|
TUGAS FISIKA BANGUNAN
JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS
DIPONEGORO
TAHUN 2015
TEMA : APLIKASI PENERANGAN BUATAN DI LINGKUNGAN
GEDUNG JAFT UNDIP
|
||||
|
Nama
|
:
|
DESSY OKTAVIA
|
||
|
NIM
|
:
|
21020114130141
|
||
|
Dosen Pembimbing
|
:
|
Dr.Ir. Eddy Prianto, CES.,DEA
|
||
|
Keterangan Gambar
: Foto eksisting interior ruang Kelas B101 JAFT
|
||||
|
|
||||
|
Keterangan Gambar
: Disain tata lampu ruang Kelas B101 JAFT
|
||||
|
|
||||
|
Konsep penataan
lampu :
|
Jenis penerangan
|
Umum
|
||
|
|
Tujuan penerangan
|
Umum
|
||
|
|
System penerangan
|
Langsung
|
||
|
Alamat blog :
|
http://mungkinsajaseniman.blogspot.co.id/2015/11/fisika-bangunan-tata-letak-lampu-dr-ir.html
|
|||
|
|
Tgl&ttd diperiksa
………………………………….
|
|||
Friday, 20 November 2015
Fisika Bangunan: Tata Letak Lampu, DESSY OKTAVIA (ST)
Friday, 26 June 2015
Darkness in Me Part 4
Atmosfer hidup seorang aku, terasa begitu
hambar. Mungkin karena aku belum terbiasa hidup tanpa ibu. Aku hanya terbiasa
hidup tanpa teman. Tapi kali ini, aku benar benar sendiri. Lisa, Tirta, Fariz,
ataupun Linan, hanyalah kursi kosong belaka. Jangankan manusia, Rafiq,
satu-satunya hantu yang tidak menakut-nakuti atau mengerjaiku, detik ini
hanyalah angin lalu. Masih bergema di telingaku, kata-kata
terakhirnya,’hati-hati’.
Jauh, namun pasti, percakapan dua orang yang
memiliki kesamaan denganku, tertangkap sangat jelas oleh telingaku yang caplang
sebelah. Tiwi dan Rissa. Mereka bicara, seolah tak tahu sedikit pun perasaan
seorang manusia berjaket hitam.
“Wi, minggu depan kan anak TN bakal cuti.
Akhirnya gua bakal ketemu sama dia lagi.” Rissa memulai pembicaraan.
“Udah tau, semalem kan gua telponan sama
dia.”
“Asik daaah, yang sering ditelpon.” Rissa
menimpali.
“Nggak sering kok. Paling dua atau tiga bulan
sekali. Kan anak TN sibuk banget. Haduuu nggak sabar ketemu.”
“Gua sih ketemunya sama dia pas hari minggu,
dua minggu abis dia cuti.”
“Lama amat dua minggu. Udah kangen kaliii..
Gua sih seminggu abis dia cuti. Lebih cepet kan lebih baik.”
Mereka tertawa. Mereka tertawa di atas
penderitaan orang. Mereka tak mengerti, satu pun sms dan mentionku nggak ada
yang dibalas si calon tentara brengsek. Padahal dia sering menelpon dan DM-an
sama mantannya. Nasibku terlalu berbeda dengan mereka.
Aku berusaha menenangkan diri. Kaki yang
terasa berat, melangkah ke tempat yang umum didatangi para perempuan yang
berduka. Toilet. Setidaknya dengan mencuci muka, mampu menurunkan sedikit suhu
kepalaku. Begitulah pikirku.
Pintu toilet kututup. Aku membuka hoodie
jaket hitam kesayanganku, yang menelungkupi sebagian besar kepalaku hingga
nyaris menutupi mataku yang berkaca-kaca.
Agak sulit bagiku untuk menenangkan diri. Aku
mengenalnya selama lebih dari lima tahun, aku menunggu penuh kesabaran dalam
jauhnya jarak membentang, aku diam penuh kebesaran hati berusaha merelakan ia
dengan sahabat lamaku yang juga mantannya, aku berjalan penuh kepercayaan walau
hari penuh harapan semu, aku, aku yang begitu berbaik hati melakukan semua itu
ditengah keterpurukan takdir, hanya untukmu. Tapi kamu bertingkah seolah tak
mengenalku. Seolah aku orang asing. Balasan yang sungguh tak adil.
Jutaan kali aku berusaha melupakanmu. Tapi
hatiku serasa mencelos, setiap mendengar sepatah kata saja yang berhubungan
denganmu. Semua percuma, hanya pelajaran, seni dan Tuhan yang mampu mengalihkan
sedikit duniaku.
Sebulir air dari mataku, kuusap dengan jemari
berkuku panjangku.
Aku sedang membasuh wajahku dengan segenggam
air, ketika indera pendengaranku mendengar suara seseorang tercekat.
Aku berusaha secepat mungkin keluar dari
toilet dan melihat keadaan seseorang di depan washtafel.
Namun semua terlambat. Letta tergeletak,
terkapar tak bernyawa. Kondisinya mengenaskan. Tubuhnya kaku, kepalanya
menengok ke atas, dengan mata terbelalak yang juga mengarah ke atas dan mulut
menganga lebar.
Aku panik. Belum pernah sebelumnya aku
melihat orang mati dengan kedua mataku. Aku tak tahu apa yang seharusnya kulakukan.
Aku tak bisa mengendalikan rasa panik yang menggebu dalam dada. Aku hanya bisa
teriak. “WOOY, SIAPAPUN, PLEASE KE TOILET SEKARANG! GUA BUTUH BANTUAN DISINI.
LETTA MENINGGAL.” Kukerahkan segala kekuatan yang dimiliki pita suaraku. Aku
tahu, tak akan ada satu orang pun yang datang. Mana mungkin ada yang percaya
pada cewek yang dianggap gila satu sekolah, kalau ada seorang siswi yang
kehilangan nyawanya.
Sayang aku tak bisa mengembalikan nyawanya
walaupun aku memang benci padanya. Lututku kutekuk tepat di sebelahnya. Jemari
senimanku kugerakkan guna menutup kelopak mata dan mulutnya.
“Ada apaan sih?” Aku kaget, Anggie datang
membuka pintu tiba-tiba, lengkap dengan intonasi yang tinggi. Sekilas, terlihat
Emma berdiri serta di belakangnya. “Diana, Letta kenapa? Dia pingsan? Emma, lo
panggil guru deh, siapa aja!” Anggie melanjutkan.
Aku berdiri. Berusaha mengumpulkan tenaga
sebesar mungkin agar lidahku mampu bergerak demi sebuah cerita. “Tadi, pas gua
pipis, gua denger suara orang kaya tercekat karna dicekek gitu, pas gua keluar,
gua liat dia udah tergeletak di lantai. Gua priksa idungnya, ternyata dia udah
nggak nafas lagi. Dia meninggal.”
“Ya ampun, nggak, gua nggak percaya. Nggak
mungkin Letta secepet itu meninggal. Tahun depan kita kan lulus, dan dia nggak
bakal ada di graduation. Gila, gua nggak nyangka dia secepet itu nyusul
Renata.” Anggie panik tingkat dewa-dewi. Dia terus mondar-mandir dan lantas
mendekati jenazah Letta.
“Jangan sentuh. Kalo misalnya dia meninggal
karena dibunuh, lo bakal masuk jadi salah satu tersangka.”
“Emangnya lo nggak liat, dia meninggal karena
sakit, atau dibunuh?”
“Gua nggak liat sama sekali. Gua cuma denger
suara dia kaya *mempraktikan suara orang dicekik*, abis itu, gua nggak denger
ada suara orang keluar pintu. Seolah Letta di washtafel cuma sendiri. Tapi pas
gua liat jenazahnya, kondisinya serem banget, nggak kaya yang sekarang lo liat.
Kepalanya nengok ke atas, matanya melotot dan ngeliat ke atas, mulutnya juga
kebuka lebar banget. Seolah dia dicekek sama orang yang tinggi banget. Dan lo
dateng pas gua lagi nutup mata dan mulutnya.”
“Berarti pelakunya cewek tinggi di angkatan
kita.”
“Belom tentu, kan tadi udah gua bilang, gua
nggak dengar suara orang keluar dari toilet ini. Suara orang melangkah pun
nggak ada.”
“Apa jangan-jangan, elo pelakunya. Lo pasti
pake ilmu hitam atau sihir. Akhir-akhir ini, gua denger lo makin sering ngomong
sendiri, yaaah katanya sih sama hantu. Terus, ada juga kasus Bu Sulis, dan lo
sering banget pake jaket item. Di toilet ini, siapa lagi yang bisa jadi
tersangka kalo bukan elo. Lo ngelarang gua nyentuh dia, pasti biar trik lo
nggak ketahuan kan? Lo setara sama iblis Diana, lo setara sama iblis!”
“KENA…”
“Ada apa ini?” Pak Daud datang dikawal Pak
Rianto dan Pak Hafidz. Mereka bergerak begitu cepat. Pak Daud membawa Letta ke
rumah sakit, Pak Rianto membawa berita pada kepala sekolah, dan Pak Hafidz
membawa kami berdua ke ruang BK untuk dimintai keterangan. Aku hanya tak ingin
diperlakukan seperti tersangka.
Dinginnya ruang BK serasa mencekit. Puluhan
pertanyaan diajukan pada kami. Kata perkata dari mulut Anggie, mengocok perutku
hingga aku serasa ingin muntah. Sedang aku hanya menjawab apa adanya, sesuai
apa yang kutahu. Sayup-sayup terdengar suara speaker pengumuman yang
mengumumkan berita duka cita. Karena ada satu lagi siswi yang meninggal,
kegiatan belajar mengajar pun dipercepat, dan menimbulkan rasa cita beberapa
kaum karena pulang lebih awal.
Selepas wawancara memuakkan, sekolah pada
akhirnya mengambil keputusan. Berhubung hasil pemeriksaan rumah sakit kematian
Letta disebabkan oleh sakit jantung mendadak atau penyakit aneh lainnya, kasus
ini diserahkan sepenuhnya pada polisi. Penyakit, tapi melibatkan polisi? Jelas,
semua ini karena keadaan Letta di saat terakhirnya yang bisa dibilang tidak
wajar. Dan aku akan dipanggil lain waktu bila diperlukan. Setidaknya aku bisa
sedikit merasa lega.
Polisi akan memulai penyelidikan begitu
sekolah bubar.
ζΨξϖ
Ruang tamu ini menjadi saksi bisu betapa
kerasnya usahaku menghibur diri. Cuma dengan menggambar, aku melupakan sedikit
masalahku. Tiap gores yang kutorehkan, begitu bergairah. Tanganku rasanya
seperti bergerak dengan sendirinya. Aku suka diriku ketika kudapati aku seperti
demikian.
Aku berusaha, sedetail mungkin menghiasi
kertas A3 dengan pulpen. Anehnya, aku selalu kebingungan tak percaya, kalau
hasil karyaku adalah murni dari tanganku. Aku takjub dengan Tuhan, yang mampu
menciptakan otak seni yang berkoordinasi dengan baik dengan saraf-saraf jemari
panjangku. Mungkin terdengar aneh, kalau ada orang yang suka memuji diri
sendiri, tapi begitulah aku.
Ketenangan nan syahdu, tiba-tiba porak
poranda oleh penghalang masa depan. “Nggambar mulu, nggak ada gunanya buat masa
depan. Sama sekali nggak bisa menunjang karier kamu kedepannya. Belajar! Kalo
kamu masuk kuliah, yang diliat itu nilai kamu, bukan apa yang kamu gambar.
Udahlah, nggak usah nggambar lagi. Hobi, ya hobi, jangan dijadiin profesi.”
“Kenapa sih yah, nggambar aja nggak boleh?
masuk arsitektur interior juga nggak boleh. Terus bolehnya apa?”
“Ayah tuh maunya kamu belajar terus, biar
bisa jadi dokter, minimal masuk farmasi, terus jadi apoteker. Kalo seni itu,
nggak menjamin masa depan. Kamu mau jadi apa?”
“Kan yang kuliah aku, kalo ayah yang nentuin
jurusannya, ayah mau aku kuliah tujuh tahun nggak lulus-lulus? Aku tuh pengen
punya nilai yang bagus, dan jadi nomor satu di sekolah. Tapi nggak di sekolah
aku yang sekarang, karna passion aku bukan di fisika, kimia, bahasa inggris,
ataupun bahasa jerman. Aku tau, passion aku ada di dunia gambar, jadi aku
pengen masuk arsitektur interior UI, terus jadi yang nomor satu disana. Kalo ayah
nggak ngebolehin, berarti ayah udah ngerusak semua mimpi aku.”
“Ayah tuh pengen kamu tuh kaya anaknya
temen-temen ayah, yang nurut sama orang tua, mau diarahin, sampe sukses jadi
dokter. Ayah bingung, kenapa sih kamu nggak mau nurut. Sukanya semaunya
sendiri.”
“Oh, pantesan mama ninggalin ayah. Ayah bukan
orang tua yang baik. Harusnya, orang tua itu dukung bakat anak, bukan malah
menghalangi anak untuk lebih berkembang. Aku nyesel tinggal disini. Terserah ayah,
aku nggak mau denger omongan ayah.”
Kukunci pintu kamar rapat-rapat. Lagu Avenged
Sevenfold kuputar keras-keras. Kalau perlu, sampai seluruh kaca pecah. Bagiku,
ini sangatlah menenangkan. Aku tak peduli apapun ocehan yang keluar dari mulut ayah.
Bagiku, dia hanyalah penghalang masa depan. Tak lebih.
Tak kusangka, begitu cepat efek dari music
rock dalam menghipnotis orang yang terpuruk. Kelopak mataku perlahan menutup,
melepas semua penat yang menyiksa. Aku bahkan lupa bagaimana rasanya hidup
tentram tanpa masalah barang sehari. Sayangnya hidupku memang tak pernah
tentram.
00.47
Aku terlelap. Pikiran bawah sadarku penuh akan
kegelapan. Lalu bayang-bayang mimpi mulai bermunculan. Aku tenggelam dalam gelap.
Sampai ketika aku menyaksikan sebuah masa. Masa disaat aku pertama kali melihat
hantu, ketika aku masih dalam timangan mama. Aku menagis dan menangis tanpa
henti. Lalu ketika aku balita, dengan bodohnya, aku menganggap mereka teman.
Tapi ketika di usiaku yang kelima sampai tujuh, aku mulai mengerti siapa
mereka. Aku menjerit dimanapun aku berada. Aku merasa takut pada apapun. Sejak
itu, semua orang takut padaku. Mereka menjauh. Bahkan sampai saat ini. Saat
dimana aku menganggap para hantu sebagai makhluk biasa yang tak perlu
kupedulikan. Dan orang-orang tetap menjauh.
Muncul juga, ingatan ketika aku tiba-tiba
bisa menggambar realist di usia lima belas. Aku menggambar hantu-hantu dan
tempat-tempat yang seharusnya tak ada. banyak orang menganggap lukisan
monochrome yang kubuat berasal dari imajinasiku yang seluas jagad raya. Tapi
tidak. Semua itu ralita.
Slide-slide mimpiku berganti dengan cepatnya.
Kini aku melihat beberapa mimpiku yang muncul jadi nyata. Ketika aku
benar-benar bisa mengendarai sepeda, ketika handphoneku hilang, ketika Zain
sakit, dan akhirnya sampai pada kematian Renata. Semua ada dalam mimpi dan
realita.
Bayangan-bayangan memori dalam mimpi barusan,
nampak lebih me-ngerikan dari aslinya. Aku berlari tanpa menengok ke belakang.
Aku terus berlari tanpa menyadari apa yang aku hadapi. Aku terjatuh dalam
sebuah lubang. Kemudian aku sadar dari mimpi yang panjang, tapi semuanya gelap.
Mendadak, sesuatu terasa seperti menekan organ-organku. Meringkuk kesakitan,
aku tak bisa bernapas. Tak pula bisa bicara sekadar untuk berteriak tolong.
Cairan merah lantas berhamburan keluar dari mulut, hidung, mata dan telingaku.
Seolah tiap sel-sel darah merah dalam tubuhku pecah tak terkendali. Aku
terkapar.
Saat ini aku masih setengah sadar. Hingga aku
menyadari bahwa aku ke-sulitan bernapas. Dadaku sesak. Rasanya seperti
paru-paruku diikat dengan tambang oleh orang tanpa belas kasih. Sulit sekali
menahan rasa sakit yang menyiksa ini. Bahkan untuk berbicara demi memohon
bantuan ayah pun terasa berat. Rasa sakit ini susah payah kutahan hingga air
mataku menitih. Aku tak bisa bicara. Tak sanggup. Tingkahku bahkan tak mampu
membuat Ussie bergerak.
Perlahan, semua mulai terlihat. Samar, namun
pasti.
Aku menggerang. Kini rasa sakit itu bukan
hanya di dada, tapi juga leher. Leherku mendadak terasa seperti dicekik. Tangan
dan kakiku meronta-ronta seolah berharap semua ini segera berakhir. Napasku
kian tercekat. Tolonglah, aku ingin semua rasa sakit ini segera berakhir. Sekilas,
aku melihat Ussie terbangun dengan wajah panik. Sorot matanya jelas sekali
menceritakan kebingungan yang menghantui kepalanya. Ia menghampiriku dengan
hujanan pertanyaan. Sayang, aku tak bisa
menjawab. Selain karena rahangku kelu, aku sendiri juga tak tahu apa yang
terjadi padaku. Aku yang hanya bisa terkapar di atas tempat tidur, memandangi
langkah-langkah kecilnya meninggalkan kamar. Aku tahu, pastilah ia mencari
Ayah. Kakiku rasanya belum lelah menendang-nendang, namun aku pasrah. Pasrah
pada apa yang akan terjadi padaku. Dan semua kembali gelap.
Tidak. Aku pasti bisa bertahan. Apapun yang
terjadi, aku harus tetap terjaga untuk tahu apa pastinya yang sedang kuhadapi.
Otakku yang setengah sadar, memaksakan sepasang kelopak mataku agar tak menutup.
Lamat-lamat, mataku menangkap sesuatu yang
sebelumnya tak terlihat. Kini aku tahu apa yang mencekik dan melilit tubuhku
sedari tadi.
Terlihatlah wujud seorang makhluk besar,
tingginya sekitar dua meter, atau mungkin lebih. Kulitnya putih kebiruan,
seperti tak ada darah mengalir di dalamnya. Beragam macam tato berbentuk simbol-simbol
aneh, menghiasi sebagian besar tubuhnya yang hanya berbalut celana hitam penuh
cabik seatas lutut. Bukan hanya tato, ratusan luka sayat bertebaran di penjuru
tubuh dan sayapnya. Ia menatapku dengan mata bagai iblis dengan warna keemasan
yang menyala-nyala bak api yang siap membakar siapapun yang menatapnya.
Telinganya runcing, dan kepalanya tak dilengkapi mahkota kepala barang
sebatang. Seringai senyumnya, jelas sekali membingkai gigi-gigi runcing dengan taring
mencuat, menceritakan betapa menyakitkannya pabila ujung gigi itu menyentuh
epidermis kulit. Ia memiliki sepasang sayap sewarna dengan kulitnya. Sayap yang
serupa dengan kelelawar, dilengkapi sebuah cakar besar di tiap ujung tulangnya.
Cakar itu lebih mirip pengait yang terbuat entah dari apa. Untunglah ia tak
merentangkan sayapnya, kalau saja sebaliknya, tak terbayang serusak apa kamarku
nanti.
Ia berdiri tegap di ujung sisi tempat tidurku.
Tangannya bersidekap, me-nyembunyikan buku-buku jarinya yang panjang dan
ramping. Yap, memang bukan tangan kekarnya yang mencekikku, tapi dua dari
sekian banyak rantai yang melilit di tubuh besar nan pucatnya. Rantai-rantai
itu bergerak dengan sendirinya tanpa tersentuh tangan. Melilit apapun yang
diinginkan. Zenith kah ia? Sial, aku lupa bertanya pada Rafiq seperti apa
Zenith sebenarnya.
“Sudah siapkah untuk mati, gadis bodoh? Maaf
kalau aku tidak sopan, per-kenalkan, aku Zenith.” Ia berseru, menatap senang
kearahku yang meronta dan merintih tanpa henti. Perlahan, aku merasa sakit luar
biasa. Perlahan, aku melihat tubuhku melemah, diam, tenang tak berdaya.
Peralahan, aku, ruhku, terlepas dari tubuhku dalam kondisi terikat oleh rantai
maut. Ruhku ditarik. Hantu menyeramkan itu merentangkan sayapnya. Yang patut
kusyukuri adalah, ia seorang hantu. Selebar apapun sayap yang ia miliki, tak
akan merusak kamarku.
‘Brak!’ Ayah datang membuka pintu diiringi
Ussie di belakangnya. Mereka menghampiri tubuh seorang gadis yang terbujur
kaku. Tempat tidur yang berantakan, seolah menceritakan perjuangannya menahan
derita. Ingin rasanya aku menghampiri Ayah, meyakinkannya dengan cara apapun
bahwa aku pasti kembali.
“Lihatlah mereka untuk terakhir kalinya.”
Zenith kembali berkata. Kini aku dapat dengan jelas menatap matanya. Aaarrgh,
rasanya panas. Mata itu rupanya memang mampu membakar ruh siapa saja yang
menatapnya. Aku lantas teringat akan keluarga kecilku. Mataku kupalingkan dari sorot
membara, pada sorot haru. Ayah mengoyak-oyak tubuhku yang tak lagi bernyawa.
Lamat-lamat, terdengar ia berniat membawa jasadku ke rumah sakit, berharap
dengan itu aku dapat kembali sadar.
Selintas, aku sadar, lidahku mulai dapat
digerakkan. Aku berusaha mengejar mereka, “Ayaaah, aku belum mati! Aku belum
matii!” Percuma. Sekeras apapun aku berteriak, tak ada satu orang pun yang
mendengar. Dan keputusanku untuk mengejar mereka dalam lilitan rantai, adalah
langkah yang salah besar. Zenith menambah jumlah rantai yang membelenggu
tubuhku hingga aku tak bisa bergerak sedikitpun. Kini, ia tak hanya
merentangkan sayapnya, tapi benar-benar terbang. Sungguh, ini kali pertama aku
terbang, meski harus dalam kondisi terbelenggu puluhan rantai. Entah kemana
tujuannya. Aku tak tahu pasti. Semua terlihat semakin mengecil. Menjauh.
Sekarang, aku tahu kemana tujuan Zenith. Mungkin, sebuah tempat, tempat
tergelap yang pernah ada. Yap, mungkin.
Subscribe to:
Comments (Atom)

