Sunday, 9 October 2016

Injury

Seorang gadis dua puluh tahun, berjalan cepat tanpa peduli sekitarnya. Matanya tegas, lurus menusuk ke arah depan. Beberapa kali, ia nampak menengok jam pada handphone miliknya. Kiara harus segera kembali ke kos untuk menyelesaikan konsep dan denah dari kantor.
Di kos, seseorang sudah menunggu Kiara di depan pintu.
“Juan, kamu ngapain di sini?”
“Alasan yang sama kenapa Teh Kia kuliah dan kos di luar kota.”
“Kamu kabur?—masuk!”
“Kamu berantem lagi sama Mama?” Kiara langsung mencecar adiknya dengan pertanyaan begitu pintu ditutup.
“Mama nggak mau beliin aku motor, dan aku nggak suka ngeliat Mama sama berondong itu. Jijik! Terus aku kabur dan bilang nggak mau sekolah. Tapi aku nggak tau mau ke mana, rumah Papa dikunci, jadi aku ke sini.”
“Papa kan kerja di Jambi. Kalaupun Papa di Bandung, belum tentu mau ngurusin kamu. Teteh kuliah aja nggak dibiayain. Kalau teteh kasih kamu uang buat DP motor, kamu harus mau pulang, oke!?
“Enggak! Aku males liat muka Mama.”
“Nih, tinggal di rumah Papa aja dulu. Papa nggak tau pulang kapan. Tapi kalo kamu udah tenang, janji kamu bakal pulang dan sekolah lagi!” Kata Kiara seraya memberi Juan kunci rumah dan ongkos ke Bandung.
“Tangan Teteh kenapa?”
“Dicakar kucing.” Segera Kiara menarik tangannya yang penuh plester, jauh dari pandangan Juan.
“Terus, aku beneran nggak boleh di sini, nih?
“Teteh sibuk. Kuliah, kerja, lagian ini kosan cewek. Udah, sana pergi!”
“Makasih, Teh. Jangan lupa transfer, ya.”
‘Brak’ pintu tertutup. “Sial. Uangku dua bulan!” Keluh Kiara.
***
Lembur tiap hari sampai pagi sudah seperti hobi bagi Kiara. Baru saja ia menyelesaikan pekerjaan kantor, Kiara masih harus membuat tugas perancangan dari Pak Tio. Mau bagaimana lagi, deadline kantor berbarengan dengan deadline kuliah. Belum lagi belajar untuk Ujian Tengah Semester. Tapi ia tidak sendiri. Kiara ditemani Rene, temannya se-SMA yang sekarang sefakultas dan juga sekosan.
“Tadi sore kalau nggak salah, aku lihat Juan. Sekarang dia ke mana?”
“Rumah Papa.”
“Dia kabur?”
Kiara tidak menjawab. “Kenapa?”
“Minta motor tapi nggak dikasih, dia muak juga lihat kelakuan perempuan itu. Terus dia ngambek, nggak mau sekolah, dan kabur.”
“Kamu nggak boleh ngomong gitu. Dia ibu kandung kamu. Dan kamu sebagai kakak harusnya membimbing dan mengarahkan adik kamu ke arah yang lebih baik.”
“Kamu nggak ngerti keluargaku.”
“Iya, aku tahu, tapi orang tua itu tetep harus kita hargai.”
“Gini, menurutku, orang tua itu bukan cuma orang yang bikin anak, tapi juga mengurus anak. Apalagi kalo mereka nggak menginginkan anaknya, apa yang kaya gitu pantas disebut orang tua? Dan adikku tuh udah bandel dari lahir, susah ngajarin dia. Mesti kapok dulu itu bocah baru sadar.”
“Tapi tetep aja, sekali orang tua ya tetep orang tua. Misal mereka salah, kamu ingetin gimana benernya. Kamu sebagai anak dan kakak harus bergerak. Kalo semua keluarga goyah, siapa yang jadi penyokong? Kamu udah coba ngomong ke mereka?
“Gampang ngomong, kamu nggak tahu gimana rasanya ada di rumahku dari aku kecil, gimana karakter keluarga aku, gimana perjuangan aku sampe bisa kaya gini. Aku udah coba berbagai cara. Kamu itu nggak ngerti, kamu ngga bisa main paksa prinsip kamu ke aku dan bilang aku harus begini, aku harus begitu—Mending kamu keluar!” Tangan Kiara meraih cutter dan menunjuk ke arah pintu, mempersilakan dengan lapang jalan keluar bagi Rene yang masih terdiam. ‘Clang’ dilemparnya cutter itu ke pintu oleh Kiara. Rene tidak punya pilihan lain selain keluar.
***
“Hah, pasrah deh sama nilai. Terserah, Pak Tio mau ngasih berapa. Kayaknya 20 pun nilaiku nggak nyampe. Entahlah, semoga asistensi nanti nggak banyak revisi. Agak pedih ya, dua mata kuliah krusial ada di bawah tangan dosen kaya Pak Tio—Denahmu gimana, Ki?” ujar Axel, kaki mungil gadis itu yang biasa berbalut rok span, sama sekali tidak nampak kesulitan mengimbangi kecepatan berjalan Kiara.
“Liat aja pas asistensi nanti.”
“Lho, kaki kamu kenapa, kok pincang? Tangan kamu juga gemuk sebelah. Coba angkat lengan baju kamu!”
“Tadi pagi aku kecelakaan motor. Makannya tadi bolos jam pertama.” Kiara lantas menurunkan kembali lengan bajunya, menutupi tangan kirinya yang dibalut perban.
“Iya, sih, tadi waktu ujian kamu juga telat datang. Tapi kok bisa?”
“Ada mobil yang ngerem mendadak, dan aku banting stir. Pas jatuh, tangan kiriku untuk pijakan, terus kakiku terseret dan tertimpa motor. Tapi udah mendingan kok. Kan udah diobatin.”
“Tapi kamu kurusan, ya. Turun berapa kilo?”
“Empat kilo.”
“Tukeran badan lah! Ki, kamu udah nentuin siapa wakil kamu buat Pemira?”
“Belum, sih. Aku nggak kepikiran sama sekali.”
“Eh, Pak Tio udah masuk ke ruangannya, Ki!”
Dosen lulusan Perancis itu terkenal keras pada mahasiswanya. Sikapnya yang sulit dijelaskan dengan kata-kata, seringkali menguras kesabaran mahasiswa.Pak Tio baik? Mungkin itu hanya gossip.
Dalam satu kelompok, kini giliran Kiara yang asistensi.
“Kenapa kamu ambil bentuk ini?”
“Bentuk kubah ini berasal dari lingkaran, Pak, dan lingkaran itu melambangkan kesatuan, sehingga diharapkan dapat mengakrabkan penggunanya—Secara arsitektural bentuk ini juga lebih mudah dan variatif dikreasikan ketika membuat denah.”
“Gubahanmu mana?”
“Em, maaf pak, belum selesai.”
“Kamu ngapain aja seminggu? Kamu meremehkan saya? Kalau kamu meremehkan saya, saya sangat bisa meremehkan kamu. Saya nggak mau tanda tangan kartu asistensi kamu—Untuk minggu depan, kalian revisi denah dan bikin tampak sebanyak lima jenis.”
Luka di tangan Kiara terasa menusuk-nusuk mendengar perkataan Pak Tio. Kakinya pun terasa semakin berat digunakan berjalan meninggalkan ruangan.
“Kamu sih, terlalu jujur. Harusnya kamu bilang, ‘tadi pagi saya kecelakaan, Pak, terus kertasnya terbang entah ke mana’ atau apalah, gitu. Untung kertasmu nggak dilempar—Kamu mau ke kantor abis ini?”
“Iya. Ada deadline juga.”
“Bisa nyetir?”
“Bisa. Motorku cuma rusak sedikit, kok. Kakiku juga nggak terlalu sakit.”
“Oke, hati-hati, ya.”
Belum sampai di parkiran, Kiara mendapat telepon dari Pak Haris, manajernya di Natural Desain Selaras.
“Ya, halo, Pak. Ada apa ya?”
“Kiara, begini, jadi tadi klien kita datang ke kantor. Beliau minta ada perubahan pada desain. Jadi kamu harus buat ulang konsepnya. Kamu nggak keberatan, kan?”
“Memang kalau saya bilang saya keberatan, ada penggantinya, Pak?”
“Enggak. Saya kan cuma basa-basi. Deadline-nya minggu depan, dan besok kita ada meeting bersama beliau untuk membahas ini—Terima kasih.”
“Baik, Pak.” Kiara menggenggam erat handphone-nya dan memasukkannya dengan paksa ke dalam saku celana.
*****
Aku sudah berusaha menjadi orang baik. Mewujudkan ekspektasi orang-orang sebagai seorang Kiara. Seorang calon pemimpin, pengubah derajat keluarga. Aku berusaha, berjuang, mandiri tanpa bantuan orang tua yang sama sekali tidak mau mengurus anak anaknya, hingga aku harus menjadi kakak sekaligus ibu untuk Juan yang nakalnya menurun dari orang tuanya. Aku bertahan sejak kecil agar tetap kuat menjalani hidup, bekerja, kuliah, agar bisa meninggikan nama orang tua, atau lebih tepatnya untuk membuat mereka malu dan menyesal menelantarkan aku.
Aku sudah berusaha menjadi orang baik. Aku sembunyikan semua masalah dari orang lain agar tidak menyusahkan, merepotkan atau pun membuat khawatir. Aku bisa hidup sendiri. Aku tidak butuh orang lain.
Tapi kenapa, kenapa masalah dan ujian dalam hidup tidak pernah berhenti datang? Kenapa masalah bertubi-tubi terus datang? Kapan aku bisa merasa bahagia? Kapan?

“Assalamu’alaykum.” Sahut Rene. Namun, bukan jawaban dari salamnya yang ia dapat. Ia justru mendapati suara teriakan-teriakan diiringi suara aneh. Ia tahu suara apa itu, namun tidak mau dugaannya menjadi kenyataan.
Pintu kamar Kiara dikunci dari dalam. ‘Brak!’ Rene menendang paksa pintu kamar Kiara. Dan ia tidak percaya apa yang ia lihat. “Astaghfirullah hal adzim, Kiara!” Darah bercucuran di mana-mana, mengalir deras dari berbagai lubang yang Kiara buat di tangan kirinya. Tangan kanannya masih memegang erat pisau yang ia gunakan untuk menusuk-nusuk. Rene langsung meraih tangan kanan Kiara saat gadis itu hendak membuat lubang lain pada tangan kirinya yang sudah tidak bisa lagi disebut tangan.
“Jangan hentikan aku! Lepasin! Rene! Lepasi...” Kiara meronta-ronta dalam cengkraman Rene, sampai akhirnya ia pingsan kekurangan darah.
***
Kiara terbaring lemas di kamar serba krem beraromakan obat menusuk hidung. Rambutnya terurai tak beraturan, membingkai wajah tirusnya yang kian hari kian kurus. Di sebelahnya, Rene duduk menemani setelah berbicara dengan dokter.

Kukira, lima tahun lebih kita berteman, aku sudah mengenalnya. Tapi aku justru sama sekali tidak mengenalnya. Atau mungkin aku yang kurang peduli. Aku sama sekali tidak tahu kalau kau mengidap gangguan psikologis Self Injury. Sejak kapan? Kupikir selama ini memang kau terlalu ceroboh sehingga hampir setiap hari mendapat luka. Tapi aku bodoh. Kiara yang perfeksionis, tidak mungkin ceroboh.

“Kamu udah sadar? Istirahat aja dulu, jangan banyak bergerak.”
Kiara hanya diam. Matanya menyimpan lebih banyak kesedihan dari biasanya.
“Kamu dapat tujuh jahitan.”
“Cuma tujuh?” tanyanya, refleks setelah mendengar perkataan Rene.
“Di setiap tusukan. Dan kamu membuat enam.”
“Oh.” Ia memalingkan wajahnya. Matanya enggan menatap Rene seolah menyembunyikan apa yang tersirat di baliknya.
“Kata dokter, kamu harus meminimalisir penggunaan tangan kirimu selama dua bulan.”
“Itu bahasa halus dari ‘aku tidak bisa menggunakan tangan kiriku selama dua bulan’. Kamu nggak perlu memaksakan diri.”
“Psikolog bilang, kamu harus menjalani terapi sampai kamu sembuh.”
“Jadi kamu udah tahu?” Kali ini matanya kembali menatap Rene, membiarkan gadis itu membaca matanya.
“Ki, kalau kamu ada masalah, kamu bisa cerita sama aku.”
“Enggak! Kamu itu masih naif! Aku tahu aku salah, tapi aku nggak butuh disalah-salahin! Aku cuma butuh pendengar, yang mengerti masalahku dari sudut pandangku.”
“Kalau gitu kamu bisa cerita ke psikolog yang nolong kamu, ataukalau kamu belum puas juga, kamu bisa curhat dalam do’a. Shalat lah lima waktu, perbanyak baca Qur’an. Nggak cuma lahiriyah aja yang butuh ketenangan, Ki, tapi batin juga. Kalo kamu nggak punya bahu untuk bersandar, kamu masih punya lantai untuk bersujud. Karena sesungguhnya di balik kesulitan itu, terdapat kemudahan. Dan Allah ada bersama orang yang sabar. Inget Ki, manusia makhluk sosial, nggak bisa hidup sendiri. Dan kamu nggak sendirian.”
Lama Kiara diam, lalu ia akhirnya berkata, “Cukup kamu aja yang tau hal ini, oke?” Rene mengangguk. “Aku ada sesuatu. Tadaaa. Aku bawain kamu kucing. Kucing kampung sih. Masih tiga bulan, tapi bersih kok, udah aku mandiin. Mulai sekarang, dia bakal nemenin kamu.”
“Hm, tapi agak berisik, ya.”
“Mau kamu namain siapa?”
“Misery.” Ujar Kiara lirih. Kiara tersenyum. Senyum yang lain. Sekilas, Rene merasa ada aura aneh di matanya. Tapi ia berusaha menenangkan diri dalam hati, ‘aku pasti salah lihat’.~