Friday, 26 June 2015

Darkness in Me Part 3


Malam ini, aku tak bisa tidur. Sayup-sayup, terdengar dengkur lembut adikku, Ussie, yang satu kamar denganku. Namun, selain suara lembut Ussie, terdengar pula suara yang menggelegar dari ruang tengah. Orang tuaku. Mereka kembali ribut.
Teriak demi teriakan yang yang mereka lontarkan, seolah memecah malam. Permasalahan dari keduanya adalah Ayah yang mencari perkara, dan mama yang bertindak berlebihan. Keduanya tak ada yang mau mengalah. Seolah tak ada kata damai. Hingga terlontar talak dari mulut ayah.
Aku tak mengerti, apa yang membuat ia begitu mudah mengucapkan kata itu. Tidakkah ia berpikir barang sedikit tentang kebaikan mama selama ini? Atau, mungkin mama sudah tak berarti lagi di matanya. Aku berharap semua ini cepat berakhir. Mata kucoba pejamkan, telinga kucoba tutup rapat-rapat. Tapi kesadaranku tak kunjung hilang. Seolah takdir menginginkan aku mengalami semua ini.  Takdir tak mengizinkan aku lari darinya. Lagi-lagi, aku benci takdirku.
ζΨξϖ
Pagi ini terasa lebih dingin dari biasanya. ­­Udara yang menusuk, ditambah suasana aneh seperti di tempat asing, menggerakkan naluri kelamku untuk meraih jaket hitam ber-hoodie seraya menyingkapkannya hingga menutupi sebagian besar kepalaku. Walaupun ini rumah, rasanya seperti tak di rumah. Larut dalam lamunan di ruang tamu, aku tak memedulikan perut yang meronta. Ocehan orang rumah pun tak kugubris. Jangankan ocehan orang rumah, hujanan pertanyaan dari beberapa hantu yang menghampiri pun tak kuhiraukan. Aku tak peduli pada siapapun.
Semua karena pernyataan Ayah yang sangat menyesal kudengar. “Hari ini katanya Mama mau pergi. Kamu ikut bapak aja, biar bisa sekolah.” Aku tak tahu jawaban apa yang cukup sopan untuk menanggapi kata-kata itu. Olah kata di pikiranku tak mungkin bisa disaring oleh lidah yang tak bertulang. Lebih baik aku diam ketimbang menanggung dosa karena menghina orang tua. Rasanya aku ingin waktu berlalu dengan cepatnya hingga malam kian berganti malam dan lekas berganti malam lagi.
Suasana sunyi di sekolah pun terasa semakin sunyi. Tubuhku tak punya tenaga untuk bergerak. Bahkan untuk menggambar pun tanganku enggan. Aku hanya meringkuk di atas meja ditemani beragam lagu yang berdendang dari earphone. Wajahku sedikitpun tak terlihat, tertutup hoodie hitam, menambah hawa negatif dalam diriku. Haruskah kuceritakan semua ini pada Farah? Entahlah, ia sudah terlalu banyak mendengar keluh kesahku dalam menjalani hidup.
Selain Farah, ada satu nama lagi yang terlintas dalam benakku. Zain. Lebih dari enam ratus kilo meter jarak membentang di antara kita. Dua setengah tahun hidup terpisah seperti ini, menjadikan jiwaku semakin kebal akan kesendirian. Aku mengerti. Betapa ia disibukkan oleh tugas dan pelajaran bagi seorang calon tentara. Itu sebab musabab aku tak pernah menelponnya barang sekali, lantaran takut mengganggu kesibukkannya.
“Zain, nggak sibuk, kan? Gua mau cerita.” Hhh, hanya itu yang bisa kukatakan.
Lima belas menit.
Setengah jam.
Tak ada balasan. Mungkin ia tak punya pulsa. Atau mungkin sedang sibuk dan tak ingin diganggu. Atau malah mungkin handphonenya sedang lowbat, atau dititipkan ke guru militernya. Perhatianku kini hanya tertuju pada android putih yang deringnya sangat kuharapkan, tak peduli seberapa penting ocehan-ocehan guru fisika.
Sebuah pesan tiba-tiba masuk. “Apa?” hanya satu kata. Singkat. Namun menyakitkan. Aku membalas, “gua boleh nelpon ngga? Soalnya kepanjangan kalo lewat sms. Gua males ngetiknya.” Males ngetik sebenarnya bukan satu-satunya alasan. Jujur, aku memang ingin mendengar suaranya. Tapi lagi-lagi jawaban tak kunjung datang. Mungkin baginya pertemanan kita selama lebih dari lima tahun ini tak berarti. Tak menutup kemungkinan bahwa ia menutup hatinya rapat-rapat padaku walau hanya menjadi teman. Walaupun tanpa ia sadari, selama lebih dari lima tahun pula aku menantinya penuh harap dengan jarak yang sedemikian jauhnya dan keseharian penuh harapan palsu. Tapi entah kenapa, aku tak bisa move on darinya. Ia terlalu sempurna.
Terkadang, aku bosan menunggu. Waktu istirahat kuhabiskan dengan menyandarkan diriku pada dinding setinggi dada di koridor, memandang lurus kebawah tanpa ada objek yang pasti, berharap Farah melihat dan menghampiri. Lama aku menunggu, Zain tak membalas. Farah pun tak nampak. Semua tak ada saat dibutuhkan.
“Lo kenapa?” Sial, bukan Zain atau Farah yang memperhatikanku, malah hantu cowok seumuranku yang tak dikenal. “Lo siapa? Hantu baru?”
“Nggak. Gua Rafiq. Dari sekolah sebelah. Jarang banget loh gua nemu cewek SMA yang bisa liat. Biasanya, yang bisa liat itu kakek-kakek dukun, atau ibu-ibu peramal. Lo lagi ada masalah?” Hantu itu ikut bergabung denganku di koridor ini. Ia berdiri tepat di sebelah kananku. Kalau boleh kutebak, ia mati karena tawuran. Itu kentara jelas sekali dari luka besar di kepalanya, yang sangat jarang ditemui dalam kasus lain selain tawuran.
Aku berbalik, menghadap jendela-jendela kelas yang membingkai beberapa kepala yang acuh atasku. “Gua Diana. Orang tua gua pisah rumah.” Aku berkata seraya menyingkapkan hoodie jaket yang menutupi sebagian besar kepalaku, agar aku bisa dengan jelas melihat seperti apa hantu yang sedang berhadapan denganku. Aku tentunya tak perlu repot-repot berjabat tangan dengannya. Sebenarnya ia cukup tampan dan agak kurus. Tapi tingginya agak kurang walaupun ia tetap lebih tinggi dariku.
“Sebenernya, itu bukan masalah. Banyak temen gua yang ngalamin hal yang jauh lebih parah dari lo. Eh, tapi lo nggapapa ngomong sama gua? Kalo lu dikira gila gimana?”
“Udah biasa. Di sekolah, gua emang disebut orang gila. Bahkan sohib dan gebetan gua pun ngga ada di saat gua butuh. Dan kehancuran gua, tambah parah karna kondisi rumah.” Sekilas, aku melihat Sera melihatku dengan tatapan sinis saat ia melangkah memasuki kelas. Aku berani taruhan, tak sampai hitungan kelima, ia akan menggunjingku dengan anak yang lain di kelas. Dan aku tak peduli akan hal itu.
“Lu LDR ya?”
Refleks, aku tersentak mendengarnya. “Kok tau?”
“Muka lu tampang LDR. Eh, kalo lu dikatain gila, gua boleh ngga ngehantuin yang bersangkutan?”
“Jangan deh. Nanti kalo rusuh, gua juga yang bakal kena. Gua masuk kelas ya.” Tangan kananku dengan ringannya melambai ke arahnya. Jujur, ia hantu yang menyenangkan.
Pelajaran biologi.
Pelajaran yang kusuka.
Dengan penghuni kelas yang kubenci.
Tanpa terlewat barang sedetik, Bu Sulis masuk lengkap dengan kacamata plus yang dikenakan diatas hidung dan buku catatan yang selalu di tangan.
Materi hari ini tentang mutasi. Ia menjelaskan begitu detail tentang beragam penyakit genetik yang diturunkan dari orang tua pada anaknya karena mutasi genetik. Mulai dari down sindrom, sindrom patau, turner, klinifelter, sindrom jacob, sindrom edward, dan ragam lainnya yang cukup mengerikan. Seperti biasa, setiap pelajaran biologi, Tirta menempati kursi kosong di sebelah kananku mengingat kata-kata Bu Sulis yang begitu cepat dan lembut.
Sera yang berada dua baris di sebelah kananku, tiba-tiba mengajukan pertanyaan pada Bu Sulis. “Bu, kalo gangguan jiwa, itu karena mutasi juga bukan?”
“Kalo yang kamu maksud gila, kayaknya enggak. Soalnya banyak penyakit yang gejalanya bikin penderitanya keliatan seperti orang gila. Misalnya skizofrenia, frustasi, atau stress. Biasanya dia bakal ngalamin halusinasi, dan ngga bisa ngebedain mana yang halusinasi, dan mana yang kenyataan. Tapi kalo orang kecapean, setengah sadar dari tidur, atau dalam keadaan mabuk, bisa juga ngalamin halusinasi.”
“Kalo suka ngomong sendiri, dan ngomongnya ngelantur, itu kenapa, Bu?”
“Banyak kemungkinannya. Bisa dia lagi belajar drama, dia punya imajinasi luas, atau emang dia lagi stress.”
“Berarti Diana gila dong, Bu?” Letta, orang yang sejak kelas sepuluh telah menjadi siswi yang paling kubenci, turut bergabung dalam klub Diana Haters.
“Waduu, parah banget, lu.” Sedang Tirta, nampak berusaha membesarkan hatiku, walaupun sebenarnya itu tak perlu.
‘Blam!’ pintu kelas tiba-tiba terbuka. Fariz berusaha berpikiran positif dengan mengira itu ulah temannya dari kelas tetangga yang iseng. Namun lain dengan pandanganku. Aku hanya bisa tertunduk. Tak ingin melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi rasa penasaranku kelewat menggebu. Dengan berani, aku akan menghadapi segala resiko yang kelak kudapat dalam hitungan menit.
Benar saja, tangan kanan Bu Sulis yang menggenggam spidol, mendadak menuliskan kalimat “Yang gila itu kalian. Dasar bego! Go FUCK yourself!!”
Ya Allah, aku berharap ini tak akan lebih buruk lagi. Mataku refleks memelototi dan memandang Rafiq sesinis mungkin.
“Tadi bukan ibu. Tangan ibu gerak sendiri.” Bu Sulis berusaha menjelaskan.
“Woy Diana, itu pasti kerjaan jin lu kan?” Letta kembali memulai. Kalau bukan karena di kelas, aku pasti sudah melempar sepatu ke arahnya sejak satu setengah tahun yang lalu.
“Lho, kok gua yang salah? Itu kan kerjaan hantu sekolah sebelah. Terserah kalianlah mau ngomong apa, gua capek. Bu, saya izin ya, mau ke UKS.” Dengan gesit, kuraih jaket hitamku, salim dengan guru biologiku tercinta, say goodbye ke Tirta, dan lekas meninggalkan Rafiq yang bersandar stay cool pada papan tulis. Beberapa kalimat dari warga kelas XII Alam 7, sedikit pun tak kugubris.
Tapi bukan ke UKS, aku malah ke kantin. Duduk menyeruput Good Day yang lengkap dengan bubble, parutan keju, parutan coklat dan sebutir oreo. Sendirian. Catat, sendirian. Tubuhku terus duduk dan mengaduk gelas, berharap ada orang lain yang iba akan kesendirianku dan lantas menghampiri. Tapi itu tak mungkin. Temanku saat ini hanyalah dendang riang dari Avril Lavigne dan jaket hitam yang secara tak langsung membantuku merasa tenang. Satu setengah jam aku membatu tanpa kegiatan, menunggu sekolah berakhir. Kesalahan terbesarku siang ini adalah pergi tanpa membawa sketch book dan pensil.
“Bro, maap ya soal tadi. Gimana pun juga, mereka harus tau kalo lo emang jujur.” Rafiq kembali menghampiri. Ia seperti tak punya rasa kapok. Kalau saja aku jadi dia, aku tak akan berani menghampiri atau mengganggu diriku untuk kesekian kalinya. Sayangnya, lisanku tak mampu kugerakkan untuk marah pada seorang hantu, membuat heboh seisi kantin, dan mencemari nama baikku semakin dalam.
“Nggak papa. Mau?” Iseng, kutawari hantu pejuang tawuran di hadapanku ini segelas minuman yang menjadi kawanku sejak tadi. Entah kenapa, segelintir senyum merekah di wajahku.
“Sebenernya, tujuan gua nemuin lo, gua mau ngasih tau lo banyak hal. Ini tentang satu kisah, yaaah terserah lo sih mau percaya atau enggak.”
“Tergantung. Coba aja cerita.”
“Lo pasti tau kan, hantu punya dunia yang lain? Dunianya sendiri. Lo juga pasti tau kan, mitos tentang reinkarnasi? Sebenernya, itu bukan mitos. Tiap hantu, punya pilihan untuk terus hidup bebas menjadi hantu, atau kembali menikmati kesenangan seperti manusia. Untuk bereinkarnasi, hantu perlu menempati raga dari jiwa pilihan. Hantu itu bakal memakan jiwa penghuni raga yang terpilih, lalu menjadikan raga tersebut tempat baru bagi ruh hantu itu untuk tinggal.”
“Terus, masalahnya apa? Lo kepengen bereinkarnasi, terus minta bantuan gua buat nyariin orang yang tepat buat jadi sasaran lo? Kalo gitu, gua ngga bisa bantu. Gua nggak ngerti sama dunia kalian.”
“Bukan, gua sama sekali nggak punya niat begitu. Sebenernya, nggak se-gampang itu untuk bereinkarnasi. Seorang hantu harus punya kenangan kuat dan alasan kuat buat reinkarnasi. Nggak cuma itu, seorang hantu juga harus ngelakuin beberapa pembunuhan sadis untuk memperkuat ruhnya. Itulah kenapa banyak hantu yang lebih memilih hidup damai dan bebas sebagai hantu, daripada kembali jadi manusia cuma demi masa lalu.”
“Waw, gua baru tau kalo reinkarnasi itu adalah ide gila. Emangnya, jiwa kaya apa yang disebut jiwa pilihan?”
“Jiwa yang sangat kuat, supaya bisa menambah kekuatan hantu yang ngincer. Tapi juga sekaligus jiwa yang sangat rapuh, supaya hantu yang ngincer bisa dengan gampangnya menguasai. Persis, kaya lo. Itudia, kenapa gua ceritain semua ini ke elo.”
“Gue?! Kuat dan rapuh? Dari sisi mananya? Siapa juga yang mau tinggal di diri gua yang jelek dan kurus?”
“Diana, gua ini hantu, gua tau banget, lo tuh punya aura yang unik. Dari situ, gua bisa liat, apa yang bikin lo disebut kuat dan rapuh. Lo, dari kecil, bahkan dari lo TK sampe sekarang, selalu jadi bahan bully. Bukan bully fisik, tapi mental. Lo selalu sendirian dari kecil. Nggak ada satupun orang yang mau temenan sama lo, kecuali dia tau seluk beluk lo. Lo juga selalu dapet tekanan dan masalah. Dari keluarga, temen, ataupun lingkungan sekitar. Mulai dari masalah nggak dibolehin nggambar sama bokap, masalah percintaan, masalah cita-cita yang dilarang, masalah pertemanan, masalah keuangan, gua tau lu punya banyak utang sampe ratusan ribu yang nggak bisa lo lunasin. Ditambah lagi, lo bisa liat kita para hantu, dan bisa liat masa depan lewat mimpi. Lo punya bakat. Banyak. Lo pinter matematika, lo pinter biologi, jago gambar, bahkan dosen seni rupa mungkin bisa kalah sama elo. Dan masih banyak lagi yang nggak mungkin gua sebutin satu-satu. Lo manusia yang lain.”
“Terus kenapa? Plis jangan mempersulit gue. Gue udah capek.”
“Ada satu orang hantu. Dia sangat-sangat ngincer jiwa dan raga lo. Dia nungguin lo dengan sabar sampe umur lo 17 tahun. Namanya Zenith. Tapi itu bukan nama aslinya. Setahu gua, ngga ada satu orang pun yang tau nama asli dia.”
“Tapi ulang tahun gua yang ke tujuh belas kan sebulan yang lalu. Tapi liat, sekarang gua baik-baik aja. Udahlah, nggak usah dipermasalahin. Gua nggak bakal kenapa-napa kok.”
“Sebenernya itu masalah berat, tapi ada masalah yang lebih berat lagi. Ketika Zenith berusaha merebut raga lo, jiwa lo bakal ada di dunia kita. Nah, di saat itu, lo harus berjuang mati-matian biar selamat. Soalnya, kita butuh lo buat jadi Dark Hunter. Kalo lo berhasil selamat dari Zenith dan jadi Dark Hunter, lo bakal bantuin gua dan para hantu lain, buat ngelawan Zenith dan kawanannya yang disebut the Murk Under the Moonlight. Dan kalo lo udah jadi Dark Hunter, jiwa lo bisa dengan gampangnya keluar-masuk badan lo, asalkan badan lo nggak dipindahin.”
“Terus, kenapa gua harus mau jadi Dark Hunter? Ini kan masalah kalian, gua nggak mau terikat sama kalian.”
“Sayangnya itu nggak mungkin. Kakek dari kakek nyokap lo, juga Dark Hunter, dia pejuang yang hebat. Dan entah sial, entah beruntung, lo dapet warisan banyak dari dia. Diana, lo harus bantuin kita dari Zenith dan kawanan Murk-nya. Kita udah susah payah bertahan ratusan tahun dalam siksaan. Lo harus bantu kita.”
Sekonyong-konyong, Rafiq mengulurkan tangannya ke arahku.  Aku sempat berusaha menghindar saat tahu kemana tujuan tangannya bergerak. Leherku. “Diamlah.” Kata perintahnya itu sukses membuatku diam, walau aku masih bergidik merasakan sentuhannya. Sentuhannya di leherku terasa dingin dan lembut. Lebih lembut daripada sehelai sutera. “Kau punya tanda seorang Dark Hunter. Diana, aku mohon bantuanmu.” Aku tahu apa yang ia bicarakan. Pasti tanda lahir berbentuk menyerupai lambang mobil mercy yang menghiasi leherku. Lidahku kelu. Aku tak tahu harus melontarkan kata apa. Hingga aku teringat segala masalah yang membelengguku. Aku tak mau menambah beban hidupku dengan memburu hantu-hantu keji.
“Gua kan udah bilang, selama sebulan ini, gua baik-baik aja. Dan gua nggak mau terikat sama kalian.”
“Terserah elo sih, gua udah ngasih peringatan, tawaran dan banyak hal mendasar yang mungkin bisa bantu lo di masa mendatang. Menurut beberapa ahli, Zenith nggak memulai aksinya bulan lalu supaya pergerakannya nggak terbaca Dark Hunter. Berarti, dia bisa mengancam lo kapan aja.”
“Kenapa lo baru ngasih tau gua sekarang? Kenapa lo nggak dateng sebelum gua tujuh belas tahun? Dan kenapa hantu lain nggak ada yang ngasih tau gue?”
“Selama ini gua cuma tau elo dari mulut kerabat gua, gua baru kenal elo hari ini. Sebenernya, hantu-hantu lain nggak ada yang berani deketin lo saking dahsyatnya aura lo. Semua hantu yang selama ini di deket lo, adalah Murk. Itu dia kenapa mereka selalu gangguin lo dan nggak pernah biarin lo tenang. Tapi lo nggak bisa nyentuh atau memusnahkan mereka, karena elo dan mereka beda. Lo cuma bisa liat dan denger mereka. Tapi khusus gua lain, gua bukan Murk, gua sengaja diutus Nadir, pemimpin gua, buat ngasih tau lo semuanya.”
“Okeh, makasih atas semuanya, tapi sekali lagi, gua nggak mau terikat sama kalian. Gua pergi dulu okay, daah..” aku berdiri. Melambaikan tangan seraya membuang mata dari Rafiq. Yap, kurasa pembicaraan ini memang sudah selesai.
Ketika aku berbalik, Farah berlari ke arahku. “Di, gua cariin lu kemana-mana, ternyata disini? Sori banget ya baru sempet dateng, baru nyalain hape.”
“Udah tau. Itu kan kebiasaan lo. Santai aja, gapapa kok. Temenin gua yuk ngambil tas di kelas. Tadi gua cabut biologi soalnya.”
“Kenapa?”
“Ntar lu juga tau.”
Aku membimbing Farah melangkah meninggalkan kantin. Lamat-lamat, terdengar Rafiq mengucapkan beberapa patah kata yang sepertinya merupakan kata-kata terakhir sekaligus perpisahan. “hati-hati” begitu katanya. Aku berusaha mengabaikannya dan kembali fokus pada Farah.
Kantin sekolahku sangat dekat dengan tangga. Dan kelasku, sangat dekat dengan tangga. Tak butuh waktu lama bagiku untuk sampai. Di kelas, masih ada beberapa orang yang berbincang entah tentang apa.
“Wiih, udah sembuh, Di? Eeeh Farah, kok lu mau sih deket-deket sama Diana, nggak takut ketularan?” kata-kata Gladys tersebut sebenarnya agak panas. Farah yang tak mengerti apa-apa, hanya diam dan menatapku kebingungan.
Aku sedang membereskan barang-barang ketika Anggie menimpali perkataan Gladys. “Paling Farah diterror sama hantu-hantunya Diana, makannya dia tunduk.” Hhh, ingin rasanya aku berteriak “SHUT THE FUCK OFF!!!” Tapi mulutku lebih memilih untuk diam. Pikiranku terlalu lelah untuk memerintahkan mulutku berteriak. Semua hal ini kian membuat garis hidupku bagai benang kusut yang tak diketahui ujungnya.
Farah penuh dengan tanda tanya. Sayangnya, satupun pertanyaannya tak ada yang kujawab. Aku pulang ke rumahnya untuk kesekian kali. Disanalah baru kutumpahkan masalah keluargaku. Ia tak bisa berkata-kata. Hhh, tak bisa kubayangkan bagaimana ekspresinya bila kuceritakan padanya semua konflik yang membuatku nyaris meledak. Terlebih, tentang berita dari Rafiq.

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.