Tuesday, 19 July 2016

Sebatang Lily di Kebun Mawar



Bagai sebatang lily di tengah perkebunan mawar, ia cantik dengan caranya, tegak berdiri memperjuangkan kecantikannya diantara ribuan lainnya. Tapi apa makna cantik yang sesungguhnya? Sahabatku, Alissa, berkelana satu tahun penuh hanya untuk mencari jawabannya.
***
“Gila, gila, gila, cepet tua nih gua ngurusin bocah-bocah bandel tiap hari. Baterenya kaya nggak abis-abis. Hiperaktif, susah banget diaturnya.”
“Sabar, Sa, namanya juga anak kecil.”
“Sabar banget gua, apalagi ngeladenin si Adit, lu harus tau, dia dengan frontalnya, nanya: ‘Bu, kok muka Ibu jelek banget sih?’ Anjr*t, kalo bukan karena kerjaan, udah gua sumpel pake cangkul tu mulut—Hah, Acel? Tumben dia nge-Line gua.”
“Raychel? Mending ngga usah kamu read, deh.”
“Kenapa? Udah terlanjur gua buka juga sih—kok dia ngomongnya gini?”
Aku hanya bisa menghela napas, bersiap pada kemungkinan reaksi terburuk Alissa. Bisa kubayangkan Alissa melempar beragam sumpah serapah pada Raychel. Tapi aku salah, dia hanya diam. Pandangannya kosong, wajahnya seolah mengatakan ia tidak percaya pada tiap kata yang disampaikan Raychel. Ia tidak marah, tidak pula menangis. Kuubah posisi dudukku tepat ke sebelahnya, lantas kurangkulkan tanganku padanya. Aku dapat merasakan degup jantungnya. Tiap degupnya mencerrminkan kesedihan, tapi tenggorokannya tercekat berusaha menahan tangis. Sekilas, kulirik handphone-nya di atas meja.
“Dulu, Gerrard…”
“Iya, aku tahu.” Refleks kupotong ceritanya. Aku tidak mau dia mengingat masa lalu.
“Kenapa gua harus kenal sama Acel?”
“Setiap orang punya jodohnya masing-masing.”
“Apa gua sejelek itu ya?”
“Semua perempuan cantik, kok.”
“Alah, itu cuma kata-kata penenang doang. Jujur aja kali, gua tau kok gua emang jelek. Lu nggak pernah ngerasain sih. Lu seorang Ainul Mardiyah, dari namanya aja udah keliatan, bidadari paling cantik di surga. Emang ya, nama adalah do’a. Lu tinggi, putih, langsing, cantik, mulus, udah nikah lagi, padahal lu setahun di bawah gua. Lha gua, udah gendut, pendek, item, keriting, jerawatan, idup lagi. Mana ada cowok yang mau ama gua? Sekalinya deket, kena PHP, udah sabar banget LDR, eh malah diembat temen sendiri.”
“Sa, yang terpenting itu inner beauty, kalo dalemnya udah cantik, pasti terpancar juga sampe ke luar—Kamu coba jalan-jalan deh. Traveling keliling kota, refreshing, sekalian cari jodoh, siapa tau dapet.”
“Terus kerjaan gua di PAUD gimana?”
“Ya nggapapa. Sekali-kali kamu harus melepas stress.”
“Gua pikir-pikir dulu deh. Gua cabut duluan, ya.”
Dari kejauhan, nampak Alissa memandang jendela toko, lama pandangannya tak lepas dari bayangannya. Aku tahu, betapa keras usaha Alissa untuk menjadi cantik. Mulai dari menggunakan bahan alami, sampai obat-obatan. Obat-obatannya sendiri, mulai dari yang resep dokter, sampai yang tidak resmi. Dia sering keluar-masuk ruang praktik dokter kulit, tapi tidak ada hasil yang signifikan, sekalipun ada, tidak bertahan lama. Ia juga sering olah raga dan berusaha diet, tapi tidak juga berhasil, yang ia dapat justru betis yang mengencang dan nampak lebih besar. Ia berusaha, dan terus berusaha, sampai ia putus asa dan menganggap dirinya dikutuk.
Mungkin pergi, memulai hidup baru, dan mencari jawaban dari pertanyaan hidup adalah yang ia butuhkan.
***
Delapan bulan Alissa pergi, berpindah dari satu kota ke kota lain, ia tidak menetap lebih dari dua minggu dalam satu kota.
Dalam perjalanannya, ia belajar banyak. Bagaimana rasanya empati, perlunya menolong orang, ia juga lebih bersyukur dan menghargai pemberian Allah. Satu perubahan signifikan padanya adalah: ia berhijab. Jujur aku merasa tersanjung ketika ia bilang terinspirasi dariku. Dia terdengar sangat serius berkata ingin mempercantik hatinya.
Bulan kedelapan perantauan, ia tiba di sebuah desa. Desa Mawar. Sepanjang mata memandang, semua orang sama. Mulai dari petugas kebersihan, tukang sayur, ibu rumah tangga, penjual ikan, pengusaha-pengusaha besar, semua sama. Satu desa ini dianugerahi penampilan yang rupawan dari ujung kepala sampai ujung kaki. Seolah bulu mata tipis sedikit saja sudah dianggap jelek di desa ini.
 ‘Bruk’ Alissa tidak sengaja menabrak anak kecil yang sedang bermain. “Maaf ya, kamu nggapapa?” kata Alissa, dan anak itu kabur.
Alissa merasa berada di tempat yang salah. Baru saja ia hendak melangkah kembali ke jalan utama, seseorang menghampirinya. Seorang peminta-minta. Agak aneh memang, melihat seorang pengemis dengan wajah mirip Zayn Malik. Alissa berniat memberi sedikit uangnya, tapi ia sadar, dompetnya, tasnya. “Astaghfirullah, tasku, ketinggalan di bus. Maaf ya pak.”
Uang yang bersisa tinggal 10.000 Rupiah di kantung. Sepertinya ia ditakdirkan untuk singgah lebih lama di desa itu.
Satu-persatu toko didatangi Alissa, berharap menemukan tempat untuk mendapat penghasilan, tapi reaksi semua orang tak jauh berbeda dengan anak kecil tadi.
Setelah mengisi perut dengan sepuluh ribu terakhir, Alissa mencoba mencari tempat berlindung. Biasanya ia menumpang di rumah warga, rumah pejabat setempat, atau bahkan ia bermalam di masjid. Kali ini, ia tidak perlu repot-repot mencari rumah warga yang berbaik hati, karena ia tahu jawabannya pasti akan sama. Ia memilih untuk mencari tempat yang sejuk dan nyaman untuk beristirahat. Dan tempat seperti itu, hanya ada rumah Allah, rumah dimana ia tidak akan ditolak menginjakkan kaki di dalamnya.
Mungkin begini memang lebih baik, ia bisa membantu pembersih masjid bekerja sekaligus tinggal di masjid itu. Ia akan menjadi pembersih masjid perempuan pertama di sana. Paginya, ia benar-benar menanyakan rencananya itu kepada bapak pembersih masjid.
“Assalamu’alaykum, Pak.”
“Wa ‘alaykum salam, ada apa ya, mbak? Mbak yang semalem nginep di sini ya?”
“Iya, Pak. Gini, saya lagi butuh kerjaan, kira kira masjid ini masih membutuhkan jasa orang lain lagi nggak?”
“Maaf mbak, nggak bisa, mbak kan perempuan, di desa ini ngga baik kalo perempuan sering bermalam di sini.”
“Mbak, nyari pekerjaan?” Seorang pria menghampiri keduanya. Ia seorang teknisi listrik yang tadi membetulkan lampu gantung masjid.
“Ah, iya, mas.”
“Kayaknya mbak dari luar kota, ya? Dari mana mbak asalnya?”
“Dari ibu kota, mas.”
“Mau nggak kerja sama saya? dijamin halal dan berkah. Tapi bayarannya Cuma seikhlasnya, gimana?”
“Oh, nggapapa kok mas, yang penting bisa buat makan dan ongkos pulang.”
“Oiya, kenalin, saya Adam.”
“Alissa.”
***
Adam, satu tahun lebih tua dari Alissa, tapi ia lahir dari gen yang baik, hingga sekilas ia nampak dua tiga tahun lebih muda dari seharusnya. Ia seorang teknisi listrik, namun itu hanya kerja sambilan, pekerjaannya yang sesungguhnya adalah, pengelola TPQ di desa itu, dan ia meminta Alissa untuk menjadi guru di sana.
Dua puluh delapan tahun hidup di tempat penuh bunga mawar terasa membosankan bagi Adam. Awalnya menyenangkan, tapi semua jadi terasa sama. Sampai ia bertemu dengan sekuntum lily di tempat yang mulia.
***
Berniat terlepas dari anak-anak, Alissa harus menerima kenyataan bahwa ia harus berhadapan dengan anak-anak untuk ke sekian kalinya. Tapi kali ini ia benar benar berusaha untuk lebih bersabar. Awalnya dia hanya ingin mengumpulkan sedikit uang, tapi lama kelamaan ia terlarut pada keadaan. Ia bahkan lupa apa tujuan utamanya. Anak-anak yang sulit menangkap pelajaran, hiperaktif, bandel, menyebalkan, sudah bukan hal asing bagi Alissa. Pandangan sebelah mata para orang tua hingga berefek samping rasa enggan membayar mahal pun bukann masaah lagi bagi Alissa.
Empat bulan berlalu, ia merasa harus menyudahi perantauannya. Ia ingin pulang. Kembali pada dunia ibu kota yang keras, dengan pribadi yang baru. Berharap pelajaran hidup singkat yang ia peroleh dapat terus diamalkan.
Alissa meminta Adam untuk menemani membeli tiket kereta di minimarket.
“Maaf mbak, yang ekonomi udah habis semua, tinggal yang eksekutif.”
“Dam, pulang aja yuk, duit gua kurang.”
“Pake uang aku aja.”
“Ya kali, nggak usah lah, gapapa kok, besok-besok aja.”
“Tapi kamu harus pulang.”
“Oh, ngusir nih ceritanya?”
“Bukan, aku mau mampir ke rumah kamu.”
“Hah, ngapain?”
“Mau minta izin sama ayah kamu buat nikahin kamu.”
***
“Hah, akhirnya selesai juga.” Kutinggalkan laptop hitamku yang masih menyala. Mesin printer berjalan, selembar kertas keluar dari dalamnya. Tinta hitam di atasnya membentuk kata-kata “Sebatang Lily di Kebun Mawar, oleh: Ainul Mardiyah”.