Yap, sudah kuduga. Yang kutakutkan pada
akhirnya muncul di hadapanku. Seorang wanita, terbang melayang seolah menuntun
aku dan ayahku ke pusara Renata. Di Tanah Kusir pun, banyak makhluk yang serupa
dengan wanita itu. Di antaranya, ada yang berbaju tentara, ada penambang yang penuh
darah, ada yang seperti pelajar, atau seperti wanita China yang melayang di
depanku barusan.
Sebanyak apapun yang aku tahu, aku hanya bisa
diam. Ayahku tentunya tak akan percaya petunjuk arah dari manusia buta jalan
sepertiku. Aku hanya bisa duduk tenang di atas kuda beroda dua tua milik ayah.
Sebenarnya tak sulit menemukan pusara Renata.
Tanah tempat ia berse-mayam, dinaungi oleh tenda hitam. Dari kejauhan, terlihat
orang-orang berseragam paskibraka, berkumpul di sekitar kayu nisan untuk
mengirimkan doa. Pandanganku beralih. Kini aku merasa shok untuk kedua kalinya.
Aku tak menyangka akan semudah itu menemukan Ibu dari Renata. Bagaimana tidak?
Ia sedang duduk disertai kerudung hitam, dengan mata yang begitu sembab. Dan
tanpa ia sadari, Renata beridiri di belakangnya dengan wajah tak kalah sedih.
Sayang tempat ini terlalu ramai. Andai sebaliknya, mungkin aku sudah
mewawancarai Renata tentang bagaimana rasanya mati. Aku hanya bisa mendoakan,
agar ia dijauhi dari siksa kubur dan siksa neraka. Juga agar Allah mau
membukakan pintu surga untuknya.
Awalnya, sedikit pun aku tak memiliki rasa
sedih, karena kita memang tidak akrab sebelumnya. Tapi, ketika diriku berdoa
tepat di sebelah pusaranya, dan kutatap ratusan bunga yang bertebaran disana,
air mataku refleks menitih tak tertahankan. Bagaimanapun, semua ini terlalu
tiba-tiba.
Selesai berdoa, aku berusaha menenangkan
sahabat Renata yang sampai detik ini masih terisak. Dan entah kenapa, aku
merasa déjà vu. Terutama ketika Nia cerita bahwa sebelum meninggal, Renata
berniat untuk memberikan bunga untuk temannya yang baru saja berulang tahun.
Aku merasa pernah mengalami kejadian ini sebelumnya. Entah dimana.
‘Tik’ sesaat, kurasakan sesuatu menitih di
atas punggung tanganku. Bukan dari air mataku. Tapi hujan gerimis. Seolah
langit pun turut bersedih atas kepergiannya.
ζΨξϖ
Untaian kata-kata yang mampu mencerminkan
perasaanku, adalah kata-kata yang mainstream,
tapi pada kenyataannya memang begitu adanya. Aku merasakan sunyi yang begitu
mendalam, ditengah keramaian kelas. Di kelas yang berisi tiga puluh orang ini,
aku merasa kehadiranku tak diharapkan. Bahkan tak ada yang mau duduk sebangku
denganku kecuali karena terpaksa. Lisa, ia duduk sebangku denganku karena tidak
tega akan kondisiku. Sedang Tirta, karena aku duduk di depan guru, ia mau
sebangku denganku agar lebih mengerti apa-apa yang disampaikan guru. Fariz, dia
kaum yang sama denganku. Kaum yang kesulitan mencari teman sebangku. Namun ia
begitu karena ia membawa ajaran yang sulit diterima kebanyakan orang.
Begitulah, aku hanya ditemani Avril Lavigne
yang berdendang di telinga, dan seperangkat alat menggambar berupa sketch book
ukuran A5, juga beberapa pensil dari berbagai macam ketebalan mulai dari HB,
sampai 8B, pensil warna hitam, dan sebuah drawing pen 0,2. Biasanya, objek yang
kugambar adalah Avril Lavigne, Emma Watson, Farah, burung elang, atau singa. Kali
ini, aku menggambar anak singa yang sedang menyendiri dari kelompoknya. Ia
punya perbedaan. Namun ia tak mengerti, apakah perbedaan yang ia miliki adalah
anugerah, atau malah kutukan.
“Wah, gambar lo bagus. Ajarin dong..” Sontak,
jantungku serasa mau loncat keluar dari mulutku, melihat siapa yang berbicara.
Seorang gadis SMA transparan, tiba-tiba duduk di sebelahku dan terus-terusan
menatapku dengan tatapan kosong.
Aku berusaha tenang. Berusaha menghipnotis
diri dengan sugesti bahwa barusan tidak terjadi apa-apa. Tapi terlambat, beberapa
murid yang lain, mulai kembali menganggapku aneh. Itulah sebab mereka
menjauhiku. Mereka tak dapat melihat apa yang kulihat, sedang gadis itu masih
menatapku. Aku tak mengerti apa tujuannya. Kualihkan pandanganku dengan kembali
menggoreskan pensil di atas kertas. Tapi, saraf optikku kembali terganggu.
Ujung pensilku tiba-tiba meneteskan darah. Darah yang hanya setetes itu,
langsung menyebar begitu saja hingga nyaris memenuhi kertas. Tak
tanggung-tanggung, seekor kelabang, kini keluar dari gambarku seraya mengitari
sketch book milikku.
Mendadak saja kepalaku sakit. Meyugesti diri
sendiri kini menjadi sulit bagiku. Aku lelah dengan semua yang bisa kulihat.
Entah ini sebuah anugerah, atau kutukan. Aku tak mengerti. Haruskah aku
bersyukur dengan apa yang kupunya?
Lantas kakiku yang panjang, melangkah
meninggalkan kelas, tanpa tujuan pasti.
“Lu kenapa, Di? Kok gambarnya ditinggal?”
Kepalaku tak sempat memikirkan jawaban yang
logis. Pertanyaan yang dilontarkan Vina, refleks saja kujawab, “Kertasnya
kotor. Ada darah sama kelabangnya. Gua mau ke kelas Farah.”
Vina dan teman sebangkunya, hanya menatapku
kebingungan. Semua orang menganggap aku gila, freak, aneh, dan lain sejenisnya.
Terutama ketika aku di masa kecil. Aku yang pada saat itu menjadi bulan-bulanan
sasaran bullying, hanya bisa pasrah.
Bahkan keluargaku pun seolah mau tak mau menerimaku. Terutama Ayah. Bahkan
Farah, dibalik semua kebaikannnya, aku tahu, sebenarnya ia percaya tak percaya
padaku. Entahlah, aku sendiri heran, kenapa aku harus dilahirkan?!
Masa bodoh dengan orang-orang di kelas. Toh,
aku masih bisa hidup tanpa mereka. Sejak kecil, aku sudah terdidik menjadi
gadis yang hidup sendirian. Melalui hari semacam ini hingga lulus SMA tahun
depan, rasanya bukanlah hal sulit bagiku.
Sampai sekolah berakhir, aku hanya menjalani
hari dengan sunyi. Bahkan seorang Fariz yang paling heboh di kelas, ikut diam
ketika berada di sebelahku. Ia dingin. Kaku. Seolah tertular aura negatif dalam
diriku.
Pulang sekolah, aku kembali harus menerima
kenyataan pahit bahwa Farah lebih memilih pulang dengan Mutia menunggangi kuda
merah beroda dua milik Farah. Lagi-lagi, aku sendirian menjadi penumpang dalam
bis orange-biru yang hanya dengan kunaiki sekali, langsung sampai di jalan
dekat rumahku. Aku duduk mengisi kursi kosong, tepat di kursi paling depan di
sebelah tuan supir. Kursi dengan penghuni yang tak saling kenal.
Sebenarnya aku ingin, sekali saja marah pada
Farah. Setiap hari aku ingin pulang dan mengisi jok motornya. Tapi Mutia selalu
mendahului. Di sisi lain, aku juga tak ingin memaksakan kehendakku pada Farah yang
notabene selalu rela repot begini-begitu karenaku.
Aku memandang lurus ke depan. Jalan raya yang
dipadati kendaraan me-rayap, menjadi makanan sehari-hari yang tak lagi tabu. Kira-kira
sekitar tujuh puluh lima persen jarak yang sudah ditempuh bis ini menuju
rumahku yang mungkin kucinta. Kini giliran Imagine
Dragon yang berdendang di kepalaku dengan Radioactive. Kalau bukan di bis, aku pasti sudah bergoyang
karenanya. Bis melaju dengan kencang. Yap, pasti si sopir sedang kejar setoran.
Tiba-tiba, dari sebelah kiri terlihat mobil Toyota Rush yang berusaha menyalip.
Sampai ketika, mobil itu tiba tepat di depan bis ini.
“Stop, stop, stop!!” keberadaan mobil itu tak
mampu mengurangi kecepatan dari bis kejar setoran ini. Tepat ketika bis
berhenti, si supir bertanya dengan nada agak kasar padaku.
“Ngapain sih, Dek? Mau turun?”
“Emang abang ngga liat ada mobil segede gitu berenti
di depan mata? Bukannya ngerem, malah makin kenceng.”
“Di depan kosong, Dek! Haduuh, anak jaman
sekarang, pasti abis ngedugem semalem.”
“Tadi ada mobil kok. Kalo nggak percaya,
tanya aja sama mas-mas di sebelah sa…” kosong! Disebelahku kosong. Aku muak
dengan semua ulah para hantu. “Kiri-kiri. Saya turun disini aja.” Derap
langkahku dipenuhi rasa kesal di tiap satuannya. Kenapa hanya aku?
Teman-temanku yang lain, sama sekali tak ada yang sama denganku. Aku ini apa?
Aku sangat benci dengan takdirku. Takdir yang sedikit pun tak berpihak padaku.
ζΨξϖ