Thursday, 2 April 2015

Darkness in Me Part 1


Maret 2013
     "Hhhh… hh… hhh… Mimpi apaan tuh?! Gila, serem banget!” Kududukkan tubuhku dengan tujuan mencari sebuah kesadaran pada titik benderang, demi mengusir kunang-kunang di mata. Kakiku gemetar. Bukan karena tremor. Tapi karena kumpulan bayangan yang bergantian berkelebat menyusun slide saat mata terpejam. Bayangan yang penuh dengan darah. Tentu bukanlah sesuatu yang diinginkan.
Selama ini, beberapa mimpiku menjadi kenyataan. Sejak kecil, hidupku sudah begini adanya. Tapi kuharap tidak kali ini. Semua begitu rumit. Aku sebenarnya tak begitu yakin kalau beberapa mimpiku menjadi realita. Aku tak bisa membedakan antara hayalan yang begitu kuat, bunga yang menghiasi alam bawah sadar, atau realita di masa lampau. Ketidak tahuan itu membuat mulutku bungkam. Segala cerita dalam diriku hanya kutuangkan dalam Pensieve. Tapi Pensieve milikku lain, tidak seperti milik Dumbledore. Pensieve milikku bernama Farah. Satu-satunya tempat dimana aku bisa dengan leluasa menumpahkan segala cerita. Ya, ia harus tahu. Ia harus menjadi saksi hidup pabila mimpiku kelak memang terjadi.
ζΨξϖ
Jendela belakang angkutan umum putih, menjadi titik tumpu kepalaku. Aku berusaha menelaah tiap detail debu yang kian berlalu dari jalan raya yang terlihat semakin menjauh. Walaupun sebenarnya aku tak tahu apa pastinya yang bola mataku tangkap. Pandanganku kosong. Sampai ketika salah satu penumpang berkata, “kiri”. Kini, tak sampai sepuluh menit, kakiku akan kembali menapaki gubuk singgahku. Namun kuubah haluan ke suatu tempat yang tak jauh dari rumah. “Far, hari ini gua ke rumah lu, ya? Ada yang mau gua ceritain”. Dan begitulah, awal semua bermula.
“Jadi mau cerita apa?”
“Semalem, yah mungkin bukan semalem juga siih, bisa juga sekitar dini hari, gua itu mimpi serem, aneh dan ngga jelas. Di mimpi itu, ada dua sudut pandang yang beda. Di mimpi itu gua jadi cewek berambut pendek, agak gemuk, dan pake seragam sekolah. Ceritanya, lokasinya di terminal yang deket pasar jumat. Tapi gua lupa banget itu terminal apa, pokoknya gua pernah ngelewatin terminal itu pas mau ke rumah Letta di deket UIN. Kalo diliat dari warna langitnya, latar waktu di mimpi gua itu sekitar maghrib sampe jam delapan malem.
Pertamanya, gua yang wujudnya berambut pendek dan agak gemuk, beli bunga di deket terminal itu. Terus, gua jalan keluar terminal. Pas gua jalan, sudut pandang yang tadinya seolah gua orang yang ngalamin, berubah, jadi pengamat. Gua ngeliat cewek itu jalan pake seragam SMA yang roknya ngatuuung banget. Pas dia udah di deket pintu keluar, tiba-tiba dia ditabrak sama mobil. Tabrakannya sadis. Disitu gua ngeliat jelaaas banget darah yang ada di lampu depan mobil. Terus, cewek itu meninggal, dan jenazahnya didiemin di tempat begitu aja. Nggak ada yang nolongin. Darahnya dimana-mana. Pokoknya serem banget. Yang bikin gua merinding, darah di lampu depan mobil itu loooh. Berasa banget nyatanya. Gua jadi takut mati muda.
Masalahnya, dari dulu, beberapa mimpi gua pernah jadi kenyataan. Gua takut, gara-gara mimpi gua, gua atau anak 77 bakal meninggal. Gua takut, karena gua udah mulai mimpi tentang kematian.” Mulutku bercerita panjang lebar diiringi olah tangan yang heboh hingga membuat Farah memasang tampang ‘tolong hentikan itu’.
“Aduh Diana, lu ngga usah takut laah. Itu kan cuma mimpi. Jangan percaya yang begitu-begitu, ah. Nggak baik. Lagian, kalaupun mimpi lu jadi kenyataan, pada dasarnya kematian itu kan takdir. Nggak bisa dicegah, atau pun diprediksi. Jadi nggak usah lu pikirin, jalanin aja hidup lu seperti biasa.” Farah berusaha membesarkan hatiku. Aku tahu, dari matanya, sebagian hati Farah pasti menganggap semua perkataanku hanyalah omong kosong.
“Iya siiih. Tapi lu kenal nggak sama anak 77 yang rambutnya pendek, agak gemuk, dan  roknya ngatung banget?”
“Kayaknya enggak deh. Setahu gua, di sekolah kita kan anaknya badai-badai, nggak mungkin ada yang rambutnya pendek. Paling Lisa yang tomboy, tapi dia roknya juga panjang, rumahnya juga nggak di daerah Ciputat.”
“Yaudahlah ya, mending sekarang kita makan.” Aku berusaha melarikan diri dari pembicaraan. Aku tak ingin terlalu memaksa Farah untuk sepikiran denganku.
“Bikin kentang goreng yuk, Di!” Nampaknya untuk yang satu ini, aku sependapat dengannya.
ζΨξϖ
Tiga kali tes, tiga kali pula ditolak. Impianku jadi paskibraka sama sekali tak bisa terwujud. Walaupun tes tersebut sudah berlalu tiga bulan, tapi luka yang ada masih terasa perih walau sedikit. Sejak kelas empat SD, aku sudah berambisi menjadi seorang Paskibraka, lantaran melihat mereka di TV. Itulah mengapa, sejak SMP sampai SMA, aku bergabung dalam ekskul Paskibra. Tapi, pada kenyataannya, aku terlahir dengan tinggi dan tampang tak memadai. Dan rasa perih itu semakin diuji ketika aku melihat Sarah, teman seperjuanganku, bertubuh semakin tegap dengan rambut tiga jari di bawah telinga. Dan yang lebih menyakitkan lagi, ada satu orang, yang bernama Renata, yang tingginya kira-kira hanya berbeda satu senti denganku, kini senasib dengan Sarah. Kenapa dia bisa diterima? Tingginya tak jauh beda denganku, secara postur juga dia agak gemuk dan tak begitu tegap. Hhh, pasti karena dia diberkati wajah yang cantik. Aku sendiri bingung, kenapa seorang Paskibraka harus berwajah cantik? Ini kan bukan ajang pemilihan model. Entahlah, aku hanya bisa berusaha untuk ikhlas.
Jumat, 15-11-2013, 07.26 PM.
Ketika aku mencoba untuk ikhlas, dan memang sudah ikhlas, aku mendapat kabar yang sulit dipercaya dari Tirta yang beberapa kali duduk sebangku denganku. Handphone putih di sebelah kananku beberapa detik yang lalu berdering dilengkapi getar, menanti jemariku untuk membukanya. “Di, emangnya Renata beneran kecelakaan?” pesan dari Tirta tersebut, adalah lima kata termengagetkan yang pernah kubaca. Aku yang pada detik itu tak tahu apa-apa, malah berpikiran kalau Tirta berlebihan. Renata yang kelasnya beda jauh dari kelasku, justru mampu bikin heboh seorang Tirta. Padahal kalau kecelakaan, paling hanya luka-luka atau paling enggak, patah tulang.
Tapi kakiku gemetar. Aku lantas mengonfirmasi kabar itu pada Sona, temanku yang satu kelas dengan Renata. Dan Sona bilang, “Iya, Renata kecelakaan. Dia ditabrak mobil di pintu keluar terminal Lebak Bulus. Dia meninggal. Jenazahnya sekarang ada di RS Fatmawati. Gua nggak nyangka banget loh.” Dan sms Sona, adalah sms ter-sangat mengagetkan.
Shok yang kurasakan tak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Bagaimana mungkin? Hari ini di sekolah ia terlihat masih ceria, tapi hanya dalam hitungan jam, semua berubah.
Ungkapan-ungkapan terkejut dari pita suaraku menggema di dalam rumah, menimbulkan beragam pertanyaan dari para penghuninya. Rupanya penghuni rumah yang lain juga tak kalah terkejut mendengar berita dariku. Setahuku, Renata adalah anak satu-satunya dari ibu yang sangat dekat dengannya. Aku tak bisa membayangkan bagaimana hancurnya perasaan seorang ibu mendengar berita kematian anaknya seperti ini.
Kubuka laptop putih yang beberapa bulan ini menamaniku. Aku ingin melihat berita itu. Dan benar saja, twitter angkatanku penuh dengan tweet duka cita. Puluhan account mengirimi mention ke Renata, walaupun mereka tahu mention itu tak akan pernah dibalas. Namun, ada satu tweet yang menarik mataku. Tweet dari radio Elshinta, yang mengabarkan berita tentang siswi SMA yang tewas ditabrak mobil dan dibiarkan begitu saja. Semuanya terlalu sulit untuk diterima.
Menurut informasi dari Farah, Renata akan dimakamkan besok di Taman Pemakaman Tanah Kusir jam 10 pagi. Mendengar itu, sebagian dari diriku sangat ingin datang untuk mendoakan. Tapi sebagian lainnya, merasa sangat takut. Takut akan diriku sendiri. Tapi rasa empatiku sebagai teman satu angkatan rupanya mengalahkan rasa takutku.

To be Continued..

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.