Bagai sebatang lily di tengah perkebunan
mawar, ia cantik dengan caranya, tegak berdiri memperjuangkan kecantikannya
diantara ribuan lainnya. Tapi apa makna cantik yang sesungguhnya? Sahabatku,
Alissa, berkelana satu tahun penuh hanya untuk mencari jawabannya.
***
“Gila,
gila, gila, cepet tua nih gua ngurusin bocah-bocah bandel tiap hari. Baterenya
kaya nggak abis-abis. Hiperaktif, susah banget diaturnya.”
“Sabar,
Sa, namanya juga anak kecil.”
“Sabar
banget gua, apalagi ngeladenin si Adit, lu harus tau, dia dengan frontalnya,
nanya: ‘Bu, kok muka Ibu jelek banget sih?’ Anjr*t, kalo bukan karena kerjaan,
udah gua sumpel pake cangkul tu mulut—Hah, Acel? Tumben dia nge-Line gua.”
“Raychel?
Mending ngga usah kamu read, deh.”
“Kenapa?
Udah terlanjur gua buka juga sih—kok dia ngomongnya gini?”
Aku
hanya bisa menghela napas, bersiap pada kemungkinan reaksi terburuk Alissa.
Bisa kubayangkan Alissa melempar beragam sumpah serapah pada Raychel. Tapi aku
salah, dia hanya diam. Pandangannya kosong, wajahnya seolah mengatakan ia tidak
percaya pada tiap kata yang disampaikan Raychel. Ia tidak marah, tidak pula
menangis. Kuubah posisi dudukku tepat ke sebelahnya, lantas kurangkulkan
tanganku padanya. Aku dapat merasakan degup jantungnya. Tiap degupnya
mencerrminkan kesedihan, tapi tenggorokannya tercekat berusaha menahan tangis.
Sekilas, kulirik handphone-nya di atas meja.
“Dulu,
Gerrard…”
“Iya,
aku tahu.” Refleks kupotong ceritanya. Aku tidak mau dia mengingat masa lalu.
“Kenapa
gua harus kenal sama Acel?”
“Setiap
orang punya jodohnya masing-masing.”
“Apa
gua sejelek itu ya?”
“Semua
perempuan cantik, kok.”
“Alah,
itu cuma kata-kata penenang doang. Jujur aja kali, gua tau kok gua emang jelek.
Lu nggak pernah ngerasain sih. Lu seorang Ainul Mardiyah, dari namanya aja udah
keliatan, bidadari paling cantik di surga. Emang ya, nama adalah do’a. Lu
tinggi, putih, langsing, cantik, mulus, udah nikah lagi, padahal lu setahun di bawah
gua. Lha gua, udah gendut, pendek, item, keriting, jerawatan, idup lagi. Mana
ada cowok yang mau ama gua? Sekalinya deket, kena PHP, udah sabar banget LDR,
eh malah diembat temen sendiri.”
“Sa,
yang terpenting itu inner beauty, kalo dalemnya udah cantik, pasti terpancar
juga sampe ke luar—Kamu coba jalan-jalan deh. Traveling keliling kota,
refreshing, sekalian cari jodoh, siapa tau dapet.”
“Terus
kerjaan gua di PAUD gimana?”
“Ya
nggapapa. Sekali-kali kamu harus melepas stress.”
“Gua
pikir-pikir dulu deh. Gua cabut duluan, ya.”
Dari
kejauhan, nampak Alissa memandang jendela toko, lama pandangannya tak lepas
dari bayangannya. Aku tahu, betapa keras usaha Alissa untuk menjadi cantik.
Mulai dari menggunakan bahan alami, sampai obat-obatan. Obat-obatannya sendiri,
mulai dari yang resep dokter, sampai yang tidak resmi. Dia sering keluar-masuk
ruang praktik dokter kulit, tapi tidak ada hasil yang signifikan, sekalipun
ada, tidak bertahan lama. Ia juga sering olah raga dan berusaha diet, tapi
tidak juga berhasil, yang ia dapat justru betis yang mengencang dan nampak
lebih besar. Ia berusaha, dan terus berusaha, sampai ia putus asa dan
menganggap dirinya dikutuk.
Mungkin pergi, memulai hidup baru, dan
mencari jawaban dari pertanyaan hidup adalah yang ia butuhkan.
***
Delapan
bulan Alissa pergi, berpindah dari satu kota ke kota lain, ia tidak menetap
lebih dari dua minggu dalam satu kota.
Dalam
perjalanannya, ia belajar banyak. Bagaimana rasanya empati, perlunya menolong
orang, ia juga lebih bersyukur dan menghargai pemberian Allah. Satu perubahan
signifikan padanya adalah: ia berhijab. Jujur aku merasa tersanjung ketika ia
bilang terinspirasi dariku. Dia terdengar sangat serius berkata ingin
mempercantik hatinya.
Bulan
kedelapan perantauan, ia tiba di sebuah desa. Desa Mawar. Sepanjang mata
memandang, semua orang sama. Mulai dari petugas kebersihan, tukang sayur, ibu
rumah tangga, penjual ikan, pengusaha-pengusaha besar, semua sama. Satu desa
ini dianugerahi penampilan yang rupawan dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Seolah bulu mata tipis sedikit saja sudah dianggap jelek di desa ini.
‘Bruk’ Alissa tidak sengaja menabrak anak
kecil yang sedang bermain. “Maaf ya, kamu nggapapa?” kata Alissa, dan anak itu
kabur.
Alissa
merasa berada di tempat yang salah. Baru saja ia hendak melangkah kembali ke
jalan utama, seseorang menghampirinya. Seorang peminta-minta. Agak aneh memang,
melihat seorang pengemis dengan wajah mirip Zayn Malik. Alissa berniat memberi
sedikit uangnya, tapi ia sadar, dompetnya, tasnya. “Astaghfirullah, tasku,
ketinggalan di bus. Maaf ya pak.”
Uang
yang bersisa tinggal 10.000 Rupiah di kantung. Sepertinya ia ditakdirkan untuk
singgah lebih lama di desa itu.
Satu-persatu
toko didatangi Alissa, berharap menemukan tempat untuk mendapat penghasilan,
tapi reaksi semua orang tak jauh berbeda dengan anak kecil tadi.
Setelah
mengisi perut dengan sepuluh ribu terakhir, Alissa mencoba mencari tempat
berlindung. Biasanya ia menumpang di rumah warga, rumah pejabat setempat, atau
bahkan ia bermalam di masjid. Kali ini, ia tidak perlu repot-repot mencari
rumah warga yang berbaik hati, karena ia tahu jawabannya pasti akan sama. Ia
memilih untuk mencari tempat yang sejuk dan nyaman untuk beristirahat. Dan
tempat seperti itu, hanya ada rumah Allah, rumah dimana ia tidak akan ditolak
menginjakkan kaki di dalamnya.
Mungkin
begini memang lebih baik, ia bisa membantu pembersih masjid bekerja sekaligus
tinggal di masjid itu. Ia akan menjadi pembersih masjid perempuan pertama di
sana. Paginya, ia benar-benar menanyakan rencananya itu kepada bapak pembersih
masjid.
“Assalamu’alaykum,
Pak.”
“Wa
‘alaykum salam, ada apa ya, mbak? Mbak yang semalem nginep di sini ya?”
“Iya,
Pak. Gini, saya lagi butuh kerjaan, kira kira masjid ini masih membutuhkan jasa
orang lain lagi nggak?”
“Maaf
mbak, nggak bisa, mbak kan perempuan, di desa ini ngga baik kalo perempuan
sering bermalam di sini.”
“Mbak,
nyari pekerjaan?” Seorang pria menghampiri keduanya. Ia seorang teknisi listrik
yang tadi membetulkan lampu gantung masjid.
“Ah,
iya, mas.”
“Kayaknya
mbak dari luar kota, ya? Dari mana mbak asalnya?”
“Dari
ibu kota, mas.”
“Mau
nggak kerja sama saya? dijamin halal dan berkah. Tapi bayarannya Cuma
seikhlasnya, gimana?”
“Oh,
nggapapa kok mas, yang penting bisa buat makan dan ongkos pulang.”
“Oiya,
kenalin, saya Adam.”
“Alissa.”
***
Adam,
satu tahun lebih tua dari Alissa, tapi ia lahir dari gen yang baik, hingga
sekilas ia nampak dua tiga tahun lebih muda dari seharusnya. Ia seorang teknisi
listrik, namun itu hanya kerja sambilan, pekerjaannya yang sesungguhnya adalah,
pengelola TPQ di desa itu, dan ia meminta Alissa untuk menjadi guru di sana.
Dua puluh delapan tahun hidup di tempat
penuh bunga mawar terasa membosankan bagi Adam. Awalnya menyenangkan, tapi
semua jadi terasa sama. Sampai ia bertemu dengan sekuntum lily di tempat yang
mulia.
***
Berniat
terlepas dari anak-anak, Alissa harus menerima kenyataan bahwa ia harus
berhadapan dengan anak-anak untuk ke sekian kalinya. Tapi kali ini ia benar
benar berusaha untuk lebih bersabar. Awalnya dia hanya ingin mengumpulkan
sedikit uang, tapi lama kelamaan ia terlarut pada keadaan. Ia bahkan lupa apa
tujuan utamanya. Anak-anak yang sulit menangkap pelajaran, hiperaktif, bandel,
menyebalkan, sudah bukan hal asing bagi Alissa. Pandangan sebelah mata para
orang tua hingga berefek samping rasa enggan membayar mahal pun bukann masaah
lagi bagi Alissa.
Empat
bulan berlalu, ia merasa harus menyudahi perantauannya. Ia ingin pulang.
Kembali pada dunia ibu kota yang keras, dengan pribadi yang baru. Berharap
pelajaran hidup singkat yang ia peroleh dapat terus diamalkan.
Alissa
meminta Adam untuk menemani membeli tiket kereta di minimarket.
“Maaf
mbak, yang ekonomi udah habis semua, tinggal yang eksekutif.”
“Dam,
pulang aja yuk, duit gua kurang.”
“Pake
uang aku aja.”
“Ya
kali, nggak usah lah, gapapa kok, besok-besok aja.”
“Tapi
kamu harus pulang.”
“Oh,
ngusir nih ceritanya?”
“Bukan,
aku mau mampir ke rumah kamu.”
“Hah,
ngapain?”
“Mau minta izin sama ayah kamu buat
nikahin kamu.”
***
“Hah,
akhirnya selesai juga.” Kutinggalkan laptop hitamku yang masih menyala. Mesin
printer berjalan, selembar kertas keluar dari dalamnya. Tinta hitam di atasnya
membentuk kata-kata “Sebatang Lily di Kebun Mawar, oleh: Ainul Mardiyah”.