Malam ini, aku tak bisa tidur. Sayup-sayup,
terdengar dengkur lembut adikku, Ussie, yang satu kamar denganku. Namun, selain
suara lembut Ussie, terdengar pula suara yang menggelegar dari ruang tengah.
Orang tuaku. Mereka kembali ribut.
Teriak demi teriakan yang yang mereka
lontarkan, seolah memecah malam. Permasalahan dari keduanya adalah Ayah yang
mencari perkara, dan mama yang bertindak berlebihan. Keduanya tak ada yang mau
mengalah. Seolah tak ada kata damai. Hingga terlontar talak dari mulut ayah.
Aku tak mengerti, apa yang membuat ia begitu
mudah mengucapkan kata itu. Tidakkah ia berpikir barang sedikit tentang
kebaikan mama selama ini? Atau, mungkin mama sudah tak berarti lagi di matanya.
Aku berharap semua ini cepat berakhir. Mata kucoba pejamkan, telinga kucoba
tutup rapat-rapat. Tapi kesadaranku tak kunjung hilang. Seolah takdir menginginkan
aku mengalami semua ini. Takdir tak
mengizinkan aku lari darinya. Lagi-lagi, aku benci takdirku.
ζΨξϖ
Pagi ini terasa lebih dingin dari biasanya. Udara
yang menusuk, ditambah suasana aneh seperti di tempat asing, menggerakkan
naluri kelamku untuk meraih jaket hitam ber-hoodie seraya menyingkapkannya
hingga menutupi sebagian besar kepalaku. Walaupun ini rumah, rasanya seperti
tak di rumah. Larut dalam lamunan di ruang tamu, aku tak memedulikan perut yang
meronta. Ocehan orang rumah pun tak kugubris. Jangankan ocehan orang rumah,
hujanan pertanyaan dari beberapa hantu yang menghampiri pun tak kuhiraukan. Aku
tak peduli pada siapapun.
Semua karena pernyataan Ayah yang sangat
menyesal kudengar. “Hari ini katanya Mama mau pergi. Kamu ikut bapak aja, biar
bisa sekolah.” Aku tak tahu jawaban apa yang cukup sopan untuk menanggapi
kata-kata itu. Olah kata di pikiranku tak mungkin bisa disaring oleh lidah yang
tak bertulang. Lebih baik aku diam ketimbang menanggung dosa karena menghina
orang tua. Rasanya aku ingin waktu berlalu dengan cepatnya hingga malam kian
berganti malam dan lekas berganti malam lagi.
Suasana sunyi di sekolah pun terasa semakin
sunyi. Tubuhku tak punya tenaga untuk bergerak. Bahkan untuk menggambar pun
tanganku enggan. Aku hanya meringkuk di atas meja ditemani beragam lagu yang
berdendang dari earphone. Wajahku sedikitpun tak terlihat, tertutup hoodie
hitam, menambah hawa negatif dalam diriku. Haruskah kuceritakan semua ini pada
Farah? Entahlah, ia sudah terlalu banyak mendengar keluh kesahku dalam
menjalani hidup.
Selain Farah, ada satu nama lagi yang
terlintas dalam benakku. Zain. Lebih dari enam ratus kilo meter jarak
membentang di antara kita. Dua setengah tahun hidup terpisah seperti ini,
menjadikan jiwaku semakin kebal akan kesendirian. Aku mengerti. Betapa ia
disibukkan oleh tugas dan pelajaran bagi seorang calon tentara. Itu sebab
musabab aku tak pernah menelponnya barang sekali, lantaran takut mengganggu
kesibukkannya.
“Zain, nggak sibuk, kan? Gua mau cerita.” Hhh,
hanya itu yang bisa kukatakan.
Lima belas menit.
Setengah jam.
Tak ada balasan. Mungkin ia tak punya pulsa.
Atau mungkin sedang sibuk dan tak ingin diganggu. Atau malah mungkin handphonenya
sedang lowbat, atau dititipkan ke guru militernya. Perhatianku kini hanya
tertuju pada android putih yang deringnya sangat kuharapkan, tak peduli
seberapa penting ocehan-ocehan guru fisika.
Sebuah pesan tiba-tiba masuk. “Apa?” hanya
satu kata. Singkat. Namun menyakitkan. Aku membalas, “gua boleh nelpon ngga?
Soalnya kepanjangan kalo lewat sms. Gua males ngetiknya.” Males ngetik
sebenarnya bukan satu-satunya alasan. Jujur, aku memang ingin mendengar
suaranya. Tapi lagi-lagi jawaban tak kunjung datang. Mungkin baginya pertemanan
kita selama lebih dari lima tahun ini tak berarti. Tak menutup kemungkinan
bahwa ia menutup hatinya rapat-rapat padaku walau hanya menjadi teman. Walaupun
tanpa ia sadari, selama lebih dari lima tahun pula aku menantinya penuh harap
dengan jarak yang sedemikian jauhnya dan keseharian penuh harapan palsu. Tapi
entah kenapa, aku tak bisa move on
darinya. Ia terlalu sempurna.
Terkadang, aku bosan menunggu. Waktu
istirahat kuhabiskan dengan menyandarkan diriku pada dinding setinggi dada di
koridor, memandang lurus kebawah tanpa ada objek yang pasti, berharap Farah
melihat dan menghampiri. Lama aku menunggu, Zain tak membalas. Farah pun tak
nampak. Semua tak ada saat dibutuhkan.
“Lo kenapa?” Sial, bukan Zain atau Farah yang
memperhatikanku, malah hantu cowok seumuranku yang tak dikenal. “Lo siapa?
Hantu baru?”
“Nggak. Gua Rafiq. Dari sekolah sebelah. Jarang
banget loh gua nemu cewek SMA yang bisa liat.
Biasanya, yang bisa liat itu kakek-kakek dukun, atau ibu-ibu peramal. Lo lagi
ada masalah?” Hantu itu ikut bergabung denganku di koridor ini. Ia berdiri
tepat di sebelah kananku. Kalau boleh kutebak, ia mati karena tawuran. Itu
kentara jelas sekali dari luka besar di kepalanya, yang sangat jarang ditemui dalam
kasus lain selain tawuran.
Aku berbalik, menghadap jendela-jendela kelas
yang membingkai beberapa kepala yang acuh atasku. “Gua Diana. Orang tua gua
pisah rumah.” Aku berkata seraya menyingkapkan hoodie jaket yang menutupi
sebagian besar kepalaku, agar aku bisa dengan jelas melihat seperti apa hantu
yang sedang berhadapan denganku. Aku tentunya tak perlu repot-repot berjabat
tangan dengannya. Sebenarnya ia cukup tampan dan agak kurus. Tapi tingginya
agak kurang walaupun ia tetap lebih tinggi dariku.
“Sebenernya, itu bukan masalah. Banyak temen
gua yang ngalamin hal yang jauh lebih parah dari lo. Eh, tapi lo nggapapa
ngomong sama gua? Kalo lu dikira gila gimana?”
“Udah biasa. Di sekolah, gua emang disebut
orang gila. Bahkan sohib dan gebetan gua pun ngga ada di saat gua butuh. Dan
kehancuran gua, tambah parah karna kondisi rumah.” Sekilas, aku melihat Sera
melihatku dengan tatapan sinis saat ia melangkah memasuki kelas. Aku berani
taruhan, tak sampai hitungan kelima, ia akan menggunjingku dengan anak yang lain
di kelas. Dan aku tak peduli akan hal itu.
“Lu LDR ya?”
Refleks, aku tersentak mendengarnya. “Kok
tau?”
“Muka lu tampang LDR. Eh, kalo lu dikatain
gila, gua boleh ngga ngehantuin yang bersangkutan?”
“Jangan deh. Nanti kalo rusuh, gua juga yang
bakal kena. Gua masuk kelas ya.” Tangan kananku dengan ringannya melambai ke
arahnya. Jujur, ia hantu yang menyenangkan.
Pelajaran biologi.
Pelajaran yang kusuka.
Dengan penghuni kelas yang kubenci.
Tanpa terlewat barang sedetik, Bu Sulis masuk
lengkap dengan kacamata plus yang dikenakan diatas hidung dan buku catatan yang
selalu di tangan.
Materi hari ini tentang mutasi. Ia
menjelaskan begitu detail tentang beragam penyakit genetik yang diturunkan dari
orang tua pada anaknya karena mutasi genetik. Mulai dari down sindrom, sindrom
patau, turner, klinifelter, sindrom jacob, sindrom edward, dan ragam lainnya
yang cukup mengerikan. Seperti biasa, setiap pelajaran biologi, Tirta menempati
kursi kosong di sebelah kananku mengingat kata-kata Bu Sulis yang begitu cepat
dan lembut.
Sera yang berada dua baris di sebelah kananku,
tiba-tiba mengajukan pertanyaan pada Bu Sulis. “Bu, kalo gangguan jiwa, itu
karena mutasi juga bukan?”
“Kalo yang kamu maksud gila, kayaknya enggak.
Soalnya banyak penyakit yang gejalanya bikin penderitanya keliatan seperti
orang gila. Misalnya skizofrenia, frustasi, atau stress. Biasanya dia bakal
ngalamin halusinasi, dan ngga bisa ngebedain mana yang halusinasi, dan mana
yang kenyataan. Tapi kalo orang kecapean, setengah sadar dari tidur, atau dalam
keadaan mabuk, bisa juga ngalamin halusinasi.”
“Kalo suka ngomong sendiri, dan ngomongnya
ngelantur, itu kenapa, Bu?”
“Banyak kemungkinannya. Bisa dia lagi belajar
drama, dia punya imajinasi luas, atau emang dia lagi stress.”
“Berarti Diana gila dong, Bu?” Letta, orang
yang sejak kelas sepuluh telah menjadi siswi yang paling kubenci, turut
bergabung dalam klub Diana Haters.
“Waduu, parah banget, lu.” Sedang Tirta, nampak
berusaha membesarkan hatiku, walaupun sebenarnya itu tak perlu.
‘Blam!’ pintu kelas tiba-tiba terbuka. Fariz
berusaha berpikiran positif dengan mengira itu ulah temannya dari kelas
tetangga yang iseng. Namun lain dengan pandanganku. Aku hanya bisa tertunduk.
Tak ingin melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi rasa penasaranku
kelewat menggebu. Dengan berani, aku akan menghadapi segala resiko yang kelak
kudapat dalam hitungan menit.
Benar saja, tangan kanan Bu Sulis yang
menggenggam spidol, mendadak menuliskan kalimat “Yang gila itu kalian. Dasar
bego! Go FUCK yourself!!”
Ya Allah, aku berharap ini tak akan lebih buruk
lagi. Mataku refleks memelototi dan memandang Rafiq sesinis mungkin.
“Tadi bukan ibu. Tangan ibu gerak sendiri.”
Bu Sulis berusaha menjelaskan.
“Woy Diana, itu pasti kerjaan jin lu kan?”
Letta kembali memulai. Kalau bukan karena di kelas, aku pasti sudah melempar
sepatu ke arahnya sejak satu setengah tahun yang lalu.
“Lho, kok gua yang salah? Itu kan kerjaan
hantu sekolah sebelah. Terserah kalianlah mau ngomong apa, gua capek. Bu, saya
izin ya, mau ke UKS.” Dengan gesit, kuraih jaket hitamku, salim dengan guru
biologiku tercinta, say goodbye ke
Tirta, dan lekas meninggalkan Rafiq yang bersandar stay cool pada papan tulis. Beberapa kalimat dari warga kelas XII Alam
7, sedikit pun tak kugubris.
Tapi bukan ke UKS, aku malah ke kantin. Duduk
menyeruput Good Day yang lengkap dengan bubble, parutan keju, parutan coklat
dan sebutir oreo. Sendirian. Catat, sendirian. Tubuhku terus duduk dan mengaduk
gelas, berharap ada orang lain yang iba akan kesendirianku dan lantas
menghampiri. Tapi itu tak mungkin. Temanku saat ini hanyalah dendang riang dari
Avril Lavigne dan jaket hitam yang secara tak langsung membantuku merasa
tenang. Satu setengah jam aku membatu tanpa kegiatan, menunggu sekolah
berakhir. Kesalahan terbesarku siang ini adalah pergi tanpa membawa sketch book
dan pensil.
“Bro, maap ya soal tadi. Gimana pun juga,
mereka harus tau kalo lo emang jujur.” Rafiq kembali menghampiri. Ia seperti
tak punya rasa kapok. Kalau saja aku jadi dia, aku tak akan berani menghampiri
atau mengganggu diriku untuk kesekian kalinya. Sayangnya, lisanku tak mampu
kugerakkan untuk marah pada seorang hantu, membuat heboh seisi kantin, dan
mencemari nama baikku semakin dalam.
“Nggak papa. Mau?” Iseng, kutawari hantu
pejuang tawuran di hadapanku ini segelas minuman yang menjadi kawanku sejak
tadi. Entah kenapa, segelintir senyum merekah di wajahku.
“Sebenernya, tujuan gua nemuin lo, gua mau
ngasih tau lo banyak hal. Ini tentang satu kisah, yaaah terserah lo sih mau percaya
atau enggak.”
“Tergantung. Coba aja cerita.”
“Lo pasti tau kan, hantu punya dunia yang
lain? Dunianya sendiri. Lo juga pasti tau kan, mitos tentang reinkarnasi?
Sebenernya, itu bukan mitos. Tiap hantu, punya pilihan untuk terus hidup bebas
menjadi hantu, atau kembali menikmati kesenangan seperti manusia. Untuk
bereinkarnasi, hantu perlu menempati raga dari jiwa pilihan. Hantu itu bakal
memakan jiwa penghuni raga yang terpilih, lalu menjadikan raga tersebut tempat
baru bagi ruh hantu itu untuk tinggal.”
“Terus, masalahnya apa? Lo kepengen
bereinkarnasi, terus minta bantuan gua buat nyariin orang yang tepat buat jadi
sasaran lo? Kalo gitu, gua ngga bisa bantu. Gua nggak ngerti sama dunia
kalian.”
“Bukan, gua sama sekali nggak punya niat
begitu. Sebenernya, nggak se-gampang itu untuk bereinkarnasi. Seorang hantu
harus punya kenangan kuat dan alasan kuat buat reinkarnasi. Nggak cuma itu,
seorang hantu juga harus ngelakuin beberapa pembunuhan sadis untuk memperkuat
ruhnya. Itulah kenapa banyak hantu yang lebih memilih hidup damai dan bebas sebagai
hantu, daripada kembali jadi manusia cuma demi masa lalu.”
“Waw, gua baru tau kalo reinkarnasi itu
adalah ide gila. Emangnya, jiwa kaya apa yang disebut jiwa pilihan?”
“Jiwa yang sangat kuat, supaya bisa menambah
kekuatan hantu yang ngincer. Tapi juga sekaligus jiwa yang sangat rapuh, supaya
hantu yang ngincer bisa dengan gampangnya menguasai. Persis, kaya lo. Itudia,
kenapa gua ceritain semua ini ke elo.”
“Gue?! Kuat dan rapuh? Dari sisi mananya?
Siapa juga yang mau tinggal di diri gua yang jelek dan kurus?”
“Diana, gua ini hantu, gua tau banget, lo tuh
punya aura yang unik. Dari situ, gua bisa liat, apa yang bikin lo disebut kuat
dan rapuh. Lo, dari kecil, bahkan dari lo TK sampe sekarang, selalu jadi bahan bully. Bukan bully fisik, tapi mental. Lo selalu sendirian dari kecil. Nggak ada
satupun orang yang mau temenan sama lo, kecuali dia tau seluk beluk lo. Lo juga
selalu dapet tekanan dan masalah. Dari keluarga, temen, ataupun lingkungan
sekitar. Mulai dari masalah nggak dibolehin nggambar sama bokap, masalah
percintaan, masalah cita-cita yang dilarang, masalah pertemanan, masalah
keuangan, gua tau lu punya banyak utang sampe ratusan ribu yang nggak bisa lo
lunasin. Ditambah lagi, lo bisa liat kita para hantu, dan bisa liat masa depan
lewat mimpi. Lo punya bakat. Banyak. Lo pinter matematika, lo pinter biologi,
jago gambar, bahkan dosen seni rupa mungkin bisa kalah sama elo. Dan masih
banyak lagi yang nggak mungkin gua sebutin satu-satu. Lo manusia yang lain.”
“Terus kenapa? Plis jangan mempersulit gue. Gue
udah capek.”
“Ada satu orang hantu. Dia sangat-sangat
ngincer jiwa dan raga lo. Dia nungguin lo dengan sabar sampe umur lo 17 tahun.
Namanya Zenith. Tapi itu bukan nama aslinya. Setahu gua, ngga ada satu orang
pun yang tau nama asli dia.”
“Tapi ulang tahun gua yang ke tujuh belas kan
sebulan yang lalu. Tapi liat, sekarang gua baik-baik aja. Udahlah, nggak usah
dipermasalahin. Gua nggak bakal kenapa-napa kok.”
“Sebenernya itu masalah berat, tapi ada
masalah yang lebih berat lagi. Ketika Zenith berusaha merebut raga lo, jiwa lo
bakal ada di dunia kita. Nah, di saat itu, lo harus berjuang mati-matian biar
selamat. Soalnya, kita butuh lo buat jadi Dark Hunter. Kalo lo berhasil selamat
dari Zenith dan jadi Dark Hunter, lo bakal bantuin gua dan para hantu lain,
buat ngelawan Zenith dan kawanannya yang disebut the Murk Under the Moonlight. Dan kalo lo udah jadi Dark Hunter,
jiwa lo bisa dengan gampangnya keluar-masuk badan lo, asalkan badan lo nggak
dipindahin.”
“Terus, kenapa gua harus mau jadi Dark
Hunter? Ini kan masalah kalian, gua nggak mau terikat sama kalian.”
“Sayangnya itu nggak mungkin. Kakek dari
kakek nyokap lo, juga Dark Hunter, dia pejuang yang hebat. Dan entah sial,
entah beruntung, lo dapet warisan banyak dari dia. Diana, lo harus bantuin kita
dari Zenith dan kawanan Murk-nya. Kita udah susah payah bertahan ratusan tahun
dalam siksaan. Lo harus bantu kita.”
Sekonyong-konyong, Rafiq mengulurkan
tangannya ke arahku. Aku sempat berusaha
menghindar saat tahu kemana tujuan tangannya bergerak. Leherku. “Diamlah.” Kata
perintahnya itu sukses membuatku diam, walau aku masih bergidik merasakan
sentuhannya. Sentuhannya di leherku terasa dingin dan lembut. Lebih lembut
daripada sehelai sutera. “Kau punya tanda seorang Dark Hunter. Diana, aku mohon
bantuanmu.” Aku tahu apa yang ia bicarakan. Pasti tanda lahir berbentuk
menyerupai lambang mobil mercy yang
menghiasi leherku. Lidahku kelu. Aku tak tahu harus melontarkan kata apa.
Hingga aku teringat segala masalah yang membelengguku. Aku tak mau menambah
beban hidupku dengan memburu hantu-hantu keji.
“Gua kan udah bilang, selama sebulan ini, gua
baik-baik aja. Dan gua nggak mau terikat sama kalian.”
“Terserah elo sih, gua udah ngasih
peringatan, tawaran dan banyak hal mendasar yang mungkin bisa bantu lo di masa
mendatang. Menurut beberapa ahli, Zenith nggak memulai aksinya bulan lalu
supaya pergerakannya nggak terbaca Dark Hunter. Berarti, dia bisa mengancam lo
kapan aja.”
“Kenapa lo baru ngasih tau gua sekarang?
Kenapa lo nggak dateng sebelum gua tujuh belas tahun? Dan kenapa hantu lain
nggak ada yang ngasih tau gue?”
“Selama ini gua cuma tau elo dari mulut
kerabat gua, gua baru kenal elo hari ini. Sebenernya, hantu-hantu lain nggak
ada yang berani deketin lo saking dahsyatnya aura lo. Semua hantu yang selama
ini di deket lo, adalah Murk. Itu dia kenapa mereka selalu gangguin lo dan
nggak pernah biarin lo tenang. Tapi lo nggak bisa nyentuh atau memusnahkan
mereka, karena elo dan mereka beda. Lo cuma bisa liat dan denger mereka. Tapi
khusus gua lain, gua bukan Murk, gua sengaja diutus Nadir, pemimpin gua, buat
ngasih tau lo semuanya.”
“Okeh, makasih atas semuanya, tapi sekali
lagi, gua nggak mau terikat sama kalian. Gua pergi dulu okay, daah..” aku
berdiri. Melambaikan tangan seraya membuang mata dari Rafiq. Yap, kurasa
pembicaraan ini memang sudah selesai.
Ketika aku berbalik, Farah berlari ke arahku.
“Di, gua cariin lu kemana-mana, ternyata disini? Sori banget ya baru sempet
dateng, baru nyalain hape.”
“Udah tau. Itu kan kebiasaan lo. Santai aja,
gapapa kok. Temenin gua yuk ngambil tas di kelas. Tadi gua cabut biologi
soalnya.”
“Kenapa?”
“Ntar lu juga tau.”
Aku membimbing Farah melangkah meninggalkan
kantin. Lamat-lamat, terdengar Rafiq mengucapkan beberapa patah kata yang
sepertinya merupakan kata-kata terakhir sekaligus perpisahan. “hati-hati”
begitu katanya. Aku berusaha mengabaikannya dan kembali fokus pada Farah.
Kantin sekolahku sangat dekat dengan tangga.
Dan kelasku, sangat dekat dengan tangga. Tak butuh waktu lama bagiku untuk
sampai. Di kelas, masih ada beberapa orang yang berbincang entah tentang apa.
“Wiih, udah sembuh, Di? Eeeh Farah, kok lu
mau sih deket-deket sama Diana, nggak takut ketularan?” kata-kata Gladys
tersebut sebenarnya agak panas. Farah yang tak mengerti apa-apa, hanya diam dan
menatapku kebingungan.
Aku sedang membereskan barang-barang ketika Anggie
menimpali perkataan Gladys. “Paling Farah diterror sama hantu-hantunya Diana,
makannya dia tunduk.” Hhh, ingin rasanya aku berteriak “SHUT THE FUCK OFF!!!” Tapi mulutku lebih memilih untuk diam. Pikiranku
terlalu lelah untuk memerintahkan mulutku berteriak. Semua hal ini kian membuat
garis hidupku bagai benang kusut yang tak diketahui ujungnya.
Farah penuh dengan tanda tanya. Sayangnya,
satupun pertanyaannya tak ada yang kujawab. Aku pulang ke rumahnya untuk
kesekian kali. Disanalah baru kutumpahkan masalah keluargaku. Ia tak bisa
berkata-kata. Hhh, tak bisa kubayangkan bagaimana ekspresinya bila kuceritakan
padanya semua konflik yang membuatku nyaris meledak. Terlebih, tentang berita
dari Rafiq.
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.