Friday, 26 June 2015

Darkness in Me Part 4


Atmosfer hidup seorang aku, terasa begitu hambar. Mungkin karena aku belum terbiasa hidup tanpa ibu. Aku hanya terbiasa hidup tanpa teman. Tapi kali ini, aku benar benar sendiri. Lisa, Tirta, Fariz, ataupun Linan, hanyalah kursi kosong belaka. Jangankan manusia, Rafiq, satu-satunya hantu yang tidak menakut-nakuti atau mengerjaiku, detik ini hanyalah angin lalu. Masih bergema di telingaku, kata-kata terakhirnya,’hati-hati’.
Jauh, namun pasti, percakapan dua orang yang memiliki kesamaan denganku, tertangkap sangat jelas oleh telingaku yang caplang sebelah. Tiwi dan Rissa. Mereka bicara, seolah tak tahu sedikit pun perasaan seorang manusia berjaket hitam.
“Wi, minggu depan kan anak TN bakal cuti. Akhirnya gua bakal ketemu sama dia lagi.” Rissa memulai pembicaraan.
“Udah tau, semalem kan gua telponan sama dia.”
“Asik daaah, yang sering ditelpon.” Rissa menimpali.
“Nggak sering kok. Paling dua atau tiga bulan sekali. Kan anak TN sibuk banget. Haduuu nggak sabar ketemu.”
“Gua sih ketemunya sama dia pas hari minggu, dua minggu abis dia cuti.”
“Lama amat dua minggu. Udah kangen kaliii.. Gua sih seminggu abis dia cuti. Lebih cepet kan lebih baik.”
Mereka tertawa. Mereka tertawa di atas penderitaan orang. Mereka tak mengerti, satu pun sms dan mentionku nggak ada yang dibalas si calon tentara brengsek. Padahal dia sering menelpon dan DM-an sama mantannya. Nasibku terlalu berbeda dengan mereka.
Aku berusaha menenangkan diri. Kaki yang terasa berat, melangkah ke tempat yang umum didatangi para perempuan yang berduka. Toilet. Setidaknya dengan mencuci muka, mampu menurunkan sedikit suhu kepalaku. Begitulah pikirku.
Pintu toilet kututup. Aku membuka hoodie jaket hitam kesayanganku, yang menelungkupi sebagian besar kepalaku hingga nyaris menutupi mataku yang berkaca-kaca.
Agak sulit bagiku untuk menenangkan diri. Aku mengenalnya selama lebih dari lima tahun, aku menunggu penuh kesabaran dalam jauhnya jarak membentang, aku diam penuh kebesaran hati berusaha merelakan ia dengan sahabat lamaku yang juga mantannya, aku berjalan penuh kepercayaan walau hari penuh harapan semu, aku, aku yang begitu berbaik hati melakukan semua itu ditengah keterpurukan takdir, hanya untukmu. Tapi kamu bertingkah seolah tak mengenalku. Seolah aku orang asing. Balasan yang sungguh tak adil.
Jutaan kali aku berusaha melupakanmu. Tapi hatiku serasa mencelos, setiap mendengar sepatah kata saja yang berhubungan denganmu. Semua percuma, hanya pelajaran, seni dan Tuhan yang mampu mengalihkan sedikit duniaku.
Sebulir air dari mataku, kuusap dengan jemari berkuku panjangku.
Aku sedang membasuh wajahku dengan segenggam air, ketika indera pendengaranku mendengar suara seseorang tercekat.
Aku berusaha secepat mungkin keluar dari toilet dan melihat keadaan seseorang di depan washtafel.
Namun semua terlambat. Letta tergeletak, terkapar tak bernyawa. Kondisinya mengenaskan. Tubuhnya kaku, kepalanya menengok ke atas, dengan mata terbelalak yang juga mengarah ke atas dan mulut menganga lebar.
Aku panik. Belum pernah sebelumnya aku melihat orang mati dengan kedua mataku. Aku tak tahu apa yang seharusnya kulakukan. Aku tak bisa mengendalikan rasa panik yang menggebu dalam dada. Aku hanya bisa teriak. “WOOY, SIAPAPUN, PLEASE KE TOILET SEKARANG! GUA BUTUH BANTUAN DISINI. LETTA MENINGGAL.” Kukerahkan segala kekuatan yang dimiliki pita suaraku. Aku tahu, tak akan ada satu orang pun yang datang. Mana mungkin ada yang percaya pada cewek yang dianggap gila satu sekolah, kalau ada seorang siswi yang kehilangan nyawanya.
Sayang aku tak bisa mengembalikan nyawanya walaupun aku memang benci padanya. Lututku kutekuk tepat di sebelahnya. Jemari senimanku kugerakkan guna menutup kelopak mata dan mulutnya.
“Ada apaan sih?” Aku kaget, Anggie datang membuka pintu tiba-tiba, lengkap dengan intonasi yang tinggi. Sekilas, terlihat Emma berdiri serta di belakangnya. “Diana, Letta kenapa? Dia pingsan? Emma, lo panggil guru deh, siapa aja!” Anggie melanjutkan.
Aku berdiri. Berusaha mengumpulkan tenaga sebesar mungkin agar lidahku mampu bergerak demi sebuah cerita. “Tadi, pas gua pipis, gua denger suara orang kaya tercekat karna dicekek gitu, pas gua keluar, gua liat dia udah tergeletak di lantai. Gua priksa idungnya, ternyata dia udah nggak nafas lagi. Dia meninggal.”
“Ya ampun, nggak, gua nggak percaya. Nggak mungkin Letta secepet itu meninggal. Tahun depan kita kan lulus, dan dia nggak bakal ada di graduation. Gila, gua nggak nyangka dia secepet itu nyusul Renata.” Anggie panik tingkat dewa-dewi. Dia terus mondar-mandir dan lantas mendekati jenazah Letta.
“Jangan sentuh. Kalo misalnya dia meninggal karena dibunuh, lo bakal masuk jadi salah satu tersangka.”
“Emangnya lo nggak liat, dia meninggal karena sakit, atau dibunuh?”
“Gua nggak liat sama sekali. Gua cuma denger suara dia kaya *mempraktikan suara orang dicekik*, abis itu, gua nggak denger ada suara orang keluar pintu. Seolah Letta di washtafel cuma sendiri. Tapi pas gua liat jenazahnya, kondisinya serem banget, nggak kaya yang sekarang lo liat. Kepalanya nengok ke atas, matanya melotot dan ngeliat ke atas, mulutnya juga kebuka lebar banget. Seolah dia dicekek sama orang yang tinggi banget. Dan lo dateng pas gua lagi nutup mata dan mulutnya.”
“Berarti pelakunya cewek tinggi di angkatan kita.”
“Belom tentu, kan tadi udah gua bilang, gua nggak dengar suara orang keluar dari toilet ini. Suara orang melangkah pun nggak ada.”
“Apa jangan-jangan, elo pelakunya. Lo pasti pake ilmu hitam atau sihir. Akhir-akhir ini, gua denger lo makin sering ngomong sendiri, yaaah katanya sih sama hantu. Terus, ada juga kasus Bu Sulis, dan lo sering banget pake jaket item. Di toilet ini, siapa lagi yang bisa jadi tersangka kalo bukan elo. Lo ngelarang gua nyentuh dia, pasti biar trik lo nggak ketahuan kan? Lo setara sama iblis Diana, lo setara sama iblis!”
“KENA…”
“Ada apa ini?” Pak Daud datang dikawal Pak Rianto dan Pak Hafidz. Mereka bergerak begitu cepat. Pak Daud membawa Letta ke rumah sakit, Pak Rianto membawa berita pada kepala sekolah, dan Pak Hafidz membawa kami berdua ke ruang BK untuk dimintai keterangan. Aku hanya tak ingin diperlakukan seperti tersangka.
Dinginnya ruang BK serasa mencekit. Puluhan pertanyaan diajukan pada kami. Kata perkata dari mulut Anggie, mengocok perutku hingga aku serasa ingin muntah. Sedang aku hanya menjawab apa adanya, sesuai apa yang kutahu. Sayup-sayup terdengar suara speaker pengumuman yang mengumumkan berita duka cita. Karena ada satu lagi siswi yang meninggal, kegiatan belajar mengajar pun dipercepat, dan menimbulkan rasa cita beberapa kaum karena pulang lebih awal.
Selepas wawancara memuakkan, sekolah pada akhirnya mengambil keputusan. Berhubung hasil pemeriksaan rumah sakit kematian Letta disebabkan oleh sakit jantung mendadak atau penyakit aneh lainnya, kasus ini diserahkan sepenuhnya pada polisi. Penyakit, tapi melibatkan polisi? Jelas, semua ini karena keadaan Letta di saat terakhirnya yang bisa dibilang tidak wajar. Dan aku akan dipanggil lain waktu bila diperlukan. Setidaknya aku bisa sedikit merasa lega.
Polisi akan memulai penyelidikan begitu sekolah bubar.
ζΨξϖ
Ruang tamu ini menjadi saksi bisu betapa kerasnya usahaku menghibur diri. Cuma dengan menggambar, aku melupakan sedikit masalahku. Tiap gores yang kutorehkan, begitu bergairah. Tanganku rasanya seperti bergerak dengan sendirinya. Aku suka diriku ketika kudapati aku seperti demikian.
Aku berusaha, sedetail mungkin menghiasi kertas A3 dengan pulpen. Anehnya, aku selalu kebingungan tak percaya, kalau hasil karyaku adalah murni dari tanganku. Aku takjub dengan Tuhan, yang mampu menciptakan otak seni yang berkoordinasi dengan baik dengan saraf-saraf jemari panjangku. Mungkin terdengar aneh, kalau ada orang yang suka memuji diri sendiri, tapi begitulah aku.
Ketenangan nan syahdu, tiba-tiba porak poranda oleh penghalang masa depan. “Nggambar mulu, nggak ada gunanya buat masa depan. Sama sekali nggak bisa menunjang karier kamu kedepannya. Belajar! Kalo kamu masuk kuliah, yang diliat itu nilai kamu, bukan apa yang kamu gambar. Udahlah, nggak usah nggambar lagi. Hobi, ya hobi, jangan dijadiin profesi.”
“Kenapa sih yah, nggambar aja nggak boleh? masuk arsitektur interior juga nggak boleh. Terus bolehnya apa?”
“Ayah tuh maunya kamu belajar terus, biar bisa jadi dokter, minimal masuk farmasi, terus jadi apoteker. Kalo seni itu, nggak menjamin masa depan. Kamu mau jadi apa?”
“Kan yang kuliah aku, kalo ayah yang nentuin jurusannya, ayah mau aku kuliah tujuh tahun nggak lulus-lulus? Aku tuh pengen punya nilai yang bagus, dan jadi nomor satu di sekolah. Tapi nggak di sekolah aku yang sekarang, karna passion aku bukan di fisika, kimia, bahasa inggris, ataupun bahasa jerman. Aku tau, passion aku ada di dunia gambar, jadi aku pengen masuk arsitektur interior UI, terus jadi yang nomor satu disana. Kalo ayah nggak ngebolehin, berarti ayah udah ngerusak semua mimpi aku.”
“Ayah tuh pengen kamu tuh kaya anaknya temen-temen ayah, yang nurut sama orang tua, mau diarahin, sampe sukses jadi dokter. Ayah bingung, kenapa sih kamu nggak mau nurut. Sukanya semaunya sendiri.”
“Oh, pantesan mama ninggalin ayah. Ayah bukan orang tua yang baik. Harusnya, orang tua itu dukung bakat anak, bukan malah menghalangi anak untuk lebih berkembang. Aku nyesel tinggal disini. Terserah ayah, aku nggak mau denger omongan ayah.”
Kukunci pintu kamar rapat-rapat. Lagu Avenged Sevenfold kuputar keras-keras. Kalau perlu, sampai seluruh kaca pecah. Bagiku, ini sangatlah menenangkan. Aku tak peduli apapun ocehan yang keluar dari mulut ayah. Bagiku, dia hanyalah penghalang masa depan. Tak lebih.
Tak kusangka, begitu cepat efek dari music rock dalam menghipnotis orang yang terpuruk. Kelopak mataku perlahan menutup, melepas semua penat yang menyiksa. Aku bahkan lupa bagaimana rasanya hidup tentram tanpa masalah barang sehari. Sayangnya hidupku memang tak pernah tentram.
00.47
Aku terlelap. Pikiran bawah sadarku penuh akan kegelapan. Lalu bayang-bayang mimpi mulai bermunculan. Aku tenggelam dalam gelap. Sampai ketika aku menyaksikan sebuah masa. Masa disaat aku pertama kali melihat hantu, ketika aku masih dalam timangan mama. Aku menagis dan menangis tanpa henti. Lalu ketika aku balita, dengan bodohnya, aku menganggap mereka teman. Tapi ketika di usiaku yang kelima sampai tujuh, aku mulai mengerti siapa mereka. Aku menjerit dimanapun aku berada. Aku merasa takut pada apapun. Sejak itu, semua orang takut padaku. Mereka menjauh. Bahkan sampai saat ini. Saat dimana aku menganggap para hantu sebagai makhluk biasa yang tak perlu kupedulikan. Dan orang-orang tetap menjauh.
Muncul juga, ingatan ketika aku tiba-tiba bisa menggambar realist di usia lima belas. Aku menggambar hantu-hantu dan tempat-tempat yang seharusnya tak ada. banyak orang menganggap lukisan monochrome yang kubuat berasal dari imajinasiku yang seluas jagad raya. Tapi tidak. Semua itu ralita.
Slide-slide mimpiku berganti dengan cepatnya. Kini aku melihat beberapa mimpiku yang muncul jadi nyata. Ketika aku benar-benar bisa mengendarai sepeda, ketika handphoneku hilang, ketika Zain sakit, dan akhirnya sampai pada kematian Renata. Semua ada dalam mimpi dan realita.
Bayangan-bayangan memori dalam mimpi barusan, nampak lebih me-ngerikan dari aslinya. Aku berlari tanpa menengok ke belakang. Aku terus berlari tanpa menyadari apa yang aku hadapi. Aku terjatuh dalam sebuah lubang. Kemudian aku sadar dari mimpi yang panjang, tapi semuanya gelap. Mendadak, sesuatu terasa seperti menekan organ-organku. Meringkuk kesakitan, aku tak bisa bernapas. Tak pula bisa bicara sekadar untuk berteriak tolong. Cairan merah lantas berhamburan keluar dari mulut, hidung, mata dan telingaku. Seolah tiap sel-sel darah merah dalam tubuhku pecah tak terkendali. Aku terkapar.
Saat ini aku masih setengah sadar. Hingga aku menyadari bahwa aku ke-sulitan bernapas. Dadaku sesak. Rasanya seperti paru-paruku diikat dengan tambang oleh orang tanpa belas kasih. Sulit sekali menahan rasa sakit yang menyiksa ini. Bahkan untuk berbicara demi memohon bantuan ayah pun terasa berat. Rasa sakit ini susah payah kutahan hingga air mataku menitih. Aku tak bisa bicara. Tak sanggup. Tingkahku bahkan tak mampu membuat Ussie bergerak.
Perlahan, semua mulai terlihat. Samar, namun pasti.
Aku menggerang. Kini rasa sakit itu bukan hanya di dada, tapi juga leher. Leherku mendadak terasa seperti dicekik. Tangan dan kakiku meronta-ronta seolah berharap semua ini segera berakhir. Napasku kian tercekat. Tolonglah, aku ingin semua rasa sakit ini segera berakhir. Sekilas, aku melihat Ussie terbangun dengan wajah panik. Sorot matanya jelas sekali menceritakan kebingungan yang menghantui kepalanya. Ia menghampiriku dengan hujanan pertanyaan.  Sayang, aku tak bisa menjawab. Selain karena rahangku kelu, aku sendiri juga tak tahu apa yang terjadi padaku. Aku yang hanya bisa terkapar di atas tempat tidur, memandangi langkah-langkah kecilnya meninggalkan kamar. Aku tahu, pastilah ia mencari Ayah. Kakiku rasanya belum lelah menendang-nendang, namun aku pasrah. Pasrah pada apa yang akan terjadi padaku. Dan semua kembali gelap.
Tidak. Aku pasti bisa bertahan. Apapun yang terjadi, aku harus tetap terjaga untuk tahu apa pastinya yang sedang kuhadapi. Otakku yang setengah sadar, memaksakan sepasang kelopak mataku agar tak menutup.
Lamat-lamat, mataku menangkap sesuatu yang sebelumnya tak terlihat. Kini aku tahu apa yang mencekik dan melilit tubuhku sedari tadi.
Terlihatlah wujud seorang makhluk besar, tingginya sekitar dua meter, atau mungkin lebih. Kulitnya putih kebiruan, seperti tak ada darah mengalir di dalamnya. Beragam macam tato berbentuk simbol-simbol aneh, menghiasi sebagian besar tubuhnya yang hanya berbalut celana hitam penuh cabik seatas lutut. Bukan hanya tato, ratusan luka sayat bertebaran di penjuru tubuh dan sayapnya. Ia menatapku dengan mata bagai iblis dengan warna keemasan yang menyala-nyala bak api yang siap membakar siapapun yang menatapnya. Telinganya runcing, dan kepalanya tak dilengkapi mahkota kepala barang sebatang. Seringai senyumnya, jelas sekali membingkai gigi-gigi runcing dengan taring mencuat, menceritakan betapa menyakitkannya pabila ujung gigi itu menyentuh epidermis kulit. Ia memiliki sepasang sayap sewarna dengan kulitnya. Sayap yang serupa dengan kelelawar, dilengkapi sebuah cakar besar di tiap ujung tulangnya. Cakar itu lebih mirip pengait yang terbuat entah dari apa. Untunglah ia tak merentangkan sayapnya, kalau saja sebaliknya, tak terbayang serusak apa kamarku nanti.
Ia berdiri tegap di ujung sisi tempat tidurku. Tangannya bersidekap, me-nyembunyikan buku-buku jarinya yang panjang dan ramping. Yap, memang bukan tangan kekarnya yang mencekikku, tapi dua dari sekian banyak rantai yang melilit di tubuh besar nan pucatnya. Rantai-rantai itu bergerak dengan sendirinya tanpa tersentuh tangan. Melilit apapun yang diinginkan. Zenith kah ia? Sial, aku lupa bertanya pada Rafiq seperti apa Zenith sebenarnya.
“Sudah siapkah untuk mati, gadis bodoh? Maaf kalau aku tidak sopan, per-kenalkan, aku Zenith.” Ia berseru, menatap senang kearahku yang meronta dan merintih tanpa henti. Perlahan, aku merasa sakit luar biasa. Perlahan, aku melihat tubuhku melemah, diam, tenang tak berdaya. Peralahan, aku, ruhku, terlepas dari tubuhku dalam kondisi terikat oleh rantai maut. Ruhku ditarik. Hantu menyeramkan itu merentangkan sayapnya. Yang patut kusyukuri adalah, ia seorang hantu. Selebar apapun sayap yang ia miliki, tak akan merusak kamarku.
‘Brak!’ Ayah datang membuka pintu diiringi Ussie di belakangnya. Mereka menghampiri tubuh seorang gadis yang terbujur kaku. Tempat tidur yang berantakan, seolah menceritakan perjuangannya menahan derita. Ingin rasanya aku menghampiri Ayah, meyakinkannya dengan cara apapun bahwa aku pasti kembali.
“Lihatlah mereka untuk terakhir kalinya.” Zenith kembali berkata. Kini aku dapat dengan jelas menatap matanya. Aaarrgh, rasanya panas. Mata itu rupanya memang mampu membakar ruh siapa saja yang menatapnya. Aku lantas teringat akan keluarga kecilku. Mataku kupalingkan dari sorot membara, pada sorot haru. Ayah mengoyak-oyak tubuhku yang tak lagi bernyawa. Lamat-lamat, terdengar ia berniat membawa jasadku ke rumah sakit, berharap dengan itu aku dapat kembali sadar.
Selintas, aku sadar, lidahku mulai dapat digerakkan. Aku berusaha mengejar mereka, “Ayaaah, aku belum mati! Aku belum matii!” Percuma. Sekeras apapun aku berteriak, tak ada satu orang pun yang mendengar. Dan keputusanku untuk mengejar mereka dalam lilitan rantai, adalah langkah yang salah besar. Zenith menambah jumlah rantai yang membelenggu tubuhku hingga aku tak bisa bergerak sedikitpun. Kini, ia tak hanya merentangkan sayapnya, tapi benar-benar terbang. Sungguh, ini kali pertama aku terbang, meski harus dalam kondisi terbelenggu puluhan rantai. Entah kemana tujuannya. Aku tak tahu pasti. Semua terlihat semakin mengecil. Menjauh. Sekarang, aku tahu kemana tujuan Zenith. Mungkin, sebuah tempat, tempat tergelap yang pernah ada. Yap, mungkin.

Darkness in Me Part 3


Malam ini, aku tak bisa tidur. Sayup-sayup, terdengar dengkur lembut adikku, Ussie, yang satu kamar denganku. Namun, selain suara lembut Ussie, terdengar pula suara yang menggelegar dari ruang tengah. Orang tuaku. Mereka kembali ribut.
Teriak demi teriakan yang yang mereka lontarkan, seolah memecah malam. Permasalahan dari keduanya adalah Ayah yang mencari perkara, dan mama yang bertindak berlebihan. Keduanya tak ada yang mau mengalah. Seolah tak ada kata damai. Hingga terlontar talak dari mulut ayah.
Aku tak mengerti, apa yang membuat ia begitu mudah mengucapkan kata itu. Tidakkah ia berpikir barang sedikit tentang kebaikan mama selama ini? Atau, mungkin mama sudah tak berarti lagi di matanya. Aku berharap semua ini cepat berakhir. Mata kucoba pejamkan, telinga kucoba tutup rapat-rapat. Tapi kesadaranku tak kunjung hilang. Seolah takdir menginginkan aku mengalami semua ini.  Takdir tak mengizinkan aku lari darinya. Lagi-lagi, aku benci takdirku.
ζΨξϖ
Pagi ini terasa lebih dingin dari biasanya. ­­Udara yang menusuk, ditambah suasana aneh seperti di tempat asing, menggerakkan naluri kelamku untuk meraih jaket hitam ber-hoodie seraya menyingkapkannya hingga menutupi sebagian besar kepalaku. Walaupun ini rumah, rasanya seperti tak di rumah. Larut dalam lamunan di ruang tamu, aku tak memedulikan perut yang meronta. Ocehan orang rumah pun tak kugubris. Jangankan ocehan orang rumah, hujanan pertanyaan dari beberapa hantu yang menghampiri pun tak kuhiraukan. Aku tak peduli pada siapapun.
Semua karena pernyataan Ayah yang sangat menyesal kudengar. “Hari ini katanya Mama mau pergi. Kamu ikut bapak aja, biar bisa sekolah.” Aku tak tahu jawaban apa yang cukup sopan untuk menanggapi kata-kata itu. Olah kata di pikiranku tak mungkin bisa disaring oleh lidah yang tak bertulang. Lebih baik aku diam ketimbang menanggung dosa karena menghina orang tua. Rasanya aku ingin waktu berlalu dengan cepatnya hingga malam kian berganti malam dan lekas berganti malam lagi.
Suasana sunyi di sekolah pun terasa semakin sunyi. Tubuhku tak punya tenaga untuk bergerak. Bahkan untuk menggambar pun tanganku enggan. Aku hanya meringkuk di atas meja ditemani beragam lagu yang berdendang dari earphone. Wajahku sedikitpun tak terlihat, tertutup hoodie hitam, menambah hawa negatif dalam diriku. Haruskah kuceritakan semua ini pada Farah? Entahlah, ia sudah terlalu banyak mendengar keluh kesahku dalam menjalani hidup.
Selain Farah, ada satu nama lagi yang terlintas dalam benakku. Zain. Lebih dari enam ratus kilo meter jarak membentang di antara kita. Dua setengah tahun hidup terpisah seperti ini, menjadikan jiwaku semakin kebal akan kesendirian. Aku mengerti. Betapa ia disibukkan oleh tugas dan pelajaran bagi seorang calon tentara. Itu sebab musabab aku tak pernah menelponnya barang sekali, lantaran takut mengganggu kesibukkannya.
“Zain, nggak sibuk, kan? Gua mau cerita.” Hhh, hanya itu yang bisa kukatakan.
Lima belas menit.
Setengah jam.
Tak ada balasan. Mungkin ia tak punya pulsa. Atau mungkin sedang sibuk dan tak ingin diganggu. Atau malah mungkin handphonenya sedang lowbat, atau dititipkan ke guru militernya. Perhatianku kini hanya tertuju pada android putih yang deringnya sangat kuharapkan, tak peduli seberapa penting ocehan-ocehan guru fisika.
Sebuah pesan tiba-tiba masuk. “Apa?” hanya satu kata. Singkat. Namun menyakitkan. Aku membalas, “gua boleh nelpon ngga? Soalnya kepanjangan kalo lewat sms. Gua males ngetiknya.” Males ngetik sebenarnya bukan satu-satunya alasan. Jujur, aku memang ingin mendengar suaranya. Tapi lagi-lagi jawaban tak kunjung datang. Mungkin baginya pertemanan kita selama lebih dari lima tahun ini tak berarti. Tak menutup kemungkinan bahwa ia menutup hatinya rapat-rapat padaku walau hanya menjadi teman. Walaupun tanpa ia sadari, selama lebih dari lima tahun pula aku menantinya penuh harap dengan jarak yang sedemikian jauhnya dan keseharian penuh harapan palsu. Tapi entah kenapa, aku tak bisa move on darinya. Ia terlalu sempurna.
Terkadang, aku bosan menunggu. Waktu istirahat kuhabiskan dengan menyandarkan diriku pada dinding setinggi dada di koridor, memandang lurus kebawah tanpa ada objek yang pasti, berharap Farah melihat dan menghampiri. Lama aku menunggu, Zain tak membalas. Farah pun tak nampak. Semua tak ada saat dibutuhkan.
“Lo kenapa?” Sial, bukan Zain atau Farah yang memperhatikanku, malah hantu cowok seumuranku yang tak dikenal. “Lo siapa? Hantu baru?”
“Nggak. Gua Rafiq. Dari sekolah sebelah. Jarang banget loh gua nemu cewek SMA yang bisa liat. Biasanya, yang bisa liat itu kakek-kakek dukun, atau ibu-ibu peramal. Lo lagi ada masalah?” Hantu itu ikut bergabung denganku di koridor ini. Ia berdiri tepat di sebelah kananku. Kalau boleh kutebak, ia mati karena tawuran. Itu kentara jelas sekali dari luka besar di kepalanya, yang sangat jarang ditemui dalam kasus lain selain tawuran.
Aku berbalik, menghadap jendela-jendela kelas yang membingkai beberapa kepala yang acuh atasku. “Gua Diana. Orang tua gua pisah rumah.” Aku berkata seraya menyingkapkan hoodie jaket yang menutupi sebagian besar kepalaku, agar aku bisa dengan jelas melihat seperti apa hantu yang sedang berhadapan denganku. Aku tentunya tak perlu repot-repot berjabat tangan dengannya. Sebenarnya ia cukup tampan dan agak kurus. Tapi tingginya agak kurang walaupun ia tetap lebih tinggi dariku.
“Sebenernya, itu bukan masalah. Banyak temen gua yang ngalamin hal yang jauh lebih parah dari lo. Eh, tapi lo nggapapa ngomong sama gua? Kalo lu dikira gila gimana?”
“Udah biasa. Di sekolah, gua emang disebut orang gila. Bahkan sohib dan gebetan gua pun ngga ada di saat gua butuh. Dan kehancuran gua, tambah parah karna kondisi rumah.” Sekilas, aku melihat Sera melihatku dengan tatapan sinis saat ia melangkah memasuki kelas. Aku berani taruhan, tak sampai hitungan kelima, ia akan menggunjingku dengan anak yang lain di kelas. Dan aku tak peduli akan hal itu.
“Lu LDR ya?”
Refleks, aku tersentak mendengarnya. “Kok tau?”
“Muka lu tampang LDR. Eh, kalo lu dikatain gila, gua boleh ngga ngehantuin yang bersangkutan?”
“Jangan deh. Nanti kalo rusuh, gua juga yang bakal kena. Gua masuk kelas ya.” Tangan kananku dengan ringannya melambai ke arahnya. Jujur, ia hantu yang menyenangkan.
Pelajaran biologi.
Pelajaran yang kusuka.
Dengan penghuni kelas yang kubenci.
Tanpa terlewat barang sedetik, Bu Sulis masuk lengkap dengan kacamata plus yang dikenakan diatas hidung dan buku catatan yang selalu di tangan.
Materi hari ini tentang mutasi. Ia menjelaskan begitu detail tentang beragam penyakit genetik yang diturunkan dari orang tua pada anaknya karena mutasi genetik. Mulai dari down sindrom, sindrom patau, turner, klinifelter, sindrom jacob, sindrom edward, dan ragam lainnya yang cukup mengerikan. Seperti biasa, setiap pelajaran biologi, Tirta menempati kursi kosong di sebelah kananku mengingat kata-kata Bu Sulis yang begitu cepat dan lembut.
Sera yang berada dua baris di sebelah kananku, tiba-tiba mengajukan pertanyaan pada Bu Sulis. “Bu, kalo gangguan jiwa, itu karena mutasi juga bukan?”
“Kalo yang kamu maksud gila, kayaknya enggak. Soalnya banyak penyakit yang gejalanya bikin penderitanya keliatan seperti orang gila. Misalnya skizofrenia, frustasi, atau stress. Biasanya dia bakal ngalamin halusinasi, dan ngga bisa ngebedain mana yang halusinasi, dan mana yang kenyataan. Tapi kalo orang kecapean, setengah sadar dari tidur, atau dalam keadaan mabuk, bisa juga ngalamin halusinasi.”
“Kalo suka ngomong sendiri, dan ngomongnya ngelantur, itu kenapa, Bu?”
“Banyak kemungkinannya. Bisa dia lagi belajar drama, dia punya imajinasi luas, atau emang dia lagi stress.”
“Berarti Diana gila dong, Bu?” Letta, orang yang sejak kelas sepuluh telah menjadi siswi yang paling kubenci, turut bergabung dalam klub Diana Haters.
“Waduu, parah banget, lu.” Sedang Tirta, nampak berusaha membesarkan hatiku, walaupun sebenarnya itu tak perlu.
‘Blam!’ pintu kelas tiba-tiba terbuka. Fariz berusaha berpikiran positif dengan mengira itu ulah temannya dari kelas tetangga yang iseng. Namun lain dengan pandanganku. Aku hanya bisa tertunduk. Tak ingin melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi rasa penasaranku kelewat menggebu. Dengan berani, aku akan menghadapi segala resiko yang kelak kudapat dalam hitungan menit.
Benar saja, tangan kanan Bu Sulis yang menggenggam spidol, mendadak menuliskan kalimat “Yang gila itu kalian. Dasar bego! Go FUCK yourself!!”
Ya Allah, aku berharap ini tak akan lebih buruk lagi. Mataku refleks memelototi dan memandang Rafiq sesinis mungkin.
“Tadi bukan ibu. Tangan ibu gerak sendiri.” Bu Sulis berusaha menjelaskan.
“Woy Diana, itu pasti kerjaan jin lu kan?” Letta kembali memulai. Kalau bukan karena di kelas, aku pasti sudah melempar sepatu ke arahnya sejak satu setengah tahun yang lalu.
“Lho, kok gua yang salah? Itu kan kerjaan hantu sekolah sebelah. Terserah kalianlah mau ngomong apa, gua capek. Bu, saya izin ya, mau ke UKS.” Dengan gesit, kuraih jaket hitamku, salim dengan guru biologiku tercinta, say goodbye ke Tirta, dan lekas meninggalkan Rafiq yang bersandar stay cool pada papan tulis. Beberapa kalimat dari warga kelas XII Alam 7, sedikit pun tak kugubris.
Tapi bukan ke UKS, aku malah ke kantin. Duduk menyeruput Good Day yang lengkap dengan bubble, parutan keju, parutan coklat dan sebutir oreo. Sendirian. Catat, sendirian. Tubuhku terus duduk dan mengaduk gelas, berharap ada orang lain yang iba akan kesendirianku dan lantas menghampiri. Tapi itu tak mungkin. Temanku saat ini hanyalah dendang riang dari Avril Lavigne dan jaket hitam yang secara tak langsung membantuku merasa tenang. Satu setengah jam aku membatu tanpa kegiatan, menunggu sekolah berakhir. Kesalahan terbesarku siang ini adalah pergi tanpa membawa sketch book dan pensil.
“Bro, maap ya soal tadi. Gimana pun juga, mereka harus tau kalo lo emang jujur.” Rafiq kembali menghampiri. Ia seperti tak punya rasa kapok. Kalau saja aku jadi dia, aku tak akan berani menghampiri atau mengganggu diriku untuk kesekian kalinya. Sayangnya, lisanku tak mampu kugerakkan untuk marah pada seorang hantu, membuat heboh seisi kantin, dan mencemari nama baikku semakin dalam.
“Nggak papa. Mau?” Iseng, kutawari hantu pejuang tawuran di hadapanku ini segelas minuman yang menjadi kawanku sejak tadi. Entah kenapa, segelintir senyum merekah di wajahku.
“Sebenernya, tujuan gua nemuin lo, gua mau ngasih tau lo banyak hal. Ini tentang satu kisah, yaaah terserah lo sih mau percaya atau enggak.”
“Tergantung. Coba aja cerita.”
“Lo pasti tau kan, hantu punya dunia yang lain? Dunianya sendiri. Lo juga pasti tau kan, mitos tentang reinkarnasi? Sebenernya, itu bukan mitos. Tiap hantu, punya pilihan untuk terus hidup bebas menjadi hantu, atau kembali menikmati kesenangan seperti manusia. Untuk bereinkarnasi, hantu perlu menempati raga dari jiwa pilihan. Hantu itu bakal memakan jiwa penghuni raga yang terpilih, lalu menjadikan raga tersebut tempat baru bagi ruh hantu itu untuk tinggal.”
“Terus, masalahnya apa? Lo kepengen bereinkarnasi, terus minta bantuan gua buat nyariin orang yang tepat buat jadi sasaran lo? Kalo gitu, gua ngga bisa bantu. Gua nggak ngerti sama dunia kalian.”
“Bukan, gua sama sekali nggak punya niat begitu. Sebenernya, nggak se-gampang itu untuk bereinkarnasi. Seorang hantu harus punya kenangan kuat dan alasan kuat buat reinkarnasi. Nggak cuma itu, seorang hantu juga harus ngelakuin beberapa pembunuhan sadis untuk memperkuat ruhnya. Itulah kenapa banyak hantu yang lebih memilih hidup damai dan bebas sebagai hantu, daripada kembali jadi manusia cuma demi masa lalu.”
“Waw, gua baru tau kalo reinkarnasi itu adalah ide gila. Emangnya, jiwa kaya apa yang disebut jiwa pilihan?”
“Jiwa yang sangat kuat, supaya bisa menambah kekuatan hantu yang ngincer. Tapi juga sekaligus jiwa yang sangat rapuh, supaya hantu yang ngincer bisa dengan gampangnya menguasai. Persis, kaya lo. Itudia, kenapa gua ceritain semua ini ke elo.”
“Gue?! Kuat dan rapuh? Dari sisi mananya? Siapa juga yang mau tinggal di diri gua yang jelek dan kurus?”
“Diana, gua ini hantu, gua tau banget, lo tuh punya aura yang unik. Dari situ, gua bisa liat, apa yang bikin lo disebut kuat dan rapuh. Lo, dari kecil, bahkan dari lo TK sampe sekarang, selalu jadi bahan bully. Bukan bully fisik, tapi mental. Lo selalu sendirian dari kecil. Nggak ada satupun orang yang mau temenan sama lo, kecuali dia tau seluk beluk lo. Lo juga selalu dapet tekanan dan masalah. Dari keluarga, temen, ataupun lingkungan sekitar. Mulai dari masalah nggak dibolehin nggambar sama bokap, masalah percintaan, masalah cita-cita yang dilarang, masalah pertemanan, masalah keuangan, gua tau lu punya banyak utang sampe ratusan ribu yang nggak bisa lo lunasin. Ditambah lagi, lo bisa liat kita para hantu, dan bisa liat masa depan lewat mimpi. Lo punya bakat. Banyak. Lo pinter matematika, lo pinter biologi, jago gambar, bahkan dosen seni rupa mungkin bisa kalah sama elo. Dan masih banyak lagi yang nggak mungkin gua sebutin satu-satu. Lo manusia yang lain.”
“Terus kenapa? Plis jangan mempersulit gue. Gue udah capek.”
“Ada satu orang hantu. Dia sangat-sangat ngincer jiwa dan raga lo. Dia nungguin lo dengan sabar sampe umur lo 17 tahun. Namanya Zenith. Tapi itu bukan nama aslinya. Setahu gua, ngga ada satu orang pun yang tau nama asli dia.”
“Tapi ulang tahun gua yang ke tujuh belas kan sebulan yang lalu. Tapi liat, sekarang gua baik-baik aja. Udahlah, nggak usah dipermasalahin. Gua nggak bakal kenapa-napa kok.”
“Sebenernya itu masalah berat, tapi ada masalah yang lebih berat lagi. Ketika Zenith berusaha merebut raga lo, jiwa lo bakal ada di dunia kita. Nah, di saat itu, lo harus berjuang mati-matian biar selamat. Soalnya, kita butuh lo buat jadi Dark Hunter. Kalo lo berhasil selamat dari Zenith dan jadi Dark Hunter, lo bakal bantuin gua dan para hantu lain, buat ngelawan Zenith dan kawanannya yang disebut the Murk Under the Moonlight. Dan kalo lo udah jadi Dark Hunter, jiwa lo bisa dengan gampangnya keluar-masuk badan lo, asalkan badan lo nggak dipindahin.”
“Terus, kenapa gua harus mau jadi Dark Hunter? Ini kan masalah kalian, gua nggak mau terikat sama kalian.”
“Sayangnya itu nggak mungkin. Kakek dari kakek nyokap lo, juga Dark Hunter, dia pejuang yang hebat. Dan entah sial, entah beruntung, lo dapet warisan banyak dari dia. Diana, lo harus bantuin kita dari Zenith dan kawanan Murk-nya. Kita udah susah payah bertahan ratusan tahun dalam siksaan. Lo harus bantu kita.”
Sekonyong-konyong, Rafiq mengulurkan tangannya ke arahku.  Aku sempat berusaha menghindar saat tahu kemana tujuan tangannya bergerak. Leherku. “Diamlah.” Kata perintahnya itu sukses membuatku diam, walau aku masih bergidik merasakan sentuhannya. Sentuhannya di leherku terasa dingin dan lembut. Lebih lembut daripada sehelai sutera. “Kau punya tanda seorang Dark Hunter. Diana, aku mohon bantuanmu.” Aku tahu apa yang ia bicarakan. Pasti tanda lahir berbentuk menyerupai lambang mobil mercy yang menghiasi leherku. Lidahku kelu. Aku tak tahu harus melontarkan kata apa. Hingga aku teringat segala masalah yang membelengguku. Aku tak mau menambah beban hidupku dengan memburu hantu-hantu keji.
“Gua kan udah bilang, selama sebulan ini, gua baik-baik aja. Dan gua nggak mau terikat sama kalian.”
“Terserah elo sih, gua udah ngasih peringatan, tawaran dan banyak hal mendasar yang mungkin bisa bantu lo di masa mendatang. Menurut beberapa ahli, Zenith nggak memulai aksinya bulan lalu supaya pergerakannya nggak terbaca Dark Hunter. Berarti, dia bisa mengancam lo kapan aja.”
“Kenapa lo baru ngasih tau gua sekarang? Kenapa lo nggak dateng sebelum gua tujuh belas tahun? Dan kenapa hantu lain nggak ada yang ngasih tau gue?”
“Selama ini gua cuma tau elo dari mulut kerabat gua, gua baru kenal elo hari ini. Sebenernya, hantu-hantu lain nggak ada yang berani deketin lo saking dahsyatnya aura lo. Semua hantu yang selama ini di deket lo, adalah Murk. Itu dia kenapa mereka selalu gangguin lo dan nggak pernah biarin lo tenang. Tapi lo nggak bisa nyentuh atau memusnahkan mereka, karena elo dan mereka beda. Lo cuma bisa liat dan denger mereka. Tapi khusus gua lain, gua bukan Murk, gua sengaja diutus Nadir, pemimpin gua, buat ngasih tau lo semuanya.”
“Okeh, makasih atas semuanya, tapi sekali lagi, gua nggak mau terikat sama kalian. Gua pergi dulu okay, daah..” aku berdiri. Melambaikan tangan seraya membuang mata dari Rafiq. Yap, kurasa pembicaraan ini memang sudah selesai.
Ketika aku berbalik, Farah berlari ke arahku. “Di, gua cariin lu kemana-mana, ternyata disini? Sori banget ya baru sempet dateng, baru nyalain hape.”
“Udah tau. Itu kan kebiasaan lo. Santai aja, gapapa kok. Temenin gua yuk ngambil tas di kelas. Tadi gua cabut biologi soalnya.”
“Kenapa?”
“Ntar lu juga tau.”
Aku membimbing Farah melangkah meninggalkan kantin. Lamat-lamat, terdengar Rafiq mengucapkan beberapa patah kata yang sepertinya merupakan kata-kata terakhir sekaligus perpisahan. “hati-hati” begitu katanya. Aku berusaha mengabaikannya dan kembali fokus pada Farah.
Kantin sekolahku sangat dekat dengan tangga. Dan kelasku, sangat dekat dengan tangga. Tak butuh waktu lama bagiku untuk sampai. Di kelas, masih ada beberapa orang yang berbincang entah tentang apa.
“Wiih, udah sembuh, Di? Eeeh Farah, kok lu mau sih deket-deket sama Diana, nggak takut ketularan?” kata-kata Gladys tersebut sebenarnya agak panas. Farah yang tak mengerti apa-apa, hanya diam dan menatapku kebingungan.
Aku sedang membereskan barang-barang ketika Anggie menimpali perkataan Gladys. “Paling Farah diterror sama hantu-hantunya Diana, makannya dia tunduk.” Hhh, ingin rasanya aku berteriak “SHUT THE FUCK OFF!!!” Tapi mulutku lebih memilih untuk diam. Pikiranku terlalu lelah untuk memerintahkan mulutku berteriak. Semua hal ini kian membuat garis hidupku bagai benang kusut yang tak diketahui ujungnya.
Farah penuh dengan tanda tanya. Sayangnya, satupun pertanyaannya tak ada yang kujawab. Aku pulang ke rumahnya untuk kesekian kali. Disanalah baru kutumpahkan masalah keluargaku. Ia tak bisa berkata-kata. Hhh, tak bisa kubayangkan bagaimana ekspresinya bila kuceritakan padanya semua konflik yang membuatku nyaris meledak. Terlebih, tentang berita dari Rafiq.