Seorang gadis dua puluh
tahun, berjalan cepat tanpa peduli sekitarnya. Matanya tegas, lurus menusuk ke
arah depan. Beberapa kali, ia nampak menengok jam pada handphone miliknya. Kiara harus segera kembali ke kos
untuk menyelesaikan konsep dan denah dari kantor.
Di
kos, seseorang sudah menunggu Kiara di depan pintu.
“Juan,
kamu ngapain di
sini?”
“Alasan
yang sama kenapa Teh Kia kuliah
dan kos di luar kota.”
“Kamu
kabur?—masuk!”
“Kamu
berantem lagi sama Mama?” Kiara langsung mencecar adiknya dengan pertanyaan
begitu pintu ditutup.
“Mama
nggak mau beliin aku motor, dan aku nggak suka ngeliat Mama sama
berondong itu. Jijik! Terus aku kabur dan bilang nggak
mau sekolah. Tapi aku nggak tau mau ke mana, rumah Papa dikunci, jadi aku ke
sini.”
“Papa
kan kerja di Jambi. Kalaupun Papa di Bandung, belum tentu mau ngurusin kamu. Teteh
kuliah aja nggak dibiayain. Kalau teteh kasih kamu uang buat DP motor, kamu
harus mau pulang, oke!?
“Enggak! Aku males liat muka Mama.”
“Nih,
tinggal di rumah Papa
aja dulu. Papa nggak tau pulang kapan. Tapi kalo kamu udah tenang, janji kamu
bakal pulang dan sekolah lagi!”
Kata Kiara seraya memberi Juan kunci rumah dan ongkos ke Bandung.
“Tangan Teteh kenapa?”
“Dicakar kucing.” Segera
Kiara menarik tangannya yang penuh plester, jauh dari
pandangan Juan.
“Terus, aku beneran nggak
boleh di sini, nih?”
“Teteh
sibuk. Kuliah, kerja, lagian ini kosan cewek. Udah, sana pergi!”
“Makasih,
Teh.
Jangan lupa transfer, ya.”
‘Brak’
pintu tertutup. “Sial. Uangku dua bulan!” Keluh Kiara.
***
Lembur
tiap hari sampai pagi sudah seperti hobi bagi Kiara. Baru saja ia menyelesaikan
pekerjaan kantor, Kiara masih harus membuat tugas perancangan dari Pak Tio.
Mau bagaimana lagi, deadline kantor berbarengan dengan deadline kuliah. Belum
lagi belajar untuk Ujian Tengah Semester. Tapi
ia tidak sendiri. Kiara ditemani Rene,
temannya se-SMA yang sekarang sefakultas dan juga sekosan.
“Tadi
sore kalau nggak salah, aku lihat Juan.
Sekarang dia ke mana?”
“Rumah
Papa.”
“Dia
kabur?”
Kiara
tidak menjawab. “Kenapa?”
“Minta
motor tapi nggak dikasih, dia muak juga lihat kelakuan perempuan itu. Terus
dia ngambek,
nggak mau sekolah, dan
kabur.”
“Kamu
nggak boleh ngomong gitu. Dia ibu kandung kamu. Dan kamu sebagai kakak harusnya
membimbing
dan mengarahkan adik kamu ke arah yang lebih baik.”
“Kamu
nggak ngerti keluargaku.”
“Iya,
aku tahu, tapi orang tua itu tetep harus kita hargai.”
“Gini,
menurutku, orang tua itu bukan cuma orang yang bikin anak, tapi juga mengurus
anak. Apalagi kalo mereka nggak menginginkan anaknya, apa yang kaya gitu
pantas
disebut orang tua? Dan adikku tuh udah bandel dari lahir, susah ngajarin dia. Mesti kapok
dulu itu
bocah baru sadar.”
“Tapi
tetep aja, sekali orang tua ya tetep orang tua.
Misal mereka salah, kamu ingetin gimana
benernya. Kamu sebagai anak dan kakak harus bergerak. Kalo semua keluarga goyah,
siapa yang jadi penyokong? Kamu udah coba ngomong ke mereka?”
“Gampang
ngomong, kamu nggak tahu gimana rasanya ada di rumahku dari aku kecil,
gimana karakter keluarga aku, gimana perjuangan aku sampe bisa kaya gini. Aku
udah coba berbagai cara.
Kamu
itu nggak
ngerti, kamu ngga bisa main
paksa prinsip kamu ke aku dan bilang aku harus begini, aku harus begitu—Mending kamu keluar!” Tangan Kiara meraih cutter
dan menunjuk
ke arah pintu, mempersilakan dengan lapang jalan
keluar bagi Rene
yang masih terdiam. ‘Clang’ dilemparnya cutter
itu ke pintu oleh Kiara. Rene tidak punya pilihan lain selain keluar.
***
“Hah, pasrah deh sama nilai.
Terserah, Pak Tio mau ngasih berapa. Kayaknya 20 pun nilaiku nggak nyampe.
Entahlah, semoga asistensi nanti nggak banyak revisi. Agak pedih ya, dua mata
kuliah krusial ada di bawah tangan dosen kaya Pak
Tio—Denahmu gimana, Ki?”
ujar Axel, kaki mungil gadis itu yang biasa berbalut rok span,
sama sekali tidak nampak kesulitan mengimbangi kecepatan berjalan Kiara.
“Liat aja pas asistensi
nanti.”
“Lho, kaki kamu kenapa, kok
pincang? Tangan kamu juga gemuk sebelah. Coba angkat lengan baju kamu!”
“Tadi pagi aku kecelakaan
motor. Makannya tadi bolos jam pertama.” Kiara lantas menurunkan kembali lengan
bajunya, menutupi tangan kirinya yang dibalut perban.
“Iya, sih, tadi waktu ujian
kamu juga telat datang. Tapi kok bisa?”
“Ada mobil yang ngerem
mendadak, dan aku banting stir. Pas jatuh, tangan kiriku untuk pijakan, terus
kakiku terseret dan tertimpa motor. Tapi udah mendingan kok. Kan udah
diobatin.”
“Tapi kamu kurusan, ya.
Turun berapa kilo?”
“Empat kilo.”
“Tukeran badan lah! Ki, kamu udah nentuin siapa
wakil kamu buat Pemira?”
“Belum,
sih. Aku nggak kepikiran sama sekali.”
“Eh,
Pak Tio udah masuk ke ruangannya, Ki!”
Dosen
lulusan Perancis itu terkenal keras pada mahasiswanya. Sikapnya yang sulit
dijelaskan dengan kata-kata, seringkali menguras
kesabaran mahasiswa.Pak Tio baik? Mungkin itu hanya gossip.
Dalam satu kelompok, kini
giliran Kiara yang asistensi.
“Kenapa kamu ambil bentuk
ini?”
“Bentuk kubah ini berasal
dari lingkaran, Pak, dan lingkaran itu melambangkan kesatuan, sehingga
diharapkan dapat mengakrabkan penggunanya—Secara arsitektural bentuk ini juga
lebih mudah dan variatif
dikreasikan ketika
membuat denah.”
“Gubahanmu mana?”
“Em, maaf pak, belum
selesai.”
“Kamu ngapain aja seminggu?
Kamu meremehkan saya? Kalau kamu meremehkan saya, saya sangat bisa meremehkan
kamu. Saya nggak mau tanda tangan kartu asistensi kamu—Untuk minggu depan,
kalian revisi denah dan bikin tampak sebanyak lima jenis.”
Luka di tangan Kiara terasa
menusuk-nusuk mendengar perkataan Pak Tio. Kakinya pun terasa semakin berat
digunakan berjalan meninggalkan ruangan.
“Kamu sih, terlalu jujur.
Harusnya kamu bilang, ‘tadi pagi saya kecelakaan, Pak, terus kertasnya terbang
entah ke mana’ atau apalah, gitu. Untung kertasmu nggak dilempar—Kamu mau ke
kantor abis ini?”
“Iya. Ada deadline juga.”
“Bisa nyetir?”
“Bisa. Motorku cuma rusak
sedikit, kok. Kakiku juga nggak terlalu sakit.”
“Oke, hati-hati, ya.”
Belum sampai di parkiran,
Kiara mendapat telepon dari Pak Haris, manajernya di Natural Desain Selaras.
“Ya, halo, Pak. Ada apa ya?”
“Kiara, begini, jadi tadi
klien kita datang ke kantor. Beliau minta ada perubahan pada desain. Jadi kamu
harus buat ulang konsepnya. Kamu nggak keberatan, kan?”
“Memang kalau saya bilang
saya keberatan, ada penggantinya, Pak?”
“Enggak. Saya kan cuma
basa-basi. Deadline-nya minggu depan, dan besok kita ada meeting bersama
beliau untuk membahas ini—Terima kasih.”
“Baik, Pak.” Kiara
menggenggam erat handphone-nya dan memasukkannya dengan paksa ke dalam saku
celana.
*****
Aku sudah berusaha menjadi
orang baik. Mewujudkan ekspektasi orang-orang sebagai seorang Kiara. Seorang
calon pemimpin, pengubah derajat keluarga. Aku berusaha, berjuang, mandiri
tanpa bantuan orang tua yang sama sekali tidak mau mengurus anak anaknya, hingga
aku harus menjadi kakak sekaligus ibu untuk Juan yang nakalnya menurun dari
orang tuanya. Aku bertahan sejak kecil agar tetap kuat menjalani hidup,
bekerja, kuliah, agar bisa meninggikan nama orang tua, atau lebih tepatnya
untuk membuat mereka malu dan menyesal menelantarkan aku.
Aku sudah berusaha menjadi
orang baik. Aku sembunyikan semua masalah dari orang lain agar tidak menyusahkan,
merepotkan atau pun membuat khawatir. Aku bisa hidup sendiri. Aku tidak butuh
orang lain.
Tapi kenapa, kenapa masalah
dan ujian dalam hidup tidak pernah berhenti datang? Kenapa masalah bertubi-tubi
terus datang? Kapan aku bisa merasa bahagia? Kapan?
“Assalamu’alaykum.” Sahut
Rene. Namun, bukan jawaban dari salamnya yang ia dapat. Ia justru mendapati
suara teriakan-teriakan diiringi suara aneh. Ia tahu suara apa itu, namun tidak
mau dugaannya menjadi kenyataan.
Pintu kamar Kiara dikunci
dari dalam. ‘Brak!’ Rene menendang paksa pintu kamar Kiara. Dan ia tidak
percaya apa yang ia lihat. “Astaghfirullah hal adzim, Kiara!” Darah bercucuran
di mana-mana, mengalir deras dari berbagai lubang yang Kiara buat di tangan
kirinya. Tangan kanannya masih memegang erat pisau yang ia gunakan untuk
menusuk-nusuk. Rene langsung meraih tangan kanan Kiara saat gadis itu hendak
membuat lubang lain pada tangan kirinya yang sudah tidak bisa lagi disebut
tangan.
“Jangan hentikan aku!
Lepasin! Rene! Lepasi...” Kiara
meronta-ronta dalam cengkraman Rene, sampai akhirnya ia pingsan kekurangan
darah.
***
Kiara terbaring lemas di
kamar serba krem beraromakan obat menusuk hidung. Rambutnya terurai tak
beraturan, membingkai wajah tirusnya yang kian hari kian kurus. Di sebelahnya,
Rene duduk menemani setelah berbicara dengan dokter.
Kukira, lima tahun lebih
kita berteman, aku sudah mengenalnya. Tapi aku justru sama sekali tidak
mengenalnya. Atau mungkin aku yang kurang peduli. Aku sama sekali tidak tahu kalau
kau mengidap gangguan psikologis Self Injury. Sejak kapan? Kupikir selama ini
memang kau terlalu ceroboh sehingga hampir setiap hari mendapat luka. Tapi aku
bodoh. Kiara yang perfeksionis, tidak mungkin ceroboh.
“Kamu udah sadar? Istirahat
aja dulu, jangan banyak bergerak.”
Kiara hanya diam. Matanya
menyimpan lebih banyak kesedihan dari biasanya.
“Kamu dapat tujuh jahitan.”
“Cuma tujuh?” tanyanya,
refleks setelah mendengar perkataan Rene.
“Di setiap tusukan. Dan kamu
membuat enam.”
“Oh.” Ia memalingkan
wajahnya. Matanya enggan menatap Rene seolah menyembunyikan apa yang tersirat
di baliknya.
“Kata dokter, kamu harus
meminimalisir penggunaan tangan kirimu selama dua bulan.”
“Itu bahasa halus dari ‘aku
tidak bisa menggunakan tangan kiriku selama dua bulan’. Kamu nggak perlu
memaksakan diri.”
“Psikolog bilang, kamu harus
menjalani terapi sampai kamu sembuh.”
“Jadi kamu udah tahu?” Kali
ini matanya kembali menatap Rene, membiarkan gadis itu membaca matanya.
“Ki, kalau kamu ada masalah,
kamu bisa cerita sama aku.”
“Enggak! Kamu itu masih
naif! Aku tahu aku salah, tapi aku nggak butuh disalah-salahin! Aku cuma butuh
pendengar, yang mengerti masalahku dari sudut pandangku.”
“Kalau gitu kamu bisa cerita
ke psikolog yang nolong kamu, ataukalau kamu belum puas juga, kamu bisa curhat
dalam do’a. Shalat lah lima waktu, perbanyak baca Qur’an. Nggak cuma lahiriyah
aja yang butuh ketenangan, Ki, tapi batin juga. Kalo kamu nggak punya bahu
untuk bersandar, kamu masih punya lantai untuk bersujud. Karena sesungguhnya di
balik kesulitan itu, terdapat kemudahan. Dan Allah ada bersama orang yang
sabar. Inget Ki, manusia makhluk sosial, nggak bisa hidup sendiri. Dan kamu
nggak sendirian.”
Lama Kiara diam, lalu ia
akhirnya berkata, “Cukup kamu aja yang tau hal ini, oke?” Rene mengangguk. “Aku
ada sesuatu. Tadaaa. Aku bawain kamu kucing. Kucing kampung sih. Masih tiga
bulan, tapi bersih kok, udah aku mandiin. Mulai
sekarang, dia bakal nemenin kamu.”
“Hm, tapi agak berisik, ya.”
“Mau kamu namain siapa?”
“Misery.” Ujar Kiara lirih.
Kiara tersenyum. Senyum yang lain. Sekilas, Rene merasa
ada aura aneh di matanya. Tapi ia berusaha menenangkan diri dalam hati, ‘aku
pasti salah lihat’.~