Friday, 26 June 2015

Darkness in Me Part 4


Atmosfer hidup seorang aku, terasa begitu hambar. Mungkin karena aku belum terbiasa hidup tanpa ibu. Aku hanya terbiasa hidup tanpa teman. Tapi kali ini, aku benar benar sendiri. Lisa, Tirta, Fariz, ataupun Linan, hanyalah kursi kosong belaka. Jangankan manusia, Rafiq, satu-satunya hantu yang tidak menakut-nakuti atau mengerjaiku, detik ini hanyalah angin lalu. Masih bergema di telingaku, kata-kata terakhirnya,’hati-hati’.
Jauh, namun pasti, percakapan dua orang yang memiliki kesamaan denganku, tertangkap sangat jelas oleh telingaku yang caplang sebelah. Tiwi dan Rissa. Mereka bicara, seolah tak tahu sedikit pun perasaan seorang manusia berjaket hitam.
“Wi, minggu depan kan anak TN bakal cuti. Akhirnya gua bakal ketemu sama dia lagi.” Rissa memulai pembicaraan.
“Udah tau, semalem kan gua telponan sama dia.”
“Asik daaah, yang sering ditelpon.” Rissa menimpali.
“Nggak sering kok. Paling dua atau tiga bulan sekali. Kan anak TN sibuk banget. Haduuu nggak sabar ketemu.”
“Gua sih ketemunya sama dia pas hari minggu, dua minggu abis dia cuti.”
“Lama amat dua minggu. Udah kangen kaliii.. Gua sih seminggu abis dia cuti. Lebih cepet kan lebih baik.”
Mereka tertawa. Mereka tertawa di atas penderitaan orang. Mereka tak mengerti, satu pun sms dan mentionku nggak ada yang dibalas si calon tentara brengsek. Padahal dia sering menelpon dan DM-an sama mantannya. Nasibku terlalu berbeda dengan mereka.
Aku berusaha menenangkan diri. Kaki yang terasa berat, melangkah ke tempat yang umum didatangi para perempuan yang berduka. Toilet. Setidaknya dengan mencuci muka, mampu menurunkan sedikit suhu kepalaku. Begitulah pikirku.
Pintu toilet kututup. Aku membuka hoodie jaket hitam kesayanganku, yang menelungkupi sebagian besar kepalaku hingga nyaris menutupi mataku yang berkaca-kaca.
Agak sulit bagiku untuk menenangkan diri. Aku mengenalnya selama lebih dari lima tahun, aku menunggu penuh kesabaran dalam jauhnya jarak membentang, aku diam penuh kebesaran hati berusaha merelakan ia dengan sahabat lamaku yang juga mantannya, aku berjalan penuh kepercayaan walau hari penuh harapan semu, aku, aku yang begitu berbaik hati melakukan semua itu ditengah keterpurukan takdir, hanya untukmu. Tapi kamu bertingkah seolah tak mengenalku. Seolah aku orang asing. Balasan yang sungguh tak adil.
Jutaan kali aku berusaha melupakanmu. Tapi hatiku serasa mencelos, setiap mendengar sepatah kata saja yang berhubungan denganmu. Semua percuma, hanya pelajaran, seni dan Tuhan yang mampu mengalihkan sedikit duniaku.
Sebulir air dari mataku, kuusap dengan jemari berkuku panjangku.
Aku sedang membasuh wajahku dengan segenggam air, ketika indera pendengaranku mendengar suara seseorang tercekat.
Aku berusaha secepat mungkin keluar dari toilet dan melihat keadaan seseorang di depan washtafel.
Namun semua terlambat. Letta tergeletak, terkapar tak bernyawa. Kondisinya mengenaskan. Tubuhnya kaku, kepalanya menengok ke atas, dengan mata terbelalak yang juga mengarah ke atas dan mulut menganga lebar.
Aku panik. Belum pernah sebelumnya aku melihat orang mati dengan kedua mataku. Aku tak tahu apa yang seharusnya kulakukan. Aku tak bisa mengendalikan rasa panik yang menggebu dalam dada. Aku hanya bisa teriak. “WOOY, SIAPAPUN, PLEASE KE TOILET SEKARANG! GUA BUTUH BANTUAN DISINI. LETTA MENINGGAL.” Kukerahkan segala kekuatan yang dimiliki pita suaraku. Aku tahu, tak akan ada satu orang pun yang datang. Mana mungkin ada yang percaya pada cewek yang dianggap gila satu sekolah, kalau ada seorang siswi yang kehilangan nyawanya.
Sayang aku tak bisa mengembalikan nyawanya walaupun aku memang benci padanya. Lututku kutekuk tepat di sebelahnya. Jemari senimanku kugerakkan guna menutup kelopak mata dan mulutnya.
“Ada apaan sih?” Aku kaget, Anggie datang membuka pintu tiba-tiba, lengkap dengan intonasi yang tinggi. Sekilas, terlihat Emma berdiri serta di belakangnya. “Diana, Letta kenapa? Dia pingsan? Emma, lo panggil guru deh, siapa aja!” Anggie melanjutkan.
Aku berdiri. Berusaha mengumpulkan tenaga sebesar mungkin agar lidahku mampu bergerak demi sebuah cerita. “Tadi, pas gua pipis, gua denger suara orang kaya tercekat karna dicekek gitu, pas gua keluar, gua liat dia udah tergeletak di lantai. Gua priksa idungnya, ternyata dia udah nggak nafas lagi. Dia meninggal.”
“Ya ampun, nggak, gua nggak percaya. Nggak mungkin Letta secepet itu meninggal. Tahun depan kita kan lulus, dan dia nggak bakal ada di graduation. Gila, gua nggak nyangka dia secepet itu nyusul Renata.” Anggie panik tingkat dewa-dewi. Dia terus mondar-mandir dan lantas mendekati jenazah Letta.
“Jangan sentuh. Kalo misalnya dia meninggal karena dibunuh, lo bakal masuk jadi salah satu tersangka.”
“Emangnya lo nggak liat, dia meninggal karena sakit, atau dibunuh?”
“Gua nggak liat sama sekali. Gua cuma denger suara dia kaya *mempraktikan suara orang dicekik*, abis itu, gua nggak denger ada suara orang keluar pintu. Seolah Letta di washtafel cuma sendiri. Tapi pas gua liat jenazahnya, kondisinya serem banget, nggak kaya yang sekarang lo liat. Kepalanya nengok ke atas, matanya melotot dan ngeliat ke atas, mulutnya juga kebuka lebar banget. Seolah dia dicekek sama orang yang tinggi banget. Dan lo dateng pas gua lagi nutup mata dan mulutnya.”
“Berarti pelakunya cewek tinggi di angkatan kita.”
“Belom tentu, kan tadi udah gua bilang, gua nggak dengar suara orang keluar dari toilet ini. Suara orang melangkah pun nggak ada.”
“Apa jangan-jangan, elo pelakunya. Lo pasti pake ilmu hitam atau sihir. Akhir-akhir ini, gua denger lo makin sering ngomong sendiri, yaaah katanya sih sama hantu. Terus, ada juga kasus Bu Sulis, dan lo sering banget pake jaket item. Di toilet ini, siapa lagi yang bisa jadi tersangka kalo bukan elo. Lo ngelarang gua nyentuh dia, pasti biar trik lo nggak ketahuan kan? Lo setara sama iblis Diana, lo setara sama iblis!”
“KENA…”
“Ada apa ini?” Pak Daud datang dikawal Pak Rianto dan Pak Hafidz. Mereka bergerak begitu cepat. Pak Daud membawa Letta ke rumah sakit, Pak Rianto membawa berita pada kepala sekolah, dan Pak Hafidz membawa kami berdua ke ruang BK untuk dimintai keterangan. Aku hanya tak ingin diperlakukan seperti tersangka.
Dinginnya ruang BK serasa mencekit. Puluhan pertanyaan diajukan pada kami. Kata perkata dari mulut Anggie, mengocok perutku hingga aku serasa ingin muntah. Sedang aku hanya menjawab apa adanya, sesuai apa yang kutahu. Sayup-sayup terdengar suara speaker pengumuman yang mengumumkan berita duka cita. Karena ada satu lagi siswi yang meninggal, kegiatan belajar mengajar pun dipercepat, dan menimbulkan rasa cita beberapa kaum karena pulang lebih awal.
Selepas wawancara memuakkan, sekolah pada akhirnya mengambil keputusan. Berhubung hasil pemeriksaan rumah sakit kematian Letta disebabkan oleh sakit jantung mendadak atau penyakit aneh lainnya, kasus ini diserahkan sepenuhnya pada polisi. Penyakit, tapi melibatkan polisi? Jelas, semua ini karena keadaan Letta di saat terakhirnya yang bisa dibilang tidak wajar. Dan aku akan dipanggil lain waktu bila diperlukan. Setidaknya aku bisa sedikit merasa lega.
Polisi akan memulai penyelidikan begitu sekolah bubar.
ζΨξϖ
Ruang tamu ini menjadi saksi bisu betapa kerasnya usahaku menghibur diri. Cuma dengan menggambar, aku melupakan sedikit masalahku. Tiap gores yang kutorehkan, begitu bergairah. Tanganku rasanya seperti bergerak dengan sendirinya. Aku suka diriku ketika kudapati aku seperti demikian.
Aku berusaha, sedetail mungkin menghiasi kertas A3 dengan pulpen. Anehnya, aku selalu kebingungan tak percaya, kalau hasil karyaku adalah murni dari tanganku. Aku takjub dengan Tuhan, yang mampu menciptakan otak seni yang berkoordinasi dengan baik dengan saraf-saraf jemari panjangku. Mungkin terdengar aneh, kalau ada orang yang suka memuji diri sendiri, tapi begitulah aku.
Ketenangan nan syahdu, tiba-tiba porak poranda oleh penghalang masa depan. “Nggambar mulu, nggak ada gunanya buat masa depan. Sama sekali nggak bisa menunjang karier kamu kedepannya. Belajar! Kalo kamu masuk kuliah, yang diliat itu nilai kamu, bukan apa yang kamu gambar. Udahlah, nggak usah nggambar lagi. Hobi, ya hobi, jangan dijadiin profesi.”
“Kenapa sih yah, nggambar aja nggak boleh? masuk arsitektur interior juga nggak boleh. Terus bolehnya apa?”
“Ayah tuh maunya kamu belajar terus, biar bisa jadi dokter, minimal masuk farmasi, terus jadi apoteker. Kalo seni itu, nggak menjamin masa depan. Kamu mau jadi apa?”
“Kan yang kuliah aku, kalo ayah yang nentuin jurusannya, ayah mau aku kuliah tujuh tahun nggak lulus-lulus? Aku tuh pengen punya nilai yang bagus, dan jadi nomor satu di sekolah. Tapi nggak di sekolah aku yang sekarang, karna passion aku bukan di fisika, kimia, bahasa inggris, ataupun bahasa jerman. Aku tau, passion aku ada di dunia gambar, jadi aku pengen masuk arsitektur interior UI, terus jadi yang nomor satu disana. Kalo ayah nggak ngebolehin, berarti ayah udah ngerusak semua mimpi aku.”
“Ayah tuh pengen kamu tuh kaya anaknya temen-temen ayah, yang nurut sama orang tua, mau diarahin, sampe sukses jadi dokter. Ayah bingung, kenapa sih kamu nggak mau nurut. Sukanya semaunya sendiri.”
“Oh, pantesan mama ninggalin ayah. Ayah bukan orang tua yang baik. Harusnya, orang tua itu dukung bakat anak, bukan malah menghalangi anak untuk lebih berkembang. Aku nyesel tinggal disini. Terserah ayah, aku nggak mau denger omongan ayah.”
Kukunci pintu kamar rapat-rapat. Lagu Avenged Sevenfold kuputar keras-keras. Kalau perlu, sampai seluruh kaca pecah. Bagiku, ini sangatlah menenangkan. Aku tak peduli apapun ocehan yang keluar dari mulut ayah. Bagiku, dia hanyalah penghalang masa depan. Tak lebih.
Tak kusangka, begitu cepat efek dari music rock dalam menghipnotis orang yang terpuruk. Kelopak mataku perlahan menutup, melepas semua penat yang menyiksa. Aku bahkan lupa bagaimana rasanya hidup tentram tanpa masalah barang sehari. Sayangnya hidupku memang tak pernah tentram.
00.47
Aku terlelap. Pikiran bawah sadarku penuh akan kegelapan. Lalu bayang-bayang mimpi mulai bermunculan. Aku tenggelam dalam gelap. Sampai ketika aku menyaksikan sebuah masa. Masa disaat aku pertama kali melihat hantu, ketika aku masih dalam timangan mama. Aku menagis dan menangis tanpa henti. Lalu ketika aku balita, dengan bodohnya, aku menganggap mereka teman. Tapi ketika di usiaku yang kelima sampai tujuh, aku mulai mengerti siapa mereka. Aku menjerit dimanapun aku berada. Aku merasa takut pada apapun. Sejak itu, semua orang takut padaku. Mereka menjauh. Bahkan sampai saat ini. Saat dimana aku menganggap para hantu sebagai makhluk biasa yang tak perlu kupedulikan. Dan orang-orang tetap menjauh.
Muncul juga, ingatan ketika aku tiba-tiba bisa menggambar realist di usia lima belas. Aku menggambar hantu-hantu dan tempat-tempat yang seharusnya tak ada. banyak orang menganggap lukisan monochrome yang kubuat berasal dari imajinasiku yang seluas jagad raya. Tapi tidak. Semua itu ralita.
Slide-slide mimpiku berganti dengan cepatnya. Kini aku melihat beberapa mimpiku yang muncul jadi nyata. Ketika aku benar-benar bisa mengendarai sepeda, ketika handphoneku hilang, ketika Zain sakit, dan akhirnya sampai pada kematian Renata. Semua ada dalam mimpi dan realita.
Bayangan-bayangan memori dalam mimpi barusan, nampak lebih me-ngerikan dari aslinya. Aku berlari tanpa menengok ke belakang. Aku terus berlari tanpa menyadari apa yang aku hadapi. Aku terjatuh dalam sebuah lubang. Kemudian aku sadar dari mimpi yang panjang, tapi semuanya gelap. Mendadak, sesuatu terasa seperti menekan organ-organku. Meringkuk kesakitan, aku tak bisa bernapas. Tak pula bisa bicara sekadar untuk berteriak tolong. Cairan merah lantas berhamburan keluar dari mulut, hidung, mata dan telingaku. Seolah tiap sel-sel darah merah dalam tubuhku pecah tak terkendali. Aku terkapar.
Saat ini aku masih setengah sadar. Hingga aku menyadari bahwa aku ke-sulitan bernapas. Dadaku sesak. Rasanya seperti paru-paruku diikat dengan tambang oleh orang tanpa belas kasih. Sulit sekali menahan rasa sakit yang menyiksa ini. Bahkan untuk berbicara demi memohon bantuan ayah pun terasa berat. Rasa sakit ini susah payah kutahan hingga air mataku menitih. Aku tak bisa bicara. Tak sanggup. Tingkahku bahkan tak mampu membuat Ussie bergerak.
Perlahan, semua mulai terlihat. Samar, namun pasti.
Aku menggerang. Kini rasa sakit itu bukan hanya di dada, tapi juga leher. Leherku mendadak terasa seperti dicekik. Tangan dan kakiku meronta-ronta seolah berharap semua ini segera berakhir. Napasku kian tercekat. Tolonglah, aku ingin semua rasa sakit ini segera berakhir. Sekilas, aku melihat Ussie terbangun dengan wajah panik. Sorot matanya jelas sekali menceritakan kebingungan yang menghantui kepalanya. Ia menghampiriku dengan hujanan pertanyaan.  Sayang, aku tak bisa menjawab. Selain karena rahangku kelu, aku sendiri juga tak tahu apa yang terjadi padaku. Aku yang hanya bisa terkapar di atas tempat tidur, memandangi langkah-langkah kecilnya meninggalkan kamar. Aku tahu, pastilah ia mencari Ayah. Kakiku rasanya belum lelah menendang-nendang, namun aku pasrah. Pasrah pada apa yang akan terjadi padaku. Dan semua kembali gelap.
Tidak. Aku pasti bisa bertahan. Apapun yang terjadi, aku harus tetap terjaga untuk tahu apa pastinya yang sedang kuhadapi. Otakku yang setengah sadar, memaksakan sepasang kelopak mataku agar tak menutup.
Lamat-lamat, mataku menangkap sesuatu yang sebelumnya tak terlihat. Kini aku tahu apa yang mencekik dan melilit tubuhku sedari tadi.
Terlihatlah wujud seorang makhluk besar, tingginya sekitar dua meter, atau mungkin lebih. Kulitnya putih kebiruan, seperti tak ada darah mengalir di dalamnya. Beragam macam tato berbentuk simbol-simbol aneh, menghiasi sebagian besar tubuhnya yang hanya berbalut celana hitam penuh cabik seatas lutut. Bukan hanya tato, ratusan luka sayat bertebaran di penjuru tubuh dan sayapnya. Ia menatapku dengan mata bagai iblis dengan warna keemasan yang menyala-nyala bak api yang siap membakar siapapun yang menatapnya. Telinganya runcing, dan kepalanya tak dilengkapi mahkota kepala barang sebatang. Seringai senyumnya, jelas sekali membingkai gigi-gigi runcing dengan taring mencuat, menceritakan betapa menyakitkannya pabila ujung gigi itu menyentuh epidermis kulit. Ia memiliki sepasang sayap sewarna dengan kulitnya. Sayap yang serupa dengan kelelawar, dilengkapi sebuah cakar besar di tiap ujung tulangnya. Cakar itu lebih mirip pengait yang terbuat entah dari apa. Untunglah ia tak merentangkan sayapnya, kalau saja sebaliknya, tak terbayang serusak apa kamarku nanti.
Ia berdiri tegap di ujung sisi tempat tidurku. Tangannya bersidekap, me-nyembunyikan buku-buku jarinya yang panjang dan ramping. Yap, memang bukan tangan kekarnya yang mencekikku, tapi dua dari sekian banyak rantai yang melilit di tubuh besar nan pucatnya. Rantai-rantai itu bergerak dengan sendirinya tanpa tersentuh tangan. Melilit apapun yang diinginkan. Zenith kah ia? Sial, aku lupa bertanya pada Rafiq seperti apa Zenith sebenarnya.
“Sudah siapkah untuk mati, gadis bodoh? Maaf kalau aku tidak sopan, per-kenalkan, aku Zenith.” Ia berseru, menatap senang kearahku yang meronta dan merintih tanpa henti. Perlahan, aku merasa sakit luar biasa. Perlahan, aku melihat tubuhku melemah, diam, tenang tak berdaya. Peralahan, aku, ruhku, terlepas dari tubuhku dalam kondisi terikat oleh rantai maut. Ruhku ditarik. Hantu menyeramkan itu merentangkan sayapnya. Yang patut kusyukuri adalah, ia seorang hantu. Selebar apapun sayap yang ia miliki, tak akan merusak kamarku.
‘Brak!’ Ayah datang membuka pintu diiringi Ussie di belakangnya. Mereka menghampiri tubuh seorang gadis yang terbujur kaku. Tempat tidur yang berantakan, seolah menceritakan perjuangannya menahan derita. Ingin rasanya aku menghampiri Ayah, meyakinkannya dengan cara apapun bahwa aku pasti kembali.
“Lihatlah mereka untuk terakhir kalinya.” Zenith kembali berkata. Kini aku dapat dengan jelas menatap matanya. Aaarrgh, rasanya panas. Mata itu rupanya memang mampu membakar ruh siapa saja yang menatapnya. Aku lantas teringat akan keluarga kecilku. Mataku kupalingkan dari sorot membara, pada sorot haru. Ayah mengoyak-oyak tubuhku yang tak lagi bernyawa. Lamat-lamat, terdengar ia berniat membawa jasadku ke rumah sakit, berharap dengan itu aku dapat kembali sadar.
Selintas, aku sadar, lidahku mulai dapat digerakkan. Aku berusaha mengejar mereka, “Ayaaah, aku belum mati! Aku belum matii!” Percuma. Sekeras apapun aku berteriak, tak ada satu orang pun yang mendengar. Dan keputusanku untuk mengejar mereka dalam lilitan rantai, adalah langkah yang salah besar. Zenith menambah jumlah rantai yang membelenggu tubuhku hingga aku tak bisa bergerak sedikitpun. Kini, ia tak hanya merentangkan sayapnya, tapi benar-benar terbang. Sungguh, ini kali pertama aku terbang, meski harus dalam kondisi terbelenggu puluhan rantai. Entah kemana tujuannya. Aku tak tahu pasti. Semua terlihat semakin mengecil. Menjauh. Sekarang, aku tahu kemana tujuan Zenith. Mungkin, sebuah tempat, tempat tergelap yang pernah ada. Yap, mungkin.

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.