Monday, 6 April 2015

Darkness in Me Part 2


Yap, sudah kuduga. Yang kutakutkan pada akhirnya muncul di hadapanku. Seorang wanita, terbang melayang seolah menuntun aku dan ayahku ke pusara Renata. Di Tanah Kusir pun, banyak makhluk yang serupa dengan wanita itu. Di antaranya, ada yang berbaju tentara, ada penambang yang penuh darah, ada yang seperti pelajar, atau seperti wanita China yang melayang di depanku barusan.
Sebanyak apapun yang aku tahu, aku hanya bisa diam. Ayahku tentunya tak akan percaya petunjuk arah dari manusia buta jalan sepertiku. Aku hanya bisa duduk tenang di atas kuda beroda dua tua milik ayah.
Sebenarnya tak sulit menemukan pusara Renata. Tanah tempat ia berse-mayam, dinaungi oleh tenda hitam. Dari kejauhan, terlihat orang-orang berseragam paskibraka, berkumpul di sekitar kayu nisan untuk mengirimkan doa. Pandanganku beralih. Kini aku merasa shok untuk kedua kalinya. Aku tak menyangka akan semudah itu menemukan Ibu dari Renata. Bagaimana tidak? Ia sedang duduk disertai kerudung hitam, dengan mata yang begitu sembab. Dan tanpa ia sadari, Renata beridiri di belakangnya dengan wajah tak kalah sedih. Sayang tempat ini terlalu ramai. Andai sebaliknya, mungkin aku sudah mewawancarai Renata tentang bagaimana rasanya mati. Aku hanya bisa mendoakan, agar ia dijauhi dari siksa kubur dan siksa neraka. Juga agar Allah mau membukakan pintu surga untuknya.
Awalnya, sedikit pun aku tak memiliki rasa sedih, karena kita memang tidak akrab sebelumnya. Tapi, ketika diriku berdoa tepat di sebelah pusaranya, dan kutatap ratusan bunga yang bertebaran disana, air mataku refleks menitih tak tertahankan. Bagaimanapun, semua ini terlalu tiba-tiba.
Selesai berdoa, aku berusaha menenangkan sahabat Renata yang sampai detik ini masih terisak. Dan entah kenapa, aku merasa déjà vu. Terutama ketika Nia cerita bahwa sebelum meninggal, Renata berniat untuk memberikan bunga untuk temannya yang baru saja berulang tahun. Aku merasa pernah mengalami kejadian ini sebelumnya. Entah dimana.
‘Tik’ sesaat, kurasakan sesuatu menitih di atas punggung tanganku. Bukan dari air mataku. Tapi hujan gerimis. Seolah langit pun turut bersedih atas kepergiannya.
ζΨξϖ
Untaian kata-kata yang mampu mencerminkan perasaanku, adalah kata-kata yang mainstream, tapi pada kenyataannya memang begitu adanya. Aku merasakan sunyi yang begitu mendalam, ditengah keramaian kelas. Di kelas yang berisi tiga puluh orang ini, aku merasa kehadiranku tak diharapkan. Bahkan tak ada yang mau duduk sebangku denganku kecuali karena terpaksa. Lisa, ia duduk sebangku denganku karena tidak tega akan kondisiku. Sedang Tirta, karena aku duduk di depan guru, ia mau sebangku denganku agar lebih mengerti apa-apa yang disampaikan guru. Fariz, dia kaum yang sama denganku. Kaum yang kesulitan mencari teman sebangku. Namun ia begitu karena ia membawa ajaran yang sulit diterima kebanyakan orang.
Begitulah, aku hanya ditemani Avril Lavigne yang berdendang di telinga, dan seperangkat alat menggambar berupa sketch book ukuran A5, juga beberapa pensil dari berbagai macam ketebalan mulai dari HB, sampai 8B, pensil warna hitam, dan sebuah drawing pen 0,2. Biasanya, objek yang kugambar adalah Avril Lavigne, Emma Watson, Farah, burung elang, atau singa. Kali ini, aku menggambar anak singa yang sedang menyendiri dari kelompoknya. Ia punya perbedaan. Namun ia tak mengerti, apakah perbedaan yang ia miliki adalah anugerah, atau malah kutukan.
“Wah, gambar lo bagus. Ajarin dong..” Sontak, jantungku serasa mau loncat keluar dari mulutku, melihat siapa yang berbicara. Seorang gadis SMA transparan, tiba-tiba duduk di sebelahku dan terus-terusan menatapku dengan tatapan kosong.
Aku berusaha tenang. Berusaha menghipnotis diri dengan sugesti bahwa barusan tidak terjadi apa-apa. Tapi terlambat, beberapa murid yang lain, mulai kembali menganggapku aneh. Itulah sebab mereka menjauhiku. Mereka tak dapat melihat apa yang kulihat, sedang gadis itu masih menatapku. Aku tak mengerti apa tujuannya. Kualihkan pandanganku dengan kembali menggoreskan pensil di atas kertas. Tapi, saraf optikku kembali terganggu. Ujung pensilku tiba-tiba meneteskan darah. Darah yang hanya setetes itu, langsung menyebar begitu saja hingga nyaris memenuhi kertas. Tak tanggung-tanggung, seekor kelabang, kini keluar dari gambarku seraya mengitari sketch book milikku.
Mendadak saja kepalaku sakit. Meyugesti diri sendiri kini menjadi sulit bagiku. Aku lelah dengan semua yang bisa kulihat. Entah ini sebuah anugerah, atau kutukan. Aku tak mengerti. Haruskah aku bersyukur dengan apa yang kupunya?
Lantas kakiku yang panjang, melangkah meninggalkan kelas, tanpa tujuan pasti.
“Lu kenapa, Di? Kok gambarnya ditinggal?”
Kepalaku tak sempat memikirkan jawaban yang logis. Pertanyaan yang dilontarkan Vina, refleks saja kujawab, “Kertasnya kotor. Ada darah sama kelabangnya. Gua mau ke kelas Farah.”
Vina dan teman sebangkunya, hanya menatapku kebingungan. Semua orang menganggap aku gila, freak, aneh, dan lain sejenisnya. Terutama ketika aku di masa kecil. Aku yang pada saat itu menjadi bulan-bulanan sasaran bullying, hanya bisa pasrah. Bahkan keluargaku pun seolah mau tak mau menerimaku. Terutama Ayah. Bahkan Farah, dibalik semua kebaikannnya, aku tahu, sebenarnya ia percaya tak percaya padaku. Entahlah, aku sendiri heran, kenapa aku harus dilahirkan?!
Masa bodoh dengan orang-orang di kelas. Toh, aku masih bisa hidup tanpa mereka. Sejak kecil, aku sudah terdidik menjadi gadis yang hidup sendirian. Melalui hari semacam ini hingga lulus SMA tahun depan, rasanya bukanlah hal sulit bagiku.
Sampai sekolah berakhir, aku hanya menjalani hari dengan sunyi. Bahkan seorang Fariz yang paling heboh di kelas, ikut diam ketika berada di sebelahku. Ia dingin. Kaku. Seolah tertular aura negatif dalam diriku.
Pulang sekolah, aku kembali harus menerima kenyataan pahit bahwa Farah lebih memilih pulang dengan Mutia menunggangi kuda merah beroda dua milik Farah. Lagi-lagi, aku sendirian menjadi penumpang dalam bis orange-biru yang hanya dengan kunaiki sekali, langsung sampai di jalan dekat rumahku. Aku duduk mengisi kursi kosong, tepat di kursi paling depan di sebelah tuan supir. Kursi dengan penghuni yang tak saling kenal.
Sebenarnya aku ingin, sekali saja marah pada Farah. Setiap hari aku ingin pulang dan mengisi jok motornya. Tapi Mutia selalu mendahului. Di sisi lain, aku juga tak ingin memaksakan kehendakku pada Farah yang notabene selalu rela repot begini-begitu karenaku.
Aku memandang lurus ke depan. Jalan raya yang dipadati kendaraan me-rayap, menjadi makanan sehari-hari yang tak lagi tabu. Kira-kira sekitar tujuh puluh lima persen jarak yang sudah ditempuh bis ini menuju rumahku yang mungkin kucinta. Kini giliran Imagine Dragon yang berdendang di kepalaku dengan Radioactive. Kalau bukan di bis, aku pasti sudah bergoyang karenanya. Bis melaju dengan kencang. Yap, pasti si sopir sedang kejar setoran. Tiba-tiba, dari sebelah kiri terlihat mobil Toyota Rush yang berusaha menyalip. Sampai ketika, mobil itu tiba tepat di depan bis ini.
“Stop, stop, stop!!” keberadaan mobil itu tak mampu mengurangi kecepatan dari bis kejar setoran ini. Tepat ketika bis berhenti, si supir bertanya dengan nada agak kasar padaku.
“Ngapain sih, Dek? Mau turun?”
“Emang abang ngga liat ada mobil segede gitu berenti di depan mata? Bukannya ngerem, malah makin kenceng.”
“Di depan kosong, Dek! Haduuh, anak jaman sekarang, pasti abis ngedugem semalem.”
“Tadi ada mobil kok. Kalo nggak percaya, tanya aja sama mas-mas di sebelah sa…” kosong! Disebelahku kosong. Aku muak dengan semua ulah para hantu. “Kiri-kiri. Saya turun disini aja.” Derap langkahku dipenuhi rasa kesal di tiap satuannya. Kenapa hanya aku? Teman-temanku yang lain, sama sekali tak ada yang sama denganku. Aku ini apa? Aku sangat benci dengan takdirku. Takdir yang sedikit pun tak berpihak padaku.
ζΨξϖ

Thursday, 2 April 2015

Darkness in Me Part 1


Maret 2013
     "Hhhh… hh… hhh… Mimpi apaan tuh?! Gila, serem banget!” Kududukkan tubuhku dengan tujuan mencari sebuah kesadaran pada titik benderang, demi mengusir kunang-kunang di mata. Kakiku gemetar. Bukan karena tremor. Tapi karena kumpulan bayangan yang bergantian berkelebat menyusun slide saat mata terpejam. Bayangan yang penuh dengan darah. Tentu bukanlah sesuatu yang diinginkan.
Selama ini, beberapa mimpiku menjadi kenyataan. Sejak kecil, hidupku sudah begini adanya. Tapi kuharap tidak kali ini. Semua begitu rumit. Aku sebenarnya tak begitu yakin kalau beberapa mimpiku menjadi realita. Aku tak bisa membedakan antara hayalan yang begitu kuat, bunga yang menghiasi alam bawah sadar, atau realita di masa lampau. Ketidak tahuan itu membuat mulutku bungkam. Segala cerita dalam diriku hanya kutuangkan dalam Pensieve. Tapi Pensieve milikku lain, tidak seperti milik Dumbledore. Pensieve milikku bernama Farah. Satu-satunya tempat dimana aku bisa dengan leluasa menumpahkan segala cerita. Ya, ia harus tahu. Ia harus menjadi saksi hidup pabila mimpiku kelak memang terjadi.
ζΨξϖ
Jendela belakang angkutan umum putih, menjadi titik tumpu kepalaku. Aku berusaha menelaah tiap detail debu yang kian berlalu dari jalan raya yang terlihat semakin menjauh. Walaupun sebenarnya aku tak tahu apa pastinya yang bola mataku tangkap. Pandanganku kosong. Sampai ketika salah satu penumpang berkata, “kiri”. Kini, tak sampai sepuluh menit, kakiku akan kembali menapaki gubuk singgahku. Namun kuubah haluan ke suatu tempat yang tak jauh dari rumah. “Far, hari ini gua ke rumah lu, ya? Ada yang mau gua ceritain”. Dan begitulah, awal semua bermula.
“Jadi mau cerita apa?”
“Semalem, yah mungkin bukan semalem juga siih, bisa juga sekitar dini hari, gua itu mimpi serem, aneh dan ngga jelas. Di mimpi itu, ada dua sudut pandang yang beda. Di mimpi itu gua jadi cewek berambut pendek, agak gemuk, dan pake seragam sekolah. Ceritanya, lokasinya di terminal yang deket pasar jumat. Tapi gua lupa banget itu terminal apa, pokoknya gua pernah ngelewatin terminal itu pas mau ke rumah Letta di deket UIN. Kalo diliat dari warna langitnya, latar waktu di mimpi gua itu sekitar maghrib sampe jam delapan malem.
Pertamanya, gua yang wujudnya berambut pendek dan agak gemuk, beli bunga di deket terminal itu. Terus, gua jalan keluar terminal. Pas gua jalan, sudut pandang yang tadinya seolah gua orang yang ngalamin, berubah, jadi pengamat. Gua ngeliat cewek itu jalan pake seragam SMA yang roknya ngatuuung banget. Pas dia udah di deket pintu keluar, tiba-tiba dia ditabrak sama mobil. Tabrakannya sadis. Disitu gua ngeliat jelaaas banget darah yang ada di lampu depan mobil. Terus, cewek itu meninggal, dan jenazahnya didiemin di tempat begitu aja. Nggak ada yang nolongin. Darahnya dimana-mana. Pokoknya serem banget. Yang bikin gua merinding, darah di lampu depan mobil itu loooh. Berasa banget nyatanya. Gua jadi takut mati muda.
Masalahnya, dari dulu, beberapa mimpi gua pernah jadi kenyataan. Gua takut, gara-gara mimpi gua, gua atau anak 77 bakal meninggal. Gua takut, karena gua udah mulai mimpi tentang kematian.” Mulutku bercerita panjang lebar diiringi olah tangan yang heboh hingga membuat Farah memasang tampang ‘tolong hentikan itu’.
“Aduh Diana, lu ngga usah takut laah. Itu kan cuma mimpi. Jangan percaya yang begitu-begitu, ah. Nggak baik. Lagian, kalaupun mimpi lu jadi kenyataan, pada dasarnya kematian itu kan takdir. Nggak bisa dicegah, atau pun diprediksi. Jadi nggak usah lu pikirin, jalanin aja hidup lu seperti biasa.” Farah berusaha membesarkan hatiku. Aku tahu, dari matanya, sebagian hati Farah pasti menganggap semua perkataanku hanyalah omong kosong.
“Iya siiih. Tapi lu kenal nggak sama anak 77 yang rambutnya pendek, agak gemuk, dan  roknya ngatung banget?”
“Kayaknya enggak deh. Setahu gua, di sekolah kita kan anaknya badai-badai, nggak mungkin ada yang rambutnya pendek. Paling Lisa yang tomboy, tapi dia roknya juga panjang, rumahnya juga nggak di daerah Ciputat.”
“Yaudahlah ya, mending sekarang kita makan.” Aku berusaha melarikan diri dari pembicaraan. Aku tak ingin terlalu memaksa Farah untuk sepikiran denganku.
“Bikin kentang goreng yuk, Di!” Nampaknya untuk yang satu ini, aku sependapat dengannya.
ζΨξϖ
Tiga kali tes, tiga kali pula ditolak. Impianku jadi paskibraka sama sekali tak bisa terwujud. Walaupun tes tersebut sudah berlalu tiga bulan, tapi luka yang ada masih terasa perih walau sedikit. Sejak kelas empat SD, aku sudah berambisi menjadi seorang Paskibraka, lantaran melihat mereka di TV. Itulah mengapa, sejak SMP sampai SMA, aku bergabung dalam ekskul Paskibra. Tapi, pada kenyataannya, aku terlahir dengan tinggi dan tampang tak memadai. Dan rasa perih itu semakin diuji ketika aku melihat Sarah, teman seperjuanganku, bertubuh semakin tegap dengan rambut tiga jari di bawah telinga. Dan yang lebih menyakitkan lagi, ada satu orang, yang bernama Renata, yang tingginya kira-kira hanya berbeda satu senti denganku, kini senasib dengan Sarah. Kenapa dia bisa diterima? Tingginya tak jauh beda denganku, secara postur juga dia agak gemuk dan tak begitu tegap. Hhh, pasti karena dia diberkati wajah yang cantik. Aku sendiri bingung, kenapa seorang Paskibraka harus berwajah cantik? Ini kan bukan ajang pemilihan model. Entahlah, aku hanya bisa berusaha untuk ikhlas.
Jumat, 15-11-2013, 07.26 PM.
Ketika aku mencoba untuk ikhlas, dan memang sudah ikhlas, aku mendapat kabar yang sulit dipercaya dari Tirta yang beberapa kali duduk sebangku denganku. Handphone putih di sebelah kananku beberapa detik yang lalu berdering dilengkapi getar, menanti jemariku untuk membukanya. “Di, emangnya Renata beneran kecelakaan?” pesan dari Tirta tersebut, adalah lima kata termengagetkan yang pernah kubaca. Aku yang pada detik itu tak tahu apa-apa, malah berpikiran kalau Tirta berlebihan. Renata yang kelasnya beda jauh dari kelasku, justru mampu bikin heboh seorang Tirta. Padahal kalau kecelakaan, paling hanya luka-luka atau paling enggak, patah tulang.
Tapi kakiku gemetar. Aku lantas mengonfirmasi kabar itu pada Sona, temanku yang satu kelas dengan Renata. Dan Sona bilang, “Iya, Renata kecelakaan. Dia ditabrak mobil di pintu keluar terminal Lebak Bulus. Dia meninggal. Jenazahnya sekarang ada di RS Fatmawati. Gua nggak nyangka banget loh.” Dan sms Sona, adalah sms ter-sangat mengagetkan.
Shok yang kurasakan tak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Bagaimana mungkin? Hari ini di sekolah ia terlihat masih ceria, tapi hanya dalam hitungan jam, semua berubah.
Ungkapan-ungkapan terkejut dari pita suaraku menggema di dalam rumah, menimbulkan beragam pertanyaan dari para penghuninya. Rupanya penghuni rumah yang lain juga tak kalah terkejut mendengar berita dariku. Setahuku, Renata adalah anak satu-satunya dari ibu yang sangat dekat dengannya. Aku tak bisa membayangkan bagaimana hancurnya perasaan seorang ibu mendengar berita kematian anaknya seperti ini.
Kubuka laptop putih yang beberapa bulan ini menamaniku. Aku ingin melihat berita itu. Dan benar saja, twitter angkatanku penuh dengan tweet duka cita. Puluhan account mengirimi mention ke Renata, walaupun mereka tahu mention itu tak akan pernah dibalas. Namun, ada satu tweet yang menarik mataku. Tweet dari radio Elshinta, yang mengabarkan berita tentang siswi SMA yang tewas ditabrak mobil dan dibiarkan begitu saja. Semuanya terlalu sulit untuk diterima.
Menurut informasi dari Farah, Renata akan dimakamkan besok di Taman Pemakaman Tanah Kusir jam 10 pagi. Mendengar itu, sebagian dari diriku sangat ingin datang untuk mendoakan. Tapi sebagian lainnya, merasa sangat takut. Takut akan diriku sendiri. Tapi rasa empatiku sebagai teman satu angkatan rupanya mengalahkan rasa takutku.

To be Continued..

Wednesday, 1 April 2015

Berharap Restu

Lihatlah.
Lihat jauh di sana.
Lihat dari atas.
Tempat tertinggi, dekat dengan langit, tapi masih di daratan.
Lihatlah mahakarya yang sesungguhnya, karya Yang Maha Kuasa. Nikmat Tuhan mana yang kamu dustakan.

Aku melangkah, berat, namun aku terus melangkah.
Aku tergelincir, licin, tapi aku kembali bangkit.
Aku lelah, lemas, tapi, lihat saudaraku, mereka membutuhkan aku.
Tak boleh ada kata keluhan terucap dari lidahku. Break your limit! Lihat sekelilingmu, kau tidak berjuang sendiri. Kau bersama keluargamu. Keluarga yang saling menjaga satu sama lain. Keluarga yang ada di saat kau susah, senang, tempat cerita, tampat berlindung dan tempat berbagi. Keluarga yang mustahil kutinggalkan.

Aku ingin melihat, dan terus melihat. Mengeksplor dunia, bersama keluarga.
Kita melangkah bersama, berjuang bersama..

Tapi apalah arti keinginanku ini jika mengejar restu orang tua saja seperti kura-kura mengejar cheetah..