti kembarannya sendiri.
***
Dua
bulan kemudian.
27
Juni 2013, 00.00
Handphone
android putih Karen, yang biasa diletakkan di bawah bantal, berdering dengan
riang. Single Maroon 5 dengan judul Payphone,
menggema di kamar apartemen yang tak begitu besar. Alam mimpi yang dibangunnya
kini musnah. Kebingungan pun mulai menjalar dalam otak Karen setelah melihat
siapa yang menelponnya. Nomor yang menelponnya disembunyikan. Entah karena apa.
Dihantui
rasa penasaran, Karen mengangkat teleponnya.
“Halo.
Ini siapa?”
Tak
ada suara di seberang sana. Telpon pun terputus. Tak sampai sepuluh detik
kemudian, handphone Karen kembali berdering. Masih dengan nomor yang
disembunyikan. Tanpa pikir panjang, Karen mengangkat handphone-nya.
“Halo?
Siapa disana? Dasar kurang kerjaan! Apa maumu menelpon di tengah malam begini?”
Tapi
kali ini di seberang sana tak lagi hening. Sebuah suara yang agak pelan,
terdengar samar-samar. Suara itu terdengar seperti seseorang yang sedang
bernapas dengan berat. Perlahan, suara itu semakin kencang dan semakin dekat.
Karen yang mulai ketakutan, mematikan handphone-nya, dan melemparnya perlahan
ke kasur. Napasnya terengah-engah ketakutan. Ia mengambil Noah yang tidur dalam
kandang untuk menjadi alat penenang.
Tak
lama, suara berkelontangan memekakan telinga Karen. Awalnya, Karen sempat
memiliki niat walau sebesar biji zarah, untuk kembali ke pulau kapuk, tapi
suara kelontangan itu nyaris berhasil menjebol membrane timpani Karen, dan niscaya membuat ia mengurungkan
niatnya.
Dalam
pelukan Karen, Noah mengeong beberapa kali seolah merasa terancam. Suara itu
sangat berisik. Seperti tong sampah seng yang di banting sembarangan.
Ia
lantas beranjak keluar kamar. Berniat memeriksa apa yang terjadi di luar. Ia
berpikir kalau ini semua ulah tetangga yang iseng mengganggu malamnya. Noah
yang sebelumnya dalam dekapan, kini berjalan beriringan di dekatnya.
“Tok
tok tok, tok tok tok…” Seseorang dari luar, mengetuk beberapa kali pintu
apartemen. Ia penasaran, siapa gerangan yang bertamu disaat para nokturnal
berpesta ria. Ia lantas menyalakan lampu putih yang mempermudah sel kerucutnya.
Tapi lampu tak kunjung menyala.
Ia
tetap penasaran. Perlahan, ia kuatkan niat untuk membuka pintu. Tapi, belum
sampai ia mengambil satu langkah, kini giliran suara lonceng yang mengganggu.
Suara lonceng yang nyaring, berdering dengan nada yang teratur, namun
menyeramkan. Samar-samar, suara parau mulai terdengar.
“Kareeeeen.
Aku tahu kau ada di dalam. Buka pintunya, Kareeen..”
“Siapa
itu?” pada detik yang sama, Karen mulai merasakan sesuatu yang mengganjal di
hatinya. Ia merasa penasaran, sekaligus takut, yang membuat kerongkongannya
terasa kelu walau hanya menelan ludah.
Karen
sejauh ini masih berdiri kaku, kebingungan. Kebingungan akan keputusan apa yang
ia ambil. Sepanjang mata memandang, ia melihat daun pintu apartemen yang
bergerak tanpa henti. Siapapun yang berada di luar, jelas memaksa masuk ke
dalam. Karen yang panik, mengambil shinai
kendo yang tersimpan rapi di dekat sofa. Noah dengan tampang lebih berani,
mendampingi tuannya di sampingnya. Karen berjalan perlahan mendekati pintu. Dan
alangkah terkejutnya ia melihat cairan berwarna hitam keluar dari sela-sela
bawah pintu. Air hitam itu cukup kental. Perlahan namun pasti, air hitam itu
mengalir menuju kaki Karen.
Angin
yang cukup besar berhembus, mengibarkan tirai-tirai hijau tua yang
bergelantungan menutupi jendela di samping pintu. Kaca jendela yang mendadak
terbuka, beberapa kali menatap ke bingkainya. Air hitam yang keluar dari
sela-sela bawah pintu semakin banyak mengalir dan meluas, nyaris mengenai kaki
Karen. Seseorang di luar sana, semakin memaksa masuk. Daun pintu berwarna
tembaga itu, kian tak bersahabat. Karen semakin panik. Ia belum pernah
mengalami ini sebelumnya.
“Kareeeeeeeeeenn…
Kareeeeeenn..” suara parau itu semakin menggema. Ia seaakan berhasrat tinggi
untuk masuk ke apartemen Karen. Walaupun hanya sekedar suara, tapi nada yang
dikeluarkannya, menjelaskan kalau ia sangat ingin berhasil menembus lini pertahanan
Karen.
Karen
tak lagi memiliki niat membuka pintu. Kali ini, ia lebih memilih untuk berbalik
dan meringkuk di sofa coklat muda temannya menonton televisi. Shinai kendo yang
sebelumnya hendak dipergunakan sebagai senjata, malah dilemparnya ke lantai, entah
kemana. Karen menggapai salah satu bantal di atas sofa. Bantal tersebut,
menjadi alat yang empuk dan nyaman untuk dipeluk di saat genting seperti ini.
Perlahan,
pintu terbuka. Gerenyit suara pintu yang membuat Karen semakin merinding, turut
melengkapi suasana. Pintu yang seharusnya dikunci, kini semakin gamblang
terbuka. Noah yang sedari tadi mengeram, berdiri dengan berani di depan pintu,
berusaha menghadang siapapun yang muncul. Berlainan dengan Noah, Karen menutup
kepalanya dengan bantal sofa. Ia sangat shok. Dan seperti biasa, bila ia sedang
shok, kakinya lemas dan gemetar. Ia tak lagi peduli pada nasibnya setelah
makhluk yang memaksa masuk itu datang.
Pintu
terbuka seutuhnya. Tapi keheningan menjalar. Udara malam yang dingin,
berhembus, membuat Karen semakin merinding. Noah yang semula mengeram dengan
kencangnya, kini diam. Karen penasaran. Perlahan, ia membuka bantal coklat tua
yang menutupi wajahnya. Dan betapa terkejutnya Karen ketika mendapati lampu
yang sebelumnya mati, kini terang benderang menyinari apartemennya. Jendela
yang sebelumnya bertatapan dengan nada yang abstrak, kini tak lagi berbunyi.
Semua yang ada di situ, senyap tanpa suara. Lebih terkejut lagi, ketika Karen
melihat tamu yang mengganggunya malam ini, dan rupanya tamu itu tak sendirian,
tapi lebih dari lima orang. Mereka bergumul dan menyerbu untuk masuk.
“Happy
Birthday Karen, happy birthday Karen, happy birthday, happy birthday, hapy
birthday Karen…”
Riuh
suara dari para tamu, menggema menyerukan hari ulang tahun Karen. Iris memegang
ice cream cake besar berbentuk persegi panjang yang Karen yakin, Iris sendiri
yang membuatnya. Ice cream cake coklat itu memiliki lilin di atasnya membentuk
angka 20. Karen menangis terharu. Semua ketakutan dan rasa terharunya menguap
dalam bulir air yang menitih, membentuk sungai di pipinya. Terlebih, karena di sekeliling
Iris berdiri beberapa anggota club Kendo yang akrab dengannya. Satu persatu
makhluk yang datang, kebagian pelukan hangat dari Karen.
Keik
itu diletakan oleh sang pembuat di atas meja kaca ruang tamu. Karen kembali
duduk di sofa seraya meniup lilin dengan harapan yang tanpa disebutkan,
sangatlah mudah dibaca oleh semua sahabatnya. Noah berlari menghampiri
majikannya untuk bergabung. Karen sangat senang. Sebelumnya, ia belum pernah dikerjai
di hari ulang tahunnya. Mata dan raut wajahnya menjelaskan segala suka dalam
hatinya.
“Katakan,
siapa yang merencanakan ide gila ini?”
“Kami
semua. Kami membuat hari khusus untuk rapat mengenai ini.” Danny menjawab Karen
seraya memberikan pisau kue.
“Siapa
yang tadi menelponku?” setelah menerima pisau kue dari Danny, Karen beranjak ke
dapur untuk mengambil sirup leci dan air dingin dalam kulkasnya. Ia kembali
dengan segera untuk menanti jawaban dari siapapun.
“Danny,
ia juga yang membanting tong sampah. Yang mengguyur lantaimu dengan air hitam,
Pinkan, dia juga yang meraciknya. Yang membuka pintu dengan kunci cadangan yang
didapat susah payah dari penjaga apartemen, adalah Blaire. Yang memainkan
jendela dan membunyikan lonceng, adalah Cole. Yang mengipasi tirai, Rachel.
Yang membuat suara-suara serak, Dave. Yang mematikan dan menyalakan listrik,
Susan. Yang membeli bahan pembuatan kue adalah mereka semua, dan aku yang
membuat dan membawakannya untukmu. Happy birthday Karen.” Iris menjelaskan
panjang lebar.
“Karen,
dimana kain pelnya? Kurasa, aku harus membersihkan lantaimu.” Pinkan menawarkan
jasa atas hasil karyanya.
“Ooowh,
terimakasih kawan. Tak perlu, Pink. Biar aku saja nanti. Potongan pertama,
untuk Iris. Karena telah setia menemaniku dari aku masih berada di High
School.”
“Terimakasih”
Iris menerima potongan keik buatannya. Susan yang bertugas sebagai seksi
dokumentasi, mengambil gambar dari segala momen yang dirasa indah.
“Noah,
kau tak boleh makan ini. Kalau tidak, kau bisa mati.” Noah mendapatkan nasihat
secara langsung oleh pakarnya kucing yang punya segudang kucing di rumahnya.
Danny pun langsung mengelus dagu Noah.
“Sebagai
gantinya, kau akan kutraktir salmon.” Kucing hitam pintar yang satu ini,
sangatlah penurut. Ia bisa diam hanya karena kata-kata Karen.
“Kau
tahu, ia terlalu pintar untuk seekor kucing.” Komentar Rachel.
“Ia
juga pintar melukis, kau tahu? Lihatlah, lukisan abstrak di ruangan ini, semua
hasil karya Noah.” Iris menambahkan.
“Jangan
berlebihan. Mungkin karena ia sering kuberi salmon, mungkin juga karena ia
sering melihatku melukis.”
“Entahlah,
yang jelas, kita akan menemanimu sampai pagi. Ayo makan!” Cole kali ini sedang
sangat bersemangat. Tapi semua orang suka itu. Ia selalu membawa keceriaan
dimanapun dan kapanpun ia berada. Tapi ia terlihat lebih asyik dengan Blaire,
pacarnya. Tapi itu wajar. Bisa dibilang, Blaire adalah cewek paling seksi dan
cantik di kota ini. Melihat cara Cole mencium Blaire, Karen heran, ‘harusnya
mereka telah memiliki selusin anak’.
“Oh,
aku lupa. Ini kado dariku.” Sebuah kotak kecil dan berat telah berpindah dari
tangan Blaire yang kecil ke tangan Karen yang lebih kecil lagi. Pergantian
tangan itu diikuti oleh pasangan tangan yang lain.
Beberapa
kotak dari berbagai ukuran memenuhi karpet. Semua suara menyerukan permintaan
buat Karen untuk segera membuka kotak-kotak itu. Karen sangat senang. Selama
dua puluh tahun dia hidup, ini adalah kali pertama ia mendapatkan surprise party seindah ini. Setelah satu
demi satu kotak dibukanya dengan tangan gemetar, ia melihat. Dua kotak dari
Iris, berisi sneakers abu-abu yang sangat keren dan sebuah sarung laptop yang
selama ini ia idamkan. Kotak Danny yang paling kecil dari yang lain, rupanya
berisi jam tangan keren berwarna putih. Kotak yang sangat ringan dari Pinkan,
berisi bantal Manchester United. Karen sangat suka club itu sejak ia masih
berada di Junior High School. Saat ini, pemain yang paling disukainya adalah
Javier Hernandez Chicharito. Kebetulan, nama orang yang sangat ia sayangi, sama
dengan nama idolanya, Javier. Dan tanggal lahir Javier, sama dengan Daniel
Radcliffe, idola yang telah ia anggap sebagai kakak sendiri. Semua itu
benar-benar kebetulan yang indah.
Kotak
dari Blaire yang pertama kali jatuh ke tangannya, berisi parfume mahal dengan
wangi yang segar dan sporty. Cole, memberikan dua kotak berisi topi hitam keren
dan sketch book berukuran A3 yang sangat tebal. Rachel yang dulunya tak begitu
akrab dengan Karen, memberikan jaket abu-abu yang sangat keren dan rumit. Dave,
memberikan headphone biru muda keren dengan tanda tangan Avril Lavigne yang ia
dapat dari google. Kotak dari Susan yang paling besar, berisi boneka beruang
berwarna coklat muda yang sangat besar dengan bulu tebal dan lembut.
“Semua
hadiah ini begitu hebat. Aku tak tahu harus membalas apa pada kalian. Bagaimana
kalian tahu aku menginginkan semua ini?” Karen tak henti-hentinya menebar
senyuman. Ia terus tersenyum dan mengucapkan terimakasih hingga bibirnya
berbusa dan tenggorokannya kering.
“Hey,
kami temanmu, dan kau sangat mudah dibaca. Jadi bukan hal sulit bagi kami
menentukan benda apa yang harus diberikan.” Jawab Rachel.
“Karen,
ini sudah jam 1:26 AM. Javier belum mengucapkan happy birthday?” Iris
sebenarnya merasa agak menyesal menanyakan itu. Tapi rasa penasarannya
mengalahkan rasa tak enak dalam hatinya. Teman-teman yang lain nampaknya tahu
kadar keseriusan pembicaraan ini. Mereka mengobrol dengan wajar, tanpa
memperhatikan atau menghiraukan Iris dan Karen.
“Yah,
mungkin ia sedang sibuk. Mungkin juga ia lupa. Ia kan seorang taruna. Calon
tentara.”
“Kau
masih menantinya?”
“Entahlah.
Aku tak mengerti pada diriku sendiri.”
“Ayolah
Karen, kau harus move on. Ia hanyalah bayangan semu yang tak mungkin kau
tangkap.”
“Aku
tahu itu. Tapi aku masih belum bisa lepas dari bayangannya.”
“Kau
sudah lima tahun memendam perasaanmu. Tanpa dia tahu. Menurutku, jalan keluarmu
adalah membuat ia tahu, atau kau harus melupakannya.”
“Aku
sudah berusaha memberitahunya. Berkali-kali. Dan niatku selalu hancur karena
Ivy. Aku juga berusaha melupakannya. Tapi tak pernah bisa. Ia selalu datang dan
pergi dalam hidupku sesuka hatinya.”
“Sabar,
aku yakin, di usiamu kini, kau akan mendapatkan pasangan yang tepat dan jauh
lebih baik dari Javier.”
“Kuharap
begitu. Hey, semuanya, siapa yang setuju kalau kita nonton DVD thriller dan
horror? Kita nonton sampai pagi..”
“Yeeeeaay.”
Dan semua menikmati pesta ulang tahun dadakan ini. Noah yang nampak berusaha
menahan kantuk, menyandarkan kepalanya di samping Karen yang lantas
merangkulnya. Bulu-bulu lembut yang menyelimuti Noah, dielus jemari kecil nan
panjang khas milik Karen. Mata birunya, perlahan mulai terpejam. Karen
memindahkannya ke dalam pangkuannya, dan kembali mengelus Noah dengan manja.
***
“Terimakasih
atas pestanya. Kami harus kuliah. Salam buat Noah.” Susan berpamitan didampingi
Dave, sang pacar. Anggota kendo yang paling pendiam ini, khusus kali ini
mengeluarkan suara.
Para
anggota kendo yang lain satu-persatu mengucapkan kata sampai jumpa, kecuali
Iris yang masih tinggal untuk berangkat kuliah di kampus yang sama dengan
Karen. Mereka berdua berpayah-payah membereskan ruang tamu, memberi makan Noah,
mandi, dan bersiap kuliah. Ia tak lupa membawa laptop kesayangannya. Kali ini
laptopnya dibungkus oleh sarung baru berwarna hitam dengan motif bunga-bunga
pink muda yang cantik.
Untuk
ke kampus, ia langsung mengenakan jaket dan sneakers barunya, tanpa memasukkan
jaket itu ke mesin cuci. Begitulah, ia sangat senang.
***
“Gimana
kuliahnya? Si Cadwick masih semena-mena?” Iris bertanya pada Karen yang sedari tadi
menundukkan kepala di depannya. Hoodie yang melekat di jaketnya, menutupi
sebagian besar kepala tirusnya.
“Begitulah.”
Karen hanya mengaduk-aduk cappuccino
vanilla di depannya.
“Javier
belum bilang apa-apa?” Yap, bukanlah hal sulit bagi Iris untuk membaca pikiran
Karen yang suram.
“Belum.”
“Bagaimana
kalau kita stalking dia?”
“Boleh.
Kemari, pindah ke sebelahku." Karen menjawab dengan datar.
“Tweets-nya
bertambah. Terakhir dia nge-tweets, dua hari yang lalu. Dan dia mention-an sama
Ivy.” Mata Karen menjelaskan kalau ia merasakan adanya ketidak adilan disini.
Hanya saja, ia berusaha membesarkan hatinya untuk ikhlas, karena itu adalah hal
yang wajar bagi pasangan yang telah berpisah.
“Liat
aja percakapannya.”
Karen
menganggap kata-kata Iris barusan sebagai tantangan. Ia berusaha menguatkan
hatinya untuk melihat lebih jauh.
“Hhh,
sialan. Mereka kangen-kangenan di twitter, sedangkan sms-ku selama lebih dari
dua minggu ini tak ada satupun yang dibalas. Dan dia belum ngucapin happy
birthday padaku? Keparat! Dia pikir hanya Ivy yang kangen? Aku disini nyaris
mati karenanya. Cowok kurang ajar!”
“Sabar
aja ya. Bagaimanapun juga kan Ivy mantannya.” Ups. Dan lagi-lagi Iris merasa
bersalah atas kata-kata yang keluar dari mulutnya.
“Tapi
kita temenan selama lebih dari lima tahun. Apa salahnya kalau dia membalas
sms-ku? Selama ini aku pikir dia sibuk. Tapi…”
“Udahlah,
mending kita nonton aja. Abis itu kita makan-makan.”
“Noah
bagaimana?” Karen melirik Noah yang sedang minum disampingnya.
“Ya
ditinggal.”
“Kalau
begitu, kita ke apartemenku dulu memulangkan Noah. Dan aku yang akan menentukan
filmnya.”
“Okay.
Film?”
“The
Lone Rangers. Disana ada Johnny Depp dan Helena Bonham Carter.”
“Okay.
Untuk saat ini, kau-lah boss-nya.”
Pada
detik itu, Karen berusaha memaksakan otot wajahnya untuk membentuk selengkungan
senyum barang setipis bulan baru, untuk menghargai Iris yang setia
mendampinginya.
Mereka
berdua mengendarai motor kesayangan mereka dengan kencang. Seolah tak lagi
sayang pada nyawa. Mereka merasa seperti kucing yang konon katanya punya
sembilan nyawa. Aksi kebut-kebutan itu didalangi oleh Karen yang membutuhkan
sesuatu untuk menghibur dirinya.
Noah
ditinggal sendirian di sebuah apartemen kecil dengan mainan dan beberapa
makanan untuk menemani. Karen sebenarnya merasa sangat tidak enak meninggalkan
Noah sendirian. Ia takut Noah dicuri orang, atau hilang karena kabur. Tapi,
hati kecilnya membuat ia berpikir kalau waktu yang hanya sesaat, tak akan
membuat kucing itu mendapat nasib lebih buruk darinya.
Johnny
Depp dan kawan-kawan dengan aktingnya, mampu membuat dua sahabat ini terhanyut
dalam dunia fantasy yang terasa nyata. Waktu dua jam pun tak terasa bagi
mereka. Mereka merasa dunia hanya milik mereka berdua. Kesedihan yang
memberikan warna kelabu dalam hari Karen, tak lagi membuat mataya sembab.
Setelah
mengadakan kunjungan singkat di suatu tempat yang disebut toilet, mereka makan
di restoran Perancis. Di Canada, agak sulit untuk mencari restoran Perancis
dalam sebuah mall. Biasanya, restoran Jepang-lah yang mendominasi restoran di
penjuru mall.
Sebuah
menu yang sangat sering dilihat di televisi, tapi baru kali ini dilihatnya di
daftar menu, membuat Karen ingin menantang lidahnya untuk berpetualang dalam
semangkuk sup escargot. Ia pun meminta Iris mengikutinya. Dua sahabat itu
tertawa bersama. Awan kelabu yang menutupi kepala Karen, kini telah berganti
dengan awan cerah dengan pelangi membingkai di tepiannya. Mereka senang dan
menggila bersama.
“Sudah
jam 10 PM, ayo kita pulang. Kasihan Noah sendirian.”
“Okay.
Tapi kali ini kau kutraktir.”
“Tak
usah. Harusnya aku yang mentraktirmu. Ini kan hari ulang tahunku.”
“Baiklah
kalau kau memaksa.”
***
Motor
kedua gadis itu diparkir di depan apartemen Karen. Dan ketika mereka sampai di
depan pintu, betapa terkejutnya Karen melihat sebuah kotak hitam yang cukup
besar, tergeletak di depan pintu, menanti untuk dibuka.
“Dari
siapa?”
“Entahlah.
Ayo masuk!—Noah, aku pulang!” Karen menaikkan nada suaranya pada kalimat
terakhir. Matanya mencari dimana gerangan si kucing hitam bermata biru itu
berada. Sepasang kakinya menjelajah penjuru rumah untuk mencarinya, setelah
meletakkan kotak itu di atas meja kaca ruang tamu.
“Kau
sudah tidur, ya? Kucing pintar. Maaf ya, kau pasti kesepian.” Karen mengelus
lembut kepala kucingnya. Noah seharian itu mengurus dirinya dengan cerdas. Ia
makan dan masuk kandang sendiri, hingga ia terlelap.
“Ayo
kita buka kotaknya.” Iris yang duduk di sofa coklat muda, mengambil kotak itu
dan memberikannya pada Karen.
“Bagaimana
kalau isinya bom, atau sebuah surat kaleng? Oh, atau mungkin isinya benda
ancaman?” Karen baru saja bergabung duduk di sebelah kiri Iris. Kotak itu kini
dalam pangkuannya. Hanya saja, Ia ragu untuk sesuatu yang mencurigakan.
“Hey,
ini kan hari ulang tahunmu. Sudah jelas, kan, kalau ini hadiah ulang tahun
untukmu. Yang memberikannya pasti meninggalkan ini di depan pintu karena kau
sedang pergi denganku.”
“Okay,
mari kita lihat.”
“Eh,
ada kartu ucapannya.” Iris dengan segera mengambil kartu itu agar tidak
menghalangi Karen mengambil apa isinya.
“Waaah,
ini jersey MU ori.” Karen lantas membuka plastik bening yang membungkusnya.
“Waaah, ini jersey nomor 14, Chicharito! Kereeeeen! Kotak apa ini?” Karen
mengambil dua kotak kecil yang ada di dekat jersey itu. kotak pertama berbentuk
ramping dan panjang, sedangkan kotak kedua lebih lebar dan tak sepanjang kotak
pertama. Setelah membuka kedua kotak itu, Karen terkejut luar biasa.
“Konte!
Sudah lama aku ingin membeli ini, tapi aku tak sempat. Dan kotak ini, sepaket
drawing pen! Baru kali ini aku punya sepaket komplit. Rotring pula. Siapa yang
memberikan ini?”
“Ini,
baca yang keras!” Iris memberikan kartu itu dan lantas merapat ke dekat Karen.
“Happy Birthday, Karen. Alex Venardickson—Hey,
aku tak kenal dengan Alex Venardickson. Bagaimana ia bisa tahu kalau aku sedang
berulang tahun?”
“Mungkin
ia teman kecilmu? Atau ia temanmu yang menggunakan nama samaran?”
“Setahuku,
aku tak punya teman kecil bernama Alex. Dan kalaupun temanku, buat apa ia
menggunakan nama samaran? Orang aneh.”
“Okay,
aku tak jadi berkemas. Aku akan menginap disini. Aku takut kalau orang
misterius ini mengganggumu lagi atau bahkan menerormu di tengah malam.”
“Terima
kasih. Tapi sebenarnya itu tak perlu. Sudah ada Noah yang mengawalku. Aku hanya
akan merepotkanmu.”
“Tak
apa, kawan. Lalu, barang-barang ini akan kau apakan?”
“Tentu
kugunakan. Aku harus menghargai siapapun pemberinya, kan? Lagipula, aku memang
butuh ini semua.”
***
Cahaya
pagi menerobos jendela kamar Karen. Tirai hijau tua, tersingkap oleh tangan
kecil Noah. Dua pasang kakinya, melompat ke atas ranjang. Ia berusaha
membangunkan tuannya.
Kelopak
mata Karen masih enggan untuk terbuka. Ia mengelus Noah dan menggesernya.
Dalam
posisi masih tiduran, ia memasukkan tangannya ke bawah bantal. Kebiasaannya
meletakkan handphone di bawah bantal, membuat jemari lentiknya merabai bawah
bantalnya untuk mendapatkan apa yang ia cari. Ia terkejut, mendapati sebuah sms
menantinya sejak dini hari tadi.
“Iris!
Bangun Iris! Javie mengirimiku SMS.”
“Benarkah?
Apa isinya?”
“Happy
birthday, Karen. Maaf aku terlambat untuk mengucapkannya. Akhir-akhir ini aku
sibuk. Semoga kau semakin bertambah cantik, baik, pintar, dan menjadi orang
yang lebih baik. *big hug for you*”
“Aaaaaaaarrgh.”
kedua sahabat itu berteriak bersama. Kegirangan.
“So
sweet banget. Ayo, buruan balas!”
Karen
menggenggam handphone dengan tangan gemetar. Javier memang paling pintar
membuat ia melayang hingga menembus langit ketujuh. Jemari lentiknya menyentuh
layar android hingga membentuk kalimat “Terimakasih. Amin, semoga begitu. Tak
apa kok, aku mengerti kesibukanmu. Maaf baru sempat membalas. Kau sedang apa?”
Karen
tak henti-hentinya tersenyum. Aura cantiknya terpancar dan bergelora saat itu.
Tak lama, balasan pun datang.
“Karen,
bolehkah aku menelpon?”
“Aaaaaaarrgh,
dia mau menelpon!” Karen berusaha menahan diri dan berusaha untuk tenang,
walaupun itu agak sulit baginya. Iris yang ada disampingnya turut senang. Ia
bersusah payah menenangkan Karen dengan menyuruhnya mengambil dan membuang
napas banyak-banyak. Handphone berdering. Single Maroon 5 kembali menggaung di
kamar itu.
“Halo,
hai Javie.”
“Hai.
Kau tak sedang sibuk, kan?”
“Tidak,
memangnya kenapa?”
“Aku
mau bertanya sesuatu padamu. Tapi kau harus janji, hanya kau yang tahu.”
“Iya,
katakan saja.” Jantung Karen serasa mau pecah pada saat itu. Mungkinkah Javier
hendak menyatakan perasaannya? Kalaupun tidak, Karen merasa inilah waktu yang tepat
untuknya menyatakan terlebih dulu.
“Aku
mau bertanya, kau kan dulu bersahabat dengan Ivy. Lalu, apa kau tahu, bagaimana
kabar ayahnya sekarang? Soalnya, semalam aku mengobrol dengannya, dan ia
tiba-tiba merasa teringat akan ayahnya. Aku jadi tak enak padanya. Apa ayahnya
baik-baik saja?”
“Entahlah.
Ia tak pernah mengabariku apa-apa.” Hati Karen terasa mencelos. Ia merasa
hancur. Tubuhnya dihempaskan ke Bumi dengan keras setelah ia terbang sangat
tinggi. Ia merasa terhempas hingga ke perut bumi, dan kemudian meledak bersama
gunung berapi. Matanya berkaca-kaca saat itu. Ia berusaha keras membuat kelopak
matanya kuat untuk membendung banjir yang dalam hitungan detik akan mengguyur
pipinya.
“Mungkin
kau tahu, siapa kira-kira yang tahu jawabannya?”
“Mungkin
Michelle.” Yap, mungkin Michelle tahu. Dulu Karen, Ivy dan Michelle selalu
bertiga. Mereka berteman akrab. Dan entah karena apa, Karen dan Ivy mencintai
orang yang sama. Dan Ivy beruntung, karena sempat menjalin hubungan selama tiga
bulan dengan Javier.
“Oh,
iya, mungkin Michelle tahu. Terimakasih, ya.”
Karen
menutup telponnya. Semua angan di dalam kepalanya runtuh seketika. Ia
tertunduk. Ia merasa dirinya telah tewas tak bernyawa. Harinya hancur. Semuanya
hancur. Kali ini bukan hanya awan kelabu yang menghantui kepalanya, tapi badai
dan tornado bergantian menyerang otak dan hatinya.
“Dia
menanyakan tentang Ivy. Dia tak bermaksud ingin berbincang denganku. Padahal
aku sangat rindu padanya. Dan ia menghancurkan semua itu.” mendengar itu, Iris
turut iba. Terutama ketika Karen membanting tubuhnya ke kasur dan menutup
kepalanya dengan bantal. Iris tak bisa berkata apa-apa. Ia hanya mengelus bahu
Karen, berharap ia bisa tenang karenanya.
“Dia
terlalu brengsek. Dia harus tahu apa yang kau rasakan. Kau harus memberitahunya!”
“Ini
bukan waktunya, Iris. Hari ini aku tak mau kuliah.”
“Tapi
menurutku kau harus kuliah dan menyibukkan dirimu, agar kau bisa melupakan
masalahmu.”
“Nanti
saja. Biarkan aku terlambat ke kampus.”
“Terserah
kau. Aku akan meninggalkanmu sendiri dan membuatkan sarapan, okay?”
“Terserah!”
Karen tersedu dibalik bantal. Noah yang kembali menghampirinya pun tak mampu
menenangkannya.
Hari-hari
berjalan lambat. Karen menjalani kuliah dengan suram. Ia ke kampus dengan jaket
hitam. Hoodie yang ada di jaket itu, tak pernah lepas dari kepalanya. Iris yang
tak lagi menginap, menjadikan harinya semakin sepi. Hari ini ia sengaja
langsung pulang dan tak menemuinya. Ia hanya ingin pulang dan bertemu Noah.
Noah yang kali ini ia tinggal, mungkin sedang bosan di rumah. Rupanya,
banyaknya kesibukan, tak mampu mengusir tornado dalam kepalanya.
Setibanya
di apartemen kecil tempatnya bernaung, ia mendapati sebuah tas jinjing
berukuran sedang.
Karen
duduk di sofa, disusul oleh Noah yang telah menunggu. Tas itu berisi botol
nitrogen padat yang berfungsi untuk mendinginkan benda yang turut serta
dengannya. Dan benda yang turut serta dengan botol nitrogen itu adalah dua
bungkus coklat besar dan satu cup besar ice cream.
Coklat
itu adalah coklat mahal dengan susu yang disertai almond. Coklat yang menjadi
pilihan Karen setiap ia membeli coklat. Ice cream itu juga bukan ice cream
biasa. Itu adalah ice cream rasa vanilla dengan taburan choco chip dan berisi
saus coklat, yang menjadi faforit Karen sejak dulu. Di tas itu, terselip surat
yang dibungkus plastik bening. Mungkin dengan tujuan agar tak basah dikarenakan
embun dingin disekitarnya.
Karen
menyingkapkan hoodie yang sedaritadi menutupi sebagian kepalanya. Plastik
bening itu pun ia buka. Dibacanya perlahan dalam hati isi kertas itu secermat
ia bisa.
“Karen, aku harap ini mampu menenangkanmu.
–Alex Venardickson”
“Orang
ini gila. Aku sama sekali tak kenal dengan orang yang bernama Alex. Noah,
bagaimana menurutmu? Haruskah aku memakan pemberiannya?”
Tapi
Noah hanya diam. Ia hanya menatap Karen dengan tatapan tajam yang gagah.
“Okay,
aku akan memakan ice cream ini. Coklatnya akan aku simpan di kulkas.” Karen
rupanya ingin memakan coklat itu bersama Iris besok.
Sampai
malam, kepalanya dihantui bayang-bayang Alex. Ia penasaran. Seperti apa rupanya
Alex, juga siapa ia sebenarnya. Kenapa ia bisa mengenalnya dengan baik?
Bagaimana pula ia bisa tahu apa yang ia butuhkan, apa yang ia inginkan, dan apa
yang ia alami? Ia tak mengerti. Imajinasi mengenai siapa Alex bergantian
memenuhi otaknya. Ia membayangkan Alex seorang psycho yang sering
memata-matainya. Bayangan lain pun datang. Ia membayangkan Alex adalah temannya
yang sering memata-matainya dan menggunakan nama samaran karena malu
mendekatinya. Ia juga membayangkan kalau Alex adalah Iris atau orang yang
disuruh Iris, untuk menghibur atau membuatnya senang.
Semua
bayang-bayang itu berputar tanpa henti di kepala Karen. Ia tak mengerti. Ia
juga tak menyangka kalau ada orang yang mungkin secara tulus mencintainya,
mengingat ia adalah cewek yang tomboy, kasar, ceroboh dan pelupa, tampangnya
pun agak sulit untuk dibilang cantik, ia juga bukan seorang cewek yang tinggi
dan pintar. Lantas, apa yang diharapkan seorang Alex dari cewek semacam dia?
Karen
juga berpikir, bisa saja ia adalah pria 50 tahunan yang sedang mencari isteri
kedua. Ia tak bisa menghentikan pikiran-pikiran tentang siapa Alex sebenarnya.
Hingga akhirnya ia terlelap dalam balutan imajinasi.
***
Noah
berada di dalam kandang. Ia belum tidur. Mata birunya bercahaya di tengah kegelapan.
Ia lantas memejamkan mata. Tak sampai satu detik, saat matanya terbuka, ia
telah berada diluar kandang.
Ia
melompat ke tempat tidur Karen, berusaha memandang tuannya yang terpejam.
Beberapa menit lamanya ia terhanyut. Hingga suara-suara pelan yang mencurigakan,
menggelitik telinga Noah. Tanpa pikir panjang, ia sadar, kalau ia terancam.
Kaki hitamnya melangkah mengitari apartemen, mencari dimana gerangan sumber
suara itu. Matanya mengelilingi ruang kerja Karen yang bersebelahan dengan
kamarnya. Ia berusaha agar tak membangunkan Karen yang susah payah untuk
terlelap.
Beberapa
detik kemudian, ia melepas kalungnya dan berputar dengan cepat. Sangat cepat.
Siapapun tak boleh berkedip agar tak melewatkan apa yang terjadi, saking
cepatnya. Ketika putaran itu berhenti, ia berubah menjadi wujud aslinya. Demon
yang serupa manusia. Wujudnya tampan, dengan rambut coklat muda pendek yang
agak berantakan. Ia mengenakan jas hitam. Semua pakaiannya hitam, dari atas
hingga bawah. Kalung biru bertuliskan ‘Noah Kent’ dimasukkannya ke saku kanan
jas hitam yang ia kenakan.
Mata
birunya memantulkan cahaya bulan yang menerobos melalui jendela fentilasi. Ia
berpikir, dengan wujud aslinya itu, ia pasti lebih mudah melindungi dirinya.
Rupanya,
firasatnya benar. Seseorang dibelakangnya, mengejutkannya.
“Kami
sangat kesulitan mencari jejakmu, Tuan Venardickson. Seluruh negeri Aloise
telah kami teliti tiap inchi-nya, tapi kau tak ditemukan. Rupanya kau masuk ke
dunia manusia. Nampaknya, kau jatuh cinta pada manusia ini kan? Dengan begitu,
pelanggaranmu semakin banyak. Tangkap dia! Pembunuh seperti dia tak pantas
dibiarkan berkeliaran.” Seseorang yang nampak seperti inspektur, memojokkan
Noah versi manusia secara tiba-tiba. Noah dalam wujud manusia, terus membawa
sepasang kakinya berjalan mundur. Ia berusaha menghindar dari inspektur gila
yang menganggapnya bersalah atas segala tuduhan.
Dan,
yap, Noah Kent adalah Alex Venardickson.
Tiga
orang lainnya yang terlihat seperti
polisi, tiba-tiba datang dan menangkap Alex dari belakang. “Aku tidak bersalah
atas apapun. Kau salah besar. Lepaskan aku! Aku tak bersalah!”
“Bagaimana
bisa kau tak bersalah? Kau jelas telah membunuh kedua orang tuamu, dan Sipir
penjara tempatmu ditahan. Kau lalu kabur ke dunia manusia, dan jatuh cinta pada
manusia. Kesalahanmu jelas tak termaafkan. Bawa ia ke kantor polisi Aloise!”
Kelimanya
menghilang bagai ditelan bumi dalam putaran kegelapan.
***
Pukualan
keras mendarat di pipi Alex. “Aku tak bersalah. Tolong dengarkan aku!” Ia
menggelantung. Kedua tangannya diikat dengan rantai di kedua sisi. Dan kakinya
pun diikat dengan tambang besar nan kasar. Semua itu membuat ia tak bisa
melawan sedikitpun.
“Mengakulah!
Atau kau akan mendapat hukuman mati!” kali ini cambukan keras menyerang
punggungnya yang tanpa baju. Cambukan itu meninggalkan luka mendalam yang
mengeluarkan cairan berwarna merah. Perih menusuk tubuhnya yang hanya berbalut
celana panjang hitam. Teriakan-teriakan yang ditujukan untuk melepas rasa
sakit, tak mampu membuat rasa sakit itu berkurang.
Cambuk
milik polisi Aloise, sangatlah besar, berat, panjang, tajam, dan menyakitkan.
Dan yang membedakannya dengan cambuk biasa, cambuk ini dilengkapi sebuah
sensor. Kalau dalam sekali cambuk, sang korban tak mengeluarkan darah, maka
cambuk ini akan bergerak dengan sendirinya untuk mengulang kembali cambukan
hingga sang korban memiliki luka mendalam dengan darah mengalir dengan
derasnya.
“Untuk
apa aku mengaku atas sesuatu yang tidak kulakukan?” kali ini pukulan dan
tendangan bertubi-tubi mengenainya. Tulang hidungnya patah, begitu pula dengan
beberapa tulang rusuknya. Dua orang polisi itu nampak senang melihat tahanannya
menderita.
“Sipir
sendirilah yang membunuh kedua orang tuaku. Baron-lah pelakunya! Ia membunuh
orang tuaku karena ayahku menolak dan melanggar sebuah perjanjian dengannya.
Ayahku juga mengetahui kalau Baron seorang koruptor. Ia takut ayahku
mengadukannya pada Perdana Menteri, itulah mengapa ia membunuh kedua orang
tuaku.” Alex melanjutkan.
Cambukan
kesekian kalinya, membuat goresan-goresan merah di punggung Alex semakin
menganga. Darahnya mengalir dengan deras. Menambah rasa pedih yang menyayat.
“Jelas-jelas pisau itu ada di tanganmu. Tubuhmu pun penuh dengan darah. Kau tak
punya alasan! Nikmatilah hukuman matimu beberapa jam lagi.”
“Itu
semua akal-akalan Baron! Ia berusaha dengan keras menjatuhkan martabat
keluargaku, itulah mengapa ia memfitnahku dan menjebloskanku ke penjaranya,
agar ia bisa menyiksaku setiap saat.”
Kali
ini beberapa cambukan mendarat di kakinya. Kakinya lemas. Tak mampu lagi
membantu menopang tubuhnya. Tangannya yang diikat pada rantai, menjadi
satu-satunya titik tumpu ia bergantung. Urat-urat tangannya serasa mau putus
menahan beban tubuhnya. Ia tak bisa menggunakan kekuatan sihirnya di ruang
introgasi itu. Sistem para polisi Aloise mengharuskan ruang introgasi, penjara
dan ruang sidang terbebas dari sihir, agar para tersangka tak bisa melakukan
perlawanan.
“Darimana
kau tahu semua itu? Oh, aku tahu, kau berusaha keras mengarangnya semalaman, ya
kan?”
“Aku
menyelidikinya sendiri diam-diam selama aku di tahan di penjara milik Baron.
Dan aku pun tak membunuhnya.”
“Sidik
jarimu ada di senjata pembunuhan. Hentikan semua omong kosong ini. Terimalah
kenyataan kalau kau adalah pembunuh keji berdarah dingin!”
Pukulan-pukulan
di kepalanya, membuat ia sulit untuk melihat. Matanya dipenuhi oleh tetesan
darah yang mengalir dari penjuru kepalanya. Beberapa tendangan di dadanya,
membuat ia sulit untuk bernapas. Bahkan untuk berteriak pun, ia sudah tak
mampu. Tenaganya habis. Ia lemas. Sisa tenaganya ia gunakan untuk membela diri.
Ia berusaha dengan keras, agar terlepas dari semua kedzaliman ini.
“Aku
tak membunuh Baron. Ia terkena senjatanya sendiri setelah berusaha membunuhku.
Aku memang sempat menyentuhnya karena ia ingin membunuhku dengan motif seolah
aku bunuh diri. Tapi, nasibnya malang kala itu. Ia terkena racunnya sendiri.”
Polisi
itu menggenggam rambut Alex yang berwarna coklat muda yang dihiasi bercak
merah. Ditariknya ke arah bawah segenggam rambut itu, hingga membuat tulang
leher Alex patah. Rasa sakit yang nyaris membunuhnya itu terus menyiksanya
tanpa henti. Alex terus berteriak, berusaha menghilangkan rasa sakit yang ada
dengan kesadaran yang kian menipis. Tapi ia memaksa otaknya, untuk membuat ia
tetap terjaga.
“Kupikir
kau bukan hanya terkena pasal pembunuhan, tapi juga pencemaran nama baik.”
“Itu
semua benar. Aku tak bersalah. Kenapa kalian terus-terusan menjalani hukum yang
tidak adil ini? Tidakkah kalian mendengarku, walau sedikit saja? Aku tidak
mencemari nama baik siapapun. Lepaskan aku!” nada bicara Alex semakin lemah.
Dan semakin banyak kata yang ia keluarkan, semakin terasa pula rasa sakit yang
menyiksanya.
“Kau
bahkan kabur dari penjara dan pergi ke dunia manusia, lalu kau seperti tanpa
dosa, mencintai seorang manusia. Kau tahu itu kan? Itu salah satu pelanggaran
berat dalam hukum Aloise.”
“Kalian
benar kalau tentang itu. Tapi apa salahnya? Manusia tak seperti yang kalian
pikirkan.”
“Lalu,
kau pikir, ia akan tetap menerimamu, setelah ia tahu kau seorang Demon? Apakah
ia mau, mempunyai keturunan dari seorang Demon? Kau harus sadar akan itu!” Kali
ini, sebuah selang panjang khas milik kepolisian, menyemprotkan airnya yang
sangat deras. Derasnya air itu menambah rasa perih yang tak terperi dalam tubuh
Alex. Dinginnya hembusan udara dini hari pun, turut membuat lukanya yang
menganga semakin mencekit.
“Lepaskan
aku!” kali ini Alex benar-benar diambang batas kesadaran. Ia hanya ingin semua
ini segera berakhir, agar ia dapat kembali ke Canada. Agar ia kembali pada
Karen. Satu-satunya orang yang ia sayang yang masih hidup.
“Karena
kemurahan hatiku, kau mendapatkan kesempatan kedua. Kau akan menjalani sebuah
sidang lagi. Belalah dirimu dalam sidang itu. Sampai jumpa dalam persidangan
sore nanti.” Kedua polisi yang bergantian menyiksa Alex, kini pergi meniggalkan
Alex seorang diri dalam keadaan mengenaskan. Alex yang sedaritadi berusaha
menahan rasa sakit, kini memejamkan matanya untuk sesaat dalam pingsan.
Tangannya kini telah mati rasa karena menjadi penopang tubuh besar nan gagahnya.
***
“Halo,
Iris, ini situasi gawat darurat. Noah hilang.”
“Bagaimana
bisa?”
“Aku
juga tak tahu. Kandangnya masih dalam keadaan terkunci. Tapi Noah tak ada di
dalam.”
“Tunggu
saja beberapa jam, mungkin ia sedang berkeliaran di sekitar gedung apartemen
karena bosan. Nanti juga ia kembali.”
“Semoga
benar. Nanti kau kukabari lagi.”
“Kalau
benar ia hilang, akan kutemani kau mencarinya hingga ketemu.”
“Terimakasih.
Maaf mengganggumu pagi-pagi.”
Cuaca
sabtu yang cerah, sangatlah berlawanan bagi Karen, terutama Alex. Karen
mengelilingi apartemen dan bertanya pada tiap orang yang dilewatinya. Tapi tak
satu pun diantara mereka melihat atau mengetahui keberadaan Noah. Sedangkan
Alex, masih bergelantungan di rantai, menanti sidangnya sore nanti.
“Hey,
bangun! Kau akan dibersihkan. Hey, kubilang, bangun!” Inspektur dan tiga orang
polisi yang semalam membawanya, telah bersiap di hadapannya dengan sebuah
selang besar yang panjang di tangan kanannya. Walaupun Alex berusaha membuka
matanya, tapi apa yang ia lihat sama sekali tak jelas.
Air
deras, kembali mengguyur tubuhnya. Seluruh tubuhnya basah. Debit air yang
sangat kencang, membuat luka-luka disekujur tubuhnya kembali terasa berdenyut.
Ia merasa seperti mendapatkan siksaan yang sama dalam babak kedua. Perih. Ia memejamkan
mata birunya, berusaha menahan rasa sakit.
“Lepaskan
dia! Pindahkan ia ke sel!” Tiga polisi itu dengan sigap melepaskan rantai dan
tambang yang membelenggu Alex. Mereka bertiga lantas mengikat Alex dengan tali
sihir transparan berwarna hitam. Alex yang masih lemah, kali ini tak berusaha
melawan sedikitpun. Sang inspektur memimpin orang-orang di belakangnya berjalan
menuju sebuah sel yang paling sulit untuk dibobol.
Sang
Inspektur mengayunkan tangannya. Dalam sekejap, tubuh Alex yang hanya berbalut
celana panjang hitam, lekas berganti menjadi pakaian khusus tahanan.
Sekonyong-konyong,
dilemparnya Alex yang masih terikat temali sihir.
Setelah
penderitaan ini mendapat kesempatan untuk istirahat, Alex memanfaatkan waktunya
untuk mengistirahatkan tubuhnya yang hancur.
“Hey,
kucing! Bangunlah! Ini saat-saat dimana kau harus mengirimkan seribu doa pada
Tuhan agar kau tak mendapat hukuman mati.”
Alex
hanya diam. Ia hanya ingin menggunakan sisa tenaganya untuk membela diri dalam
sidang pentingnya. Perut yang meronta-ronta karena belum diberi makan sejak
semalam, membuat tenaganya semakin habis. Kakinya yang pincang, berjalan
perlahan mengikuti sang inspektur di depan.
Ruang
sidang sangat ramai oleh hakim, para petinggi Aloise, dan Perdana Menteri yang
menatap dengan tajam ke arah Alex. Persidangan memang belum dimulai. Tapi
tatapan mereka telah lebih dulu menghakimi Alex dengan hujanan tuduhan dan
hukuman dari pasal-pasal yang terdapat dalam buku Undang-Undang Aloise.
Alex
duduk di kursi hitam yang empuk, namun terasa menusuk. Kursi itu bergerak
sendiri, mempersilakan Alex untuk duduk di atasnya.
“Saudara
Alex Gerhard Venardickson, perkenalkan, aku Hakim Court. Aku berniat untuk
mempersingkat acara sidang ini, karena kasusmu sangatlah panjang dan tak
kunjung mendapat titik terang. Melalui kamera pengawas dalam ruang penyiksaan,
kau sangat bersikeras kalau kau tidak bersalah. Aku sendiri tidak percaya. Tapi
untuk membuktikan semuanya, atas nama kebenaran, aku memutuskan untuk melakukan
pengawasan ingatan padamu. Kami akan melihat ingatanmu pada waktu itu. Tapi,
ini teknologi terbaru. Kau adalah pengguna pertama dari alat ini. Apabila ada
kesalahan, kami tidak mau bertanggung jawab. Bagaimana, kau bersedia?”
“Dengan
senang hati, Pak. Demi kebanaran, kenapa tidak?”
“Semua
setuju?” Court mempertanyakan putusannya pada peserta sidang yang lain.
Sebagian besar peserta sidang mengangkat tangan tanda setuju. Palu besar yang
bisa bergerak sendiri, mengetukkan dirinya tiga kali. Sidang berjalan singkat.
Kini babak baru, segera dimulai. Alex kembali berjalan bagai tahanan besar,
menuju ruang penglihat memori.
Alex
berbaring di atas sebuah alat mengerikan yang akan mengobrak abrik ingatannya
demi sebuah arti kebenaran. Alat-alat aneh memenuhi kepala Alex.
Setelah
dibius dan memejamkan mata, para ilmuwan kepolisian, mulai meneliti tiap detil
memori Alex.
Disana
terlihat jelas segala ingatan Alex, selama 24 tahun ia hidup, hingga ingatan
tentang Baron yang mengenakan topeng, yang sedang beraksi di rumah keluarga
Venardickson. Lalu ada juga ingatan Baron yang juga melancarkan aksinya di
penjara pada Alex hingga menewaskan dirinya sendiri. Lalu terlihat pula
bagaimana Alex bertemu Karen. Keakraban mereka berdua diperlihatkan dengan
jelas. Kini semuanya jelas.
Namun,
tiba-tiba semua gambar ingatan Alex menjadi kusut. Para ilmuwan berusaha
menghentikan kerja alat tersebut, tapi usahanya tak membuahkan hasil yang
memadai. Segala macam tombol telah diusahakan untuk berfungsi. Tiap detil alat
diusahakan kembali sepert semula. Tapi pada kenyataannya, semua sirkuit yang
ada putus. Hancur. Alex berguncang dalam kejang. Tak sampai dua menit kemudian,
Alat-alat yang menempel di kepala Alex, terlepas dengan sendirinya. Dan semua
berakhir. Kepanikan yang menguasai ruangan itu, kini mulai mereda. Tak lama
berselang, Alex membuka kelopak matanya.
Dokter
kepolisian memeriksa kesehatannya. Kini ia terbukti tidak bersalah. Tapi,
kesehatannya terancam.
Pemeriksaan
berjalan cukup lama. Dokter harus memastikan kebenaran analisisnya.
Berkali-kali pemeriksaan diulang. Tapi kali ini dokter sangat yakin dengan
hasil analisis, yang sama untuk keempat kalinya.
“Saudara
Alex Venardickson, hasil semuanya, akan di umumkan oleh hakim saat ini. Anda
ditunggu kembali di ruang sidang.”
“Terimakasih,
dokter.”
Alex
kembali berhadapan dengan hakim berkumis tebal itu. Ia pasrah akan apapun yang
terjadi padanya. Tapi suasana ruang sidang kali ini, sangatlah berbeda dengan
sebelumnya. Para Perdana Menteri, sama sekali tak terlihat. Yang ada, hanya
sang hakim, puluhan polisi, para dokter kepolisian, dan para ilmuwan
kepolisian.
“Alex
Venardickson, setelah pemeriksaan berlangsung, anda dinyatakan tidak
bersalah. Namun, seperti yang saya
bilang, dampak maupun efek samping dari alat penglihat memori, bukanlah
tanggung jawab kami. Dan efek sampingnya adalah, adanya kerusakan pada jaringan
otak anda. Dalam waktu singkat, entah dalam hitungan menit, atau dalam hitungan
jam, anda akan bertemu dengan kematian.”
“Hey,
bagaimana pun ini menyangkut nyawaku. Kalian harus bertanggung jawab. Apapun
yang terjadi, kalian harus mengobatiku hingga aku sembuh. Kalian tak boleh
menghindar!”
“Tenang,
Saudara Alex…”
“Bagaimana
aku bisa tenang?! Kalian yang menjemputku, kalian pula yang menyiksaku sampai
tubuhku remuk, dan kelian dengan sewenang-wenang tak mau bertanggung jawab
menyembuhkanku setelah membunuhku secara perlahan?!! Apa sebenarnya mau
kalian?”
“Maka
dari itu, kami dari penguasa hukum Aloise, meminta maaf. Sebagai permintaan
maaf, kami akan mengabulkan permintaan terakhirmu. Silakan dipikirkan
baik-baik.”
Alex
tak percaya dengan semua omong kosong ini. Tapi ia telah menduga tentang
kematiannya. Hanya saja, ia belum siap. Ia belum siap untuk kehilangan Karen.
Ia sudah kehilangan kedua orang tuanya secara tragis, ia tak mau kehilangan
satu lagi orang yang ia cinta.
Saat
itu, ia diam untuk beberapa menit. Ia berusaha menikmati bagaimana rasanya
bernapas. Bagaimana rasanya merasakan jantungnya berdetak. Bagaimana rasanya
menyentuh sesuatu, rasanya menghirup sebuah aroma, mendengarkan apapun, juga
bagaimana rasanya melihat. Ia berusaha mensyukuri apa yang selama ini ia dapat.
Dan semua itu jadi terasa lebih indah di saat-saat terakhir dalam hidupnya.
Ia
mulai berpikir. Ia memikirkan akan keinginan terakhir dalam hidupnya. Ia lalu
membayangkan Karen. Ia ingin menemuinya dan melihatnya sebelum matanya terpejam
selamanya.
“Baiklah,
aku mau aku dikembalikan ke rumah manusia yang mengurusku selama ini.”
“Baiklah,
Inspektur, bawa ia kembali!”
“Siap,
Pak!”
“Terimakasih
Mr. Court.”
Alex
lantas menggenggam lengan sang inspektur. Lingkaran waktu yang sangat gelap,
membawanya pergi ke tempat jauh. Tempat dimana beragam macam makhluk saling
bersimbiosis. Tempat yang biru. Ya, tempat dimana manusia, hewan, dan tumbuhan
hidup. Tempat dimana Karen tinggal. Canada. Dan mereka berdua sampai di sebuah
apartemen. Disaat sang inspektur telah pergi, Alex nyaris menangis haru ketika
ia berdiri di depan pintu apartemen Karen. Ia melihat langit malam Canada.
Lagit gelap tanpa bintang yang suram, sama dengan nasibnya.
Tidak,
ia tidak merasa memiliki nasib yang suram. Ia senang, bisa menjadi seorang
Demon yang mengenal makhluk semacam Karen. Ia lantas menekan bel dan berdiri
dengan kekuatan yang dipaksakan ada, seraya bersandar di depan pintu dengan kepala
yang dijadikan tumpuan dan tangan kiri menjadi alas sang kepala.
***
Karen
pusing. Ia kebingungan. Stress. Seharian mencari Noah tanpa hasil membuatnya
putus asa pada malam itu. Sampai ketika bel apartemennya berbunyi.
Ia
membuka pintu.
Ketika
pintu terbuka, Alex yang sangat lemah tak berdaya, terhuyung ke hadapan Karen.
Tubuhnya yang tinggi tegap dan gagah, membuat Karen kesulitan membuatnya
bangun. Karen membawanya dengan hati-hati. Disandarkannya Alex di sofa coklat
muda miliknya. Pada detik itu, Alex tersenyum.
“Siapa
namamu? Apa yang terjadi padamu?
“Hai.
Karen. Ini aku, Alex Venardickson.”
Belum
sampai Karen mengucapkan sepatah kata, Alex memotongnya dengan cepat. “Mungkin
kau tak akan percaya, tapi, aku sebenarnya adalah Noah. Aku seorang Demon, yang
dapat berubah menjadi hewan.”
“Jadi
kau Alex Venardickson? Aku tak mengerti. Bagaimana mungkin ada orang yang bisa
berubah menjadi hewan? Apa itu demon? Dan darimana kau mengenal aku dan Noah?”
“Demon
adalah makhluk semacam iblis yang serupa manusia dengan kemampuannya menyihir.
Aku tahu kau tak akan percaya. Tapi aku memang Noah.”
“Noah
sedaritadi menghilang, dan di tengah malam, aku didatangi orang gila yang
sekarat. Aku tak mengerti. Kalau tujuanmu kesini untuk meminta bantuan agar kau
sembuh, aku akan bantu. Tapi kalau tujuanmu kesini untuk membuat malamku
semakin rusak, lebih baik kau pergi ke rumah sakit, lalu setelah kau sembuh,
silakan ke rumah sakit jiwa.”
Alex
hanya diam. Mata birunya mencerminkan kalau ia sedang berusaha menahan sakit.
Sakit di kepalanya, sakit di tubuhnya, juga sakit dalam hatinya. Ia lalu
bekata, “Aku mohon, tatap mataku di saat terakhirku.”
Karen
sempat ragu. Sangat ragu bahkan. Ia lantas membuang pandangannya jauh-jauh dari
Alex. Sedang Alex terus menatap Karen, berharap Karen balas menatapnya. Tapi
Karen tetap tak mengerti.
“Aku
mohon, lihatlah mataku.”
Karen
tak tega dengan orang disampingnya itu. Dengan berat hati, ia coba melihat mata
biru orang di sebelahnya. Pertemuan sepasang mata coklat muda dengan mata biru,
membawa Karen terhanyut pada bayangan yang dilihatnya. Ia melihat semua yang
dialami Alex selama dua puluh empat tahun dia hidup. Ia melihat Alex sejak ia
kecil dan masih memiliki orang tua, ia melihat saat-saat Alex kehilangan kedua
orang tuanya, kehidupan Alex yang dipenjara selama dua tahun, juga semua yang
dialaminya bersamanya sebagai Noah, juga saat-saat dimana Alex memberinya
hadiah di depan pintu, dan bagaimana perjuangannya agar tetap hidup dan
berhadapan dengannya saat ini.
“Jadi
Kau benar Noah?”
Alex
hanya diam. Ia menatap Karen dengan mata berusaha menahan tangis.
Lama-kelamaan, bukan hanya tangis yang ia tahan, tapi denyut kesakitan pada
kepalanya. Rasa sakit pada kepalanya semakin menjadi. Hingga ia tak lagi mampu
menahannya.
Ia
lalu berdiri dan bergerak secara abstrak sambil mencengkram kepalanya dan
berteriak.
“Aaaaaaaarrrgghh..
Aaaaaarrgh..” Alex terus mengerang. Kepalanya terasa akan meledak. Sakit.
Sangat sakit. Ia terus memegangi kepalanya yang sakitnya tak terperi.
Karen
panik. Ia hanya bisa berdiri dan berusaha menenangkan Alex sambil terus
menanyakan apa yang terjadi.
Teriakan
Alex kian memecah malam. Karen yang ada di dekatnya, tak bisa berbuat apa-apa.
Alex
kini meringkuk kesakitan di lantai. Dalam keadaan setengah sadar, ia melihat
Karen menghampirinya dan berusaha menenangkannya dengan berlutut dan
memindahkan kepalanya ke pangkuannya. Dengan maksud menghargai usaha Karen, ia
menahan pedihnya sekarat, agar Karen melihatnya dalam keadaan tenang.
Sambil
mencengkeram kepalanya, ia berkata pada Karen, “Hei, kau tahu, aku sangat, aku
sangat mencintaimu, Karen.”
Hingga
akhirnya, ia memejamkan mata birunya untuk selamanya. Ia berubah, menjadi
sesosok kucing hitam penuh luka, yang terbaring tak berdaya.
Karen
tak percaya akan apa yang ia lihat. Ia melihat seseorang yang selalu ada
untuknya telah pergi. Seseorang yang selalu menemaninya kapanpun, dimanapun ia
membutuhkan. Seseorang yang sangat tulus dan mengorbankan nyawanya hanya agar
dapat bertemu dengannya pada saat terakhir dalam hidupnya. Pada akhirnya, Karen
menjadi orang terakhir yang ia lihat.
Ia
meninggalkan Karen sendirian. Sendirian dengan perasaan penuh kebingungan dan
kehilangan yang mendalam. Ia meninggalkan cintanya pada gadis seniman yang
bahkan belum membalas cintanya sebagai seorang Alex.
Karen
menangis tanpa henti. Air matanya tak mampu dibendung oleh kedua matanya. Ia
memeluk erat tubuh kucing hitam yang selama ini menemaninya. Kucing yang
menjadi sahabat baiknya.
“Kenapa
kau baru bilang sekarang? Kenapa tidak kau ceritakan sejak kita pertama kali
bertemu? Kenapa kau meniggalkanku dengan semua tanda tanya ini? Kenapa kau
secepat ini meninggalkanku? Jangan pergi, Alex! Tolong jangan pergi! Biarkan
aku mengenalmu sebagai seorang Alex walau sehari saja. Aku mohon. Aku mohon.”
Sayangnya,
semua perkataannya tak berguna saat itu. Takdir tak lagi bisa berubah seperti
negeri dongeng.
Sejak
saat itu, Karen menjaga rahasia kisah Alex baik-baik. Begitu pula cintanya.
Akan ia jaga agar hanya milik Alex seorang walaupun ia berkeluarga kelak. Alex
terlalu membekas dalam hatinya.
~Finn~
